"1 Miliar!"
"Sa... Satu miliar," ucapnya. "Yang benar saja," gumamnya, memiringkan kepala seakan tidak percaya, mengapa patung sekecil itu bisa semahal itu."Yang benar saja, apa kau berusaha memerasku?" melihat Ducan tidak percaya."Apa kau pikir, aku penipu yang berusaha menipu orang miskin sepertimu! Kalau memang begitu, aku tidak akan membayar utangmu."Seketika Hanisa terdiam mendengar itu. Sedangkan si Pria kembali melihat si wanita dengan ekspresi yang jelas saja di mengerti semua orang."Kenapa? Tidak sanggup bayar?" ucap Ducan melirik ke arah wanita itu.
Sedangkan yang dilirik tidak bergeming sedikit pun, menggaruk kening yang tidak terasa gatal.
"Baiklah. Aku tahu orang sepertimu tidak akan sanggup membayarnya, karena itu aku punya dua saran?" Melirik licik"Saran?" Hanisa yang penasaran akan saran yang dipikirnya mungkin lebih baik daripada membayar utangnya, "saran apa?""Sarannya. Kau tidak perlu repot membayar utangmu padaku asal, kau mau menikah denganku," seketika ekspresi wanita yang tadinya bahagia kini berubah menjadi keluh, di sertai tarikan nafas yang terasa sesak."Dan saran yang kedua. Kalau kau tidak mau menikah denganku, kau harus siap menunggu hukumanmu, di PENJARA!" Ducan lagi, "Bagaimana? Apa kau siap?""Itu namanya bukan saran tapi pilihan!," ucap Hanisa mendekati Ducan, "tapi.... Kenapa kau ingin menikah denganku? Apa kau suka padaku?" ucapnya lagi dengan senyum ledek tak tertahan.Sedangkan yang diledek tidak terima tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa terlihat gugup, melonggarkan sedikit bagian dasinya yang terasa sesak."Kau pikir aku tidak punya selera!" kembali menatap si wanita terlihat puas meledeknya, "wanita sepertimu. Mana mungkin tipeku, kurus, kecil seperti ini, tidak ada hal yang bisa dilihat darimu!" balas Ducan kesal.Sedangkan wanita itu terlihat kesal mendengar perkataannya. Meskipun ada benarnya namun proporsi badan Hanisa tidak sepenuhnya benar yang diucapkan Ducan.Ia memang terlihat kecil dan kurus, tapi itu sudah termasuk proporsi tubuh ideal untuk para wanita di sana.
Hanya saja Ducan memang sedikit menjahilinya hanya karena sakit hati terhadap si wanita yang terlihat puas menggodanya, "Sekarang kau hanya punya dua pilihan itu, jika tidak memilihnya berarti kau hanya mau dipenjara," tegasnya.Melihat wanita di depannya tampak frustasi tak sanggup membayarnya ia pun berusaha menenangkannya dengan memberi waktu."Baiklah aku akan memberimu waktu untuk berfikir. Dua hari, jika selama itu kau tidak memutuskan sesuatu berarti kau hanya ingin dipenjara," katannya.
"Berarti kau sama saja dengan Juragan itu," batinnya yang sedikit kesal sambil mengerutkan bibirnya."Oh ya, kau juga jangan lupa untuk membayar utangmu padaku karena telah membayar utangmu pada pria tua itu, jadi semua jumlah utangmu padaku adalah 300 miliar," meninggalkan Wanita itu tak lupa mengeluarkan senyum liciknya.Sedangkan yang punya utang hanya bisa pasrah, mau menuntut juga itu kan FAKTA!*"Ini sangat menyebalkan meskipun hutangku lunas pada Juragan Hengki tapi tetap saja," Hanisa yang mengingat kejadian 8 jam tadi, tak lupa menyeruput secangkir kopi yang telah digenggamnya sambil bersantai di kursi goyang itu."Membuatku kepikiran. Meskipun tidak menikahi Juragan Hengki tapi tetap saja, aku harus menikahi Pria menyebalkan itu," putus asanya menarik dalam-dalam napas."Si pria pelunas hutang, pembawa beban itu," kesalnya, "Ahhh, menikah atau di penjara?" gerutunya lagi.Si Ibu yang tidak sengaja mendengar ucapan itu, kemudian mendatanginya, "Hanisa. Kamu mau menikah dengan siapa? Siapa Pria menyebalkan itu? Dan penjara?" penasaran si Ibu."Ibu," Terkejut sontak ia berdiri mengetahui ibunya mendengar ucapannya."Jawab ibu Hanisa, ibu sudah mendengar semua yang kamu katakan, apa itu benar?" Bingung Hanisa, harus menjawab apa agar ibunya tidak khawatir dengan apa yang harus ia sampaikan.Namun si Ibu yang tahu putrinya itu selalu berusaha memikirkan perasaannya, langsung memeluknya.
"Maafkan Ibu nak, ibu tidak bisa membahagiakan kamu. Karena ibu, kamu harus menanggung semuanya," tangis si Ibu yang mulai pecah."Ibu, yang seharusnya minta maaf itu adalah Hanisa. Karena aku, Ibu memiliki hutang pada Juragan Hengki," Mengusap lembut punggung si Ibu, "namun sampai sekarang, aku masih belum bisa memberikan apa yang ibu mau," air mata yang tak henti menghujani pipi mulusnya."Mulai sekarang, kita harus melewati semuanya bersama," ucap si Ibu memandangi pipinya yang banjir itu dan mengusapnya, begitupun sebaliknya."Tapi ceritakan pada Ibu, apakah benar kamu akan menikah? Menikah dengan siapa? Bukankah utang kita sudah lunas, mengapa kamu harus menikah?" tanya si ibu penasaran."Maafkan Hanisa, buk, sebenarnya pria yang telah membayar utang kita itu, tidak sepenuhnya mau menolong kita," ucapnya."Mengapa?""Kemarin waktu Hanisa pergi mencari pekerjaan, Hanisa datang ke toko mereka, Bu, dan Hani sempat menyentuh barang yang ada di situ, tapi saat Hani hendak pergi, Hani dituduh mencuri.""Tapi kok bisa, nak?""Hanisa juga nggak tahu, bu, tapi saat tas Hanisa diperiksa, benda itu memang ada di tas Hanisa. Kami sempat memeriksa CCTV-nya tapi rusak dan saat ini masih proses perbaikan, tapi benda itu malah rusak, dan sekarang dia malah minta pertanggungjawaban.""Pertanggungjawaban apa, nak?""Hanisa harus menikahinya atau Hanisa dipenjara.""Maafkan ibu, nak. Ibu menyesal menyeret kamu dalam masalah ini. Kalau seandainya ibu tahu akan seperti ini, ibu tidak akan meminjam uang itu," air mata yang lagi-lagi membasahi pipinya, "Ibu janji, tidak akan merepotkan kamu lagi, sayang.""Ibu, Hanisa anak ibu, putri satu-satunya, jadi sudah kewajibanku membantu ibu, baik susah atau senang," mengusap air mata si ibu dan kembali berpelukan.*Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,