"Aku setuju untuk menikah denganmu," ucap Hanisa setelah memikirkan keputusannya selama dua hari, lalu datang ke kantor Ducan.
"Apa kau sudah memikirkannya dengan baik?" tanya Ducan sambil menatap Hanisa.Menganggukkan kepalanya, "Aku sudah memikirkannya. Mungkin lebih baik aku menderita daripada harus melihat Ibu ku tersakiti," ucap Hanisa."Bagus," kata Ducan sambil melempar sebuah map panjang berwarna hitam, "kita akan menikah besok.""HAH!" terkejutnya karena tidak menyangka akan secepat itu, "Kupikir akan ada pengenalan dulu," batinnya sambil menatap Ducan dengan heran."Kenapa kau menatapku? Tidak jadi mau menikah?" tegas Ducan."Ee... Tidak, aku siap," jawabnya sambil berusaha menegaskan dirinya, "Galak!" gumamnya kecil sambil melirik Ducan."Ayo.""Kemana?" tanyanya penasaran, karena tiba-tiba saja si pria yang terlihat fokus pada ponsel genggamnya, kini membuatnya tersentak dengan ajakan itu."Ke fitting baju," jawab Ducan sambil mengalihkan perhatiannya pada Hanisa, yang terkejut dan heran dengan ajakan tersebut."Selamat datang, tuan Ducan," ucap seorang wanita sambil memberi salam kepada pria tersebut, salah satu wanita yang menjadi manajer di butik itu.Benar saja, saat ini keduanya telah berada di butik terkenal di negara itu untuk melakukan fitting baju pengantin yang akan mereka gunakan besok. Meskipun menikahnya besok, bukanlah Ducan namanya jika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.Dengan kekuasaan dan statusnya sebagai orang berpengaruh di negaranya, toko manapun akan selalu memprioritaskan dirinya. Dia dilayani layaknya seorang raja, hingga Hanisa yang mendapat layanan itu terkejut, mengapa begitu banyak pegawai wanita yang memperlakukannya layaknya seorang ratu."Tenang saja, tuan. Kami tidak akan mengecewakan Anda," kata manajer itu."Aku mempercayakannya padamu," kata Ducan sebelum kemudian menenangkan dirinya di sofa putih panjang yang lembut, seraya menikmati kopi di depannya.Hingga beberapa menit kemudian, akhirnya Hanisa yang sudah diubah habis siap untuk dipertunjukkan. Gorden berwarna putih polos dengan reel berwarna emas itu bergeser dengan lambat, layaknya slow motion yang menampilkan seorang wanita di dalamnya, siapa lagi kalau bukan Hanisa.Wanita berusia 21 tahun ini tidak menyangka bahwa dirinya akan menikah begitu cepat di usia yang terbilang sangat muda. Dia harus menghabiskan waktunya bersama pria yang sama sekali tidak dicintainya dan terpaksa harus menelan pahit-pahit mimpinya itu.Sementara Ducan, saat ini, menyantap dirinya sendiri yang tiba-tiba terpaku pada pemandangan di depannya. Meskipun sudah sering melihat banyak wanita cantik, menurutnya wanita yang sebelumnya tidak punya sisi cantik kini jauh dari kata cantik bahkan wanita itu saat ini terlihat sangat cantik.Kedua obsidian cokelat pekat itu tidak bisa memalingkan pandangannya, tetapi sebagai orang yang dikenal arogan, kasar, dan blak-blakan, dia segera menyadarkan dirinya atau reputasinya sebagai pria keren akan hilang begitu saja."Bagaimana, tuan? Apakah Anda menyukainya?" tanya manajer itu."Oke, saya suka yang ini," kata Ducan sambil sesekali memandangi Hanisa, yang terlihat risih memakainya."Saya rasa Anda sangat beruntung, tuan. Mampu mendapatkan nyonya muda ini bahkan hanya setelah mencobanya sekali. Gaun itu terlihat cocok untuknya," kata manajer dengan senyum yang tak ada habisnya di bibirnya.Ducan mendengar itu lalu melihat wanita di sebelahnya yang tersenyum kecil dengan pujian itu, "Seharusnya dia yang beruntung mendapatkanku," kata Ducan sambil melihat kembali Hanisa, senyumnya yang sangat manis tadi kini memudar dengan kata-katanya.Dia tahu wanita itu cemberut karena itu, dan dia pun berusaha untuk mengalihkan pembicaraannya dan membawa kembali Hanisa yang masih dalam pikirannya."Kau kenapa?" tanyanya, saat ini keduanya telah berada di Rolls-Royce Boat Tail berwarna hitam pekat miliknya. Sepanjang perjalanan, pria itu terus memandangi wanita di sebelahnya yang terlihat kesal, entah itu karena omongannya atau karena hal lain yang dipikirkannya.Hingga tanpa sadar, keduanya telah sampai pada bangunan kecil sederhana yang tak lain adalah kediaman Hanisa."Sudah sampai," kata Ducan memandangi Hanisa yang penuh tanda tanya, sedangkan Hanisa sendiri tertegun dalam pikirannya, "Kenapa aku?" bingung dengan sikapnya terhadap Ducan sejak dari butik itu."Terima kasih telah mengantarku. Aku masuk dulu, hati-hati," kata Hanisa dengan senyuman kecil.Sementara Ducan yang menerima senyuman dan tingkah itu dengan heran, dengan sikapnya yang tadi sangat cuek dan tidak mendengarkannya, kini tersenyum manis seakan tidak terjadi sesuatu. Namun, dia tidak ingin berpikir panjang, jadi dia pun melajukan Rolls-Royce Boat Tail miliknya dengan kecepatan kilat.Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,