Selepas magrib, Sandi memutuskan untuk pulang ke rumah. Bu Tri tidak mau jika Sandi yang menemaninya di rumah sakit. Ia ingin agar Lian yang menginap di sana. Sekalian, bu Tri juga ingin membicarakan banyak hal pada sulungnya itu tanpa gangguan si bungsu."Gimana kondisi ibu, Mas?" tanya Kamila seraya menyuguhkan secangkir kopi kesukaan Sandi."Sudah jauh lebih baik. Hanya saja, kakinya masih sulit untuk digerakkan. InsyaAllah, besok sudah boleh pulang."Kamila tak lagi menanyakan apapun tentang ibu mertuanya itu. Ia hanya fokus pada televisi di depannya sebelum ia teringat suatu hal. Kamila merapatkan diri ke arah Sandi."Mas Lian seharian ini apa gak pulang, Mas?"Sebenarnya, pertanyaan yang Kamila ajukan pada Sandi hanyalah untuk memastikan suatu hal saja. Sandi terlihat menyeruput kopi yang sudah menghangat."Pulang, kok. Tadi siang, mas Lian pulang bareng sama bidan Hesti.""Bidan Hesti? Kok, bisa?"Rupanya Kamila tak salah dengan penglihatannya. Yang ia lihat tadi siang memang b
Lian mengalami mimpi buruk sehingga membuat ia terjaga lebih cepat. Jam pada dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Padahal, semalam ia baru saja tidur ketika jam dua belas malam."Kenapa perasaanku gak enak, ya?"Berusaha mengenyahkan berbagai pikiran buruk, Lian kembali membaringkan tubuhnya di atas tikar tipis dengan bantal kecil itu. Hingga tak lama, Lian kembali terlelap."Bu, kata dokter, nanti siang Ibu sudah boleh pulang. Nunggu cairan infusnya habis dulu.""Iya. Dan kamu jangan lupa pesan Ibu kemarin ya, Lian.""Iya, Bu," jawab Lian sedikit enggan.Pasalnya, dari kemarin sang ibu terus saja meminta Lian untuk mendekati Hesti. Rencananya, saat sudah pulang nanti, bu Tri ingin agar kakinya terus mendapatkan perawatan dari bidan muda nan cantik itu."Kamu udah urus administrasinya?""Belum, Bu. Aku mau pulang dulu sebentar. Kartu ATMku kayanya ketinggalan di rumah, Bu. Nanti aku juga sekalian mau minta patungan sama Sandi. Tanggal gajianku masih lama soalnya, Bu."Bu Tri tampak me
Lian menangis sembari memeluk tubuh Gavin yang telah kaku. Betapa terkejutnya Lian saat mendapati Gavin masih dalam posisi tidur di ranjangnya tapi dengan bibir yang sudah membiru."Ayah, adik kenapa, Yah?" tanya Kia masih dengan isakan-isakan kecil yang keluar dari bibirnya.Sebenarnya, Kia tahu apa yang terjadi pada adiknya. Tapi, anak sekecil itu tidak akan paham akibat dari sebuah kejadian. Semalam, Kia melihat saat adiknya menangis keras dan sang ibu berusaha mendiamkannya dengan cara menggendong dan memberinya susu.Namun, Gavin tak kunjung diam sampai akhirnya, Sari meletakkan Gavin kembali ke atas ranjang. Tangannya bergerak mengambil bantal besar miliknya, lalu, meletakkannya di atas tubuh Gavin.Bantal sebesar itu tentu saja mampu menutup seluruh tubuh termasuk wajah bayi yang mungil. Persis seperti malam kemarin dan Kia berusaha menolong sang adik. Namun, Sari justru mendorong tubuh Kia hingga tubuh bocah empat tahun itu terjatuh dari atas ranjang.Kia berusaha lari keluar,
Semua yang berada di dalam ruangan itu, terlebih Lian dan Sandi sangat terkejut dengan kedatangan Kamila. Wanita itu lantas menghampiri meja petugas, di mana sang suami dan kakak ipar berada."Kamu ngapain kesini, Mila?" tanya Sandi dengan nada lembut. "Aku disuruh ibu, Mas, untuk memastikan bahwa mbak Sari harus dihukum seberat-beratnya karena sudah membunuh Gavin."Sandi lantas berdiri lalu sedikit menyeret Kamila agar sedikit menjauh dari meja petugas. Sandi merasa malu dengan tindakan Kamila barusan. Menurutnya, hal itu bukanlah menjadi kewenangannya. Sari menjadi tersangka, sedangkan korban adalah anak kandung Sari sendiri. Tentu saja dalam hal ini, Lian yang menjadi penanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada Sari dan Gavin."Kamu jangan memperkeruh suasana di sini, Mila.""Memperkeruh apa sih, Mas? Aku cuma membawa amanah dari ibu aja, kok. Sebagai seorang nenek, ibu gak rela cucunya dibunuh oleh mbak Sari," jawab Kamila tegas. Ia sangat mendukung pemikiran bu Tri karen
"Bu Hesti, tolong, Bu!" teriak Lian saat dirinya baru saja turun dari motor Sandi. Kebetulan, saat itu Hesti baru saja selesai memeriksa seorang pasien di dalam tempat praktiknya. Seakan ikut merasakan kepanikan Lian, Hesti lantas segera menyuruh Lian untuk membaringkan Kia di atas tempat tidur periksa."Miringkan, Pak Lian. Agar Kia tidak tersedak air liurnya sendiri. Saya ambilkan obat dulu."Hesti bergerak cepat. Tubuh Kia masih kejang dengan Lian yang terus memegangi tubuh sang anak. Tak sampai satu menit, Hesti datang dan segera melepas celana dalam milik Kia."Apa itu, Bu?""Obat kejang, Pak. Harus dimasukkan melalui anus," jawab Hesti seraya memasukkan obat berbentuk pil itu ke dalam anus Kia.Perlahan, kejang yang Kia alami mulai berhenti. Hesti memulai pemeriksaan. Namun, bidan muda itu terkejut saat tubuh Kia kembali mengalami kejang dan terlihat semakin parah. Kedua bola mata Kia berputar ke atas hingga hanya terlihat bagian putihnya saja."Kita harus segera membawa Kia ke
"Alhamdulillah, kamu sudah bangun, Sayang?"Pertanyaan yang sungguh klise dan tak perlu lagi untuk dijawab saat Sandi melihat Mila sudah membuka matanya dan tengah mengedarkan padangannya ke seluruh ruangan."Aku dimana, Mas?""Kamu di klinik sekarang. Tadi, kamu pingsan dan Mas mau bawa kamu ke tempat bidan Hesti. Tapi, bidan Hesti sedang tidak ada di tempat."Mila mengingat apa yang terjadi padanya sebelum gelap menguasai dunianya. Tadi, ia merasa tiba-tiba pandangannya menghitam dan kepalanya terasa begitu sakit. Kini, ia justru merasa sangat lemah. Padahal, tadi ia tidak merasakan apapun. Hanya lelah biasa karena harus melayani keinginan ibu mertuanya."Aku kaya gini pasti karena kelelahan kan, Mas?"Sandi tersenyum lalu mengangguk. Ada satu hal lagi yang tidak Mila ketahui tentang penyebab ia tumbang hari ini."Kalau gitu, setelah dari sini, aku mau tetep pulang ke rumah mama papa. Ngerjain kerjaan rumah aja udah buat aku capek, Mas. Sekarang malah ditambah ngelayani ibu. Pokokny
"Ayah," lirih Kia yang baru saja sadar. Bocah empat tahun itu terlihat sangat lemah. Di sampingnya, Lian buru-buru mendekat dan mencium pucuk kepala anaknya."Kia pusing, Yah," adu Kia. Tubuhnya setengah telanjang karena ada beberapa kabel yang ditempel di dadanya. Selang oksigen juga menghiasi wajah kecil Kia."Ayah panggilkan dokter dulu, ya?"Kia hanya mengangguk lemah. Tubuhnya begitu sulit untuk digerakkan. Ia juga merasa tak nyaman dengan benda yang mengeluarkan udara dingin tepat di lubang hidungnya.Tak berapa lama, dokter datang dengan seorang perawat. Kedua petugas medis tersebut melakukan tugasnya dengan baik dan Lian merasa lega saat dokter mengatakan bahwa kondisi Kia berangsur-angsur membaik."Kia mau apa?" tanya Lian lembut sembari mengusap rambut anaknya."Ibu mana, Yah?"Tangan Lian yang semula berada di kepala Kia pun berpindah. Mengingat apa yang sudah Sari lakukan membuat Lian kembali didera rasa kesal. Ia juga belum tahu perkembangan kasus yang menimpa isterinya i
Semenjak Hesti menyatakan cintanya pada Lian dan Lian belum menjawab, keduanya tak lagi saling bertemu. Sudah dua hari Kia di rawat di rumah sakit dan hari ini Lian terpaksa meninggalkan anaknya itu untuk pergi ke kantor polisi. Hasil pemeriksaan terhadap Sari sudah keluar dan hasilnya, Sari memang menderita gangguan jiwa. Ada rasa marah dan kesal dalam diri Lian. Ia tak menyangka jika wanita yang pernah dikaguminya itu bisa mengalami hal demikian.Namun, sisi lain dalam dirinya mengatakan jika apa yang dialami Sari tak luput dari ketidakpeduliannya terhadap isterinya tersebut."Jadi bagaimana, Pak?""Sesuai undang-undang yang berlaku, Pak Lian. Ibu Sari tidak bisa kami jadikan tahanan dan dia akan dimasukkan ke dalam pusat rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan hingga benar-benar sembuh."Setelah bertemu dengan komandan polisi, Lian dipersilahkan untuk melihat kondisi Sari di dalam sel tahanan yang sebentar lagi akan ditinggalkannya.Wanita yang dulu terlihat cantik apa adanya itu