Mariana menatap lama batu nisan bertuliskan nama anaknya itu. Tatapannya kosong, tapi di dalam dirinya, ribuan emosi berkecamuk tanpa henti. Semakin lama ia duduk di sana, semakin dalam kerinduan terhadap mendiang anaknya menggerogoti hatinya.Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Jantungnya berdetak sangat cepat, kepalanya terasa ringan dan berputar-putar. Ia mencoba menarik napas panjang. Mariana bangkit perlahan, menyadari bahwa jika ia tetap di sini, tubuhnya akan tumbang cepat atau lambat.โMama pulang dulu ya, Nak. Nanti Mama datang lagi,โ gumamnya sebelum berbalik.Namun baru beberapa langkah, rasa pusing itu semakin menjadi. Kakinya lemas, dunianya seolah miring. Mariana kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, seseorang dengan sigap menangkap tubuhnya dan menopangnya dengan kokoh.โAku mengerti kalau kamu merindukan anakmu, tapi jangan memaksakan diri seperti ini.โSuara itu. Mariana mengenalnya dengan baik. Tanpa menoleh pun, ia sudah tahu siapa yang tengah menopangny
Tepat saat Mariana dan Nate hendak masuk ke mobil setelah selesai makan siang, suara dering ponsel menahan langkah wanita itu di depan pintu mobil. Dengan santai, Mariana meraih ponselnya yang tersimpan di dalam tas. Namun, ekspresi wajahnya langsung berubah ketika melihat nama yang terpampang di layar.Mariana mendesah pendek, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sebelum sempat membuka pintu mobil. Namun rupanya penelepon itu tidak menyerah. Ponsel Mariana kembali berdering, menampilkan panggilan masuk dari orang yang sama.Dengan gerakan cepat, Mariana meraih ponselnya lagi dan langsung mematikan daya. Sebelum layar benar-benar padam, ia sempat melihat sebuah pesan singkat masuk.[Kamu harus bicara denganku. Ini penting!]Mariana menggigit bibirnya, tetapi tetap memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas tanpa niat membaca lebih lanjut. Apa pun yang dianggap penting oleh Bianca, itu bukan urusannya lagi. Tidak setelah pertemuan mereka di kafe beberapa waktu lalu.โKenapa ti
Keesokan paginya, Mariana berangkat bersama Arsita menuju sebuah panti jompo eksklusif di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan banyak hal saat mobil melintasi jalan yang mulai ramai oleh aktivitas pagi.Namun ketika mereka sudah hampir tiba, Mariana menangkap kegelisahan yang berbeda dari sebelumnya. Arsita yang semula berbicara dengan santai, tiba-tiba lebih banyak diam. Jemarinya saling menggenggam sementara tatapannya menatap lurus ke depan tanpa benar-benar fokus.โTante baik-baik saja?โ tanya Mariana, melirik ke arah wanita paruh baya di sampingnya itu.Arsita menghela napas pelan. โTante tidak tahu apakah beliau akan mengenali Tante hari ini.โMariana ikut terdiam, memahami perasaan wanita itu. โKalau pun enggak, setidaknya beliau akan tahu kalau seseorang yang peduli datang menemuinya,โ katanya mencoba menenangkan.Arsita tersenyum kecil meski tatapannya masih dipenuhi kecemasan. โTante harap begitu, Sayang.โSetibanya di panti jompo, mereka disambut oleh s
Waktu berlalu tanpa Mariana sadari. Sambil menunggu sidang perceraian berikutnya, ia menerima kabar bahwa hari ini Bara dan Bianca akan menikah. Mariana sudah menegaskan kepada orang tuanya bahwa ia tidak akan menghadiri acara tersebut, dan mereka pun tidak mencoba menghubunginya.Namun di luar dugaan Mariana, seseorang yang sama sekali tak ia sangka tiba-tiba mengirim sebuah pesan.Layar ponselnya menampilkan sebuah fotoโgambar pernikahan Bara dan Bianca. Di foto itu, adiknya tampak berseri-seri mengenakan gaun pengantin, sementara Bara berdiri di sampingnya dengan ekspresi datar.[Pernikahan Bara dan Bianca akhirnya resmi. Jangan kaget ya melihat foto ini. Hanya ingin berbagi berita]Mariana mengangkat alis, membaca ulang pesan itu.โAku nggak mengerti kenapa Dewi mengirimkan ini padaku,โ gumamnya heran.Dewi adalah sepupunya dari pihak ayah. Mereka sebaya, tapi hubungan mereka tidak begitu dekat. Sudah lama mereka tidak saling bertegur sapa, dan tiba-tiba hari ini Dewi mengiriminya
Sebelum pulang, Mariana dan Nate sepakat untuk makan dulu di salah satu restoran. Sejak duduk di meja makan dan memesan, Mariana mendadak berubah seperti orang yang berbeda. Wajahnya muram, sorot matanya kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Nate menyadarinya, tapi ia merasa canggung untuk bertanya.Hingga makanan mereka tiba pun Mariana masih diam. Kedua tangannya terulur meraih peralatan makan, tapi gerakannya lamban seakan-akan ia tengah berjuang melawan sesuatu yang tak kasatmata. Ia tampak enggan menyuapkan makanan itu ke mulutnya.Dari kursinya, Nate sesekali melirik ke arah Mariana. Wanita itu tetap diam, bahkan tidak menyadari tatapan penuh tanya di seberangnya. Baru ketika suapan pertama berhasil masuk ke mulutnya, air mata terlihat memancar dari pelupuk matanya.โMariana, apa kamu baik-baik saja?โ tanya Nate akhirnya.Mariana menggeleng pelan. Setelah itu, air matanya benar-benar jatuh membasahi pipinya. Dadanya naik turun seiring napas yang mulai tidak beraturan
Mariana terdiam. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap pria itu dengan mata lebar seolah kata-kata itu baru saja menghantam dadanya dengan keras. Namun, alih-alih melunak, sesuatu di dalam dirinya justru meledak.Ia tertawaโtapi bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa getir, penuh kepedihan dan kemarahan yang selama ini terpendam.โKamu benar-benar keterlaluan, Bara.โ Suaranya bergetar. โKamu menginginkan Selene? Setelah kamu menghancurkan semuanya?โNapas Mariana memburu. Matanya membara dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.โJangan berbicara omong kosong! Pergilah, Bara! Selene nggak butuh ayah seperti kamu!โTepat setelah bentakan itu, suara langkah kaki yang mendekat membuat Mariana mengalihkan pandangannya. Begitu melihat siapa yang datang, senyum miris tersungging di bibirnya.โKalian berdua benar-benar luar biasa.โ Mariana mendengus, matanya menatap penuh cemooh. โBenar-benar nggak tahu malu dengan datang ke mari.โIa sadar betul ini adalah pemakamanโtempat peristirahatan
Setelah mendapat perawatan intensif dan menjalani serangkaian pemeriksaan, bayi dalam kandungan Bianca berhasil diselamatkan. Perempuan itu benar-benar merasa lega, begitu pula dengan Bara. Pria itu tahu, jika sampai kehilangan calon buah hatinya untuk kedua kalinya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.Dokter yang menangani Bianca memasukkan hasil pemeriksaan ke dalam mapnya, lalu menatap pasangan itu dengan ekspresi serius. โBu Bianca, kondisi Anda sudah stabil untuk saat ini, tetapi kehamilan Anda tetap dalam risiko tinggi. Pendarahan tadi bisa saja berakibat fatal jika terlambat ditangani.โBianca menelan ludah, tangannya refleks mengelus perutnya yang masih terasa nyeri. โApa yang harus saya lakukan, Dok?โโAnda harus banyak beristirahat dan menghindari stres,โ dokter itu melanjutkan dengan nada tegas. โTekanan emosional yang berlebihan dapat memicu kontraksi dini. Selain itu, pastikan asupan nutrisi tetap terjaga dan kurangi aktivitas berat. Kalau ada tanda-tanda sepe
Mariana sedang dalam perjalanan pulang ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar sebentarโnama ibunya tertera di sana. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkatnya.โIya, Bu?โAwalnya, ibunya diam. Mariana bisa mendengar tarikan napas di seberang sana sebelum akhirnya suara itu terdengar.โIbu tahu kamu masih sedih karena kehilangan Selene,โ ujar Ratna. โTapi, Mariana โฆ kamu juga harus mengerti bagaimana rasanya hampir kehilangan anak.โKening Mariana berkerut. โMaksud Ibu?โโBianca.โJantung Mariana berdegup sedikit lebih kencang.โDia beruntung cepat mendapat pertolongan, tapi bukan berarti dia dan bayinya baik-baik saja.โMariana menggigit bibirnya. Tangan kirinya mengepal tanpa sadar di atas pangkuannya. Ada sesuatu dalam nada suara ibunya yang membuat dadanya terasa sesak.โIbu dan Ayah sudah gagal mendidik Bianca,โ lanjut Ratna. โJangan sampai kami juga gagal mendidik kamu, Mariana.โMariana menelan ludah, tapi rasa kering di tenggorokannya tidak hilang. Pandangannya mene
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. โMoonie,โ panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.โAda yang mau kamu bicarakan, Moonie?โ tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. โNggak ada,โ sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.โMbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.โMariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.โJeslyn?โ ulangnya memastikan.โYa, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.โMariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, โTidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.โโBaik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. โMasuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.โSetelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.โSelamat pagi, Mbak Mariana,โ sapa Mbak Yanti sopan.โPagi. Silakan duduk, Mbak,โ jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. โElhan sayang. Ada yang mau kenalan.โElhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.โHalo, Nak. Ganteng banget kamu,โ ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata ituโAku cinta kamuโterpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. โElhan sayangโฆ kamu lucu banget, tahu nggak?โ ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, โPersis kayak papamu.โBelum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.โSelamat pagi,โ sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. โPagi, Tante.โWanita paruh baya dengan pen
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.โJeslyn,โ kata Nate dengan tegas. โIni Mariana, ibu susu Elhan.โIa berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, โDan selain itu, Mariana juga kekasihku.โWanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.โTunggu,โ seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. โDia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?โNate mengangguk mantap,
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.โKenapa duduk di sini?โ tanya Nate dengan lembut.โAku nungguin kamu pulang,โ jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. โGimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?โNate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. โNathaniel ...?โNate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.โTerkadang aku bertanya-tanya, Moonie,โ kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. โApakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.โMariana mengerucutkan
Nate berlari menuju mobil dengan Mariana di pelukannya, sementara Rani mengikuti di belakang seraya menggendong Elhan. Nate menempatkan Mariana dengan hati-hati di kursi penumpang depan, lalu bergegas ke sisi pengemudi.Di sepanjang perjalanan, Mariana berusaha menahan rasa sakit yang makin menjadi. Darah masih mengalir dari lukanya, membuat Nate semakin gelisah.โSayang, tahan sebentar. Kita hampir sampai,โ ujar Nate tanpa sadar. Ia baru saja memanggil Mariana dengan sebutan itu di depan Rani.Rani yang duduk di belakang bersama Elhan sontak tercengang. Ia sudah mendengar desas-desus soal hubungan Nate dengan Mariana, tapi itu hanya berupa bisik-bisik yang tidak pernah punya bukti jelas. Namun, kali ini, ia mendengarnya langsung dari mulut Nate saat memanggil Mariana dengan sebutan yang sangat pribadi.Rani mengulum senyum. โJadi, ini benar?โ pikirnya.Begitu sampai di klinik, Nate turun lebih dulu sambil menggendong Mariana. Sebelum berlari masuk, ia menoleh cepat ke arah Rani yang
Keesokan harinya,Mariana baru saja pulang bekerja. Sekujur tubuhnya terasa penat dan ia sudah tidak sabar ingin membersihkan diri. Namun, langkahnya melambat saat mendapati pintu kamarnya tidak tertutup rapat.Rasa curiga mulai menghinggapinya. Dengan hati-hati, ia mengintip sedikit dan mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan.Di dalam sana, Nadia sedang berdiri di depan meja rias, memegang gunting besar di tangan kanan. Pakaian Mariana yang seharusnya tergantung rapi di lemari, kini tergeletak berantakan di atas tempat tidur. Beberapa bagian pakaian tampak robek akibat guntingan Nadia.โNadia! Apa yang kamu lakukan!โ Mariana mendorong pintu kamar dengan cepat.Nadia segera menoleh, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Justru, ia tersenyum miring ketika Mariana memergokinya.โOh, Mariana, baru pulang?โ Nadia bertanya santai seolah-olah seperti tak ada yang salah dengan tindakannya. Sopan santunnya pun mendadak hilang.Mariana melangkah ke tengah kamar. โKenapa kamu