Tepat saat Mariana dan Nate hendak masuk ke mobil setelah selesai makan siang, suara dering ponsel menahan langkah wanita itu di depan pintu mobil. Dengan santai, Mariana meraih ponselnya yang tersimpan di dalam tas. Namun, ekspresi wajahnya langsung berubah ketika melihat nama yang terpampang di layar.Mariana mendesah pendek, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sebelum sempat membuka pintu mobil. Namun rupanya penelepon itu tidak menyerah. Ponsel Mariana kembali berdering, menampilkan panggilan masuk dari orang yang sama.Dengan gerakan cepat, Mariana meraih ponselnya lagi dan langsung mematikan daya. Sebelum layar benar-benar padam, ia sempat melihat sebuah pesan singkat masuk.[Kamu harus bicara denganku. Ini penting!]Mariana menggigit bibirnya, tetapi tetap memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas tanpa niat membaca lebih lanjut. Apa pun yang dianggap penting oleh Bianca, itu bukan urusannya lagi. Tidak setelah pertemuan mereka di kafe beberapa waktu lalu.âKenapa ti
Keesokan paginya, Mariana berangkat bersama Arsita menuju sebuah panti jompo eksklusif di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan banyak hal saat mobil melintasi jalan yang mulai ramai oleh aktivitas pagi.Namun ketika mereka sudah hampir tiba, Mariana menangkap kegelisahan yang berbeda dari sebelumnya. Arsita yang semula berbicara dengan santai, tiba-tiba lebih banyak diam. Jemarinya saling menggenggam sementara tatapannya menatap lurus ke depan tanpa benar-benar fokus.âTante baik-baik saja?â tanya Mariana, melirik ke arah wanita paruh baya di sampingnya itu.Arsita menghela napas pelan. âTante tidak tahu apakah beliau akan mengenali Tante hari ini.âMariana ikut terdiam, memahami perasaan wanita itu. âKalau pun enggak, setidaknya beliau akan tahu kalau seseorang yang peduli datang menemuinya,â katanya mencoba menenangkan.Arsita tersenyum kecil meski tatapannya masih dipenuhi kecemasan. âTante harap begitu, Sayang.âSetibanya di panti jompo, mereka disambut oleh s
Waktu berlalu tanpa Mariana sadari. Sambil menunggu sidang perceraian berikutnya, ia menerima kabar bahwa hari ini Bara dan Bianca akan menikah. Mariana sudah menegaskan kepada orang tuanya bahwa ia tidak akan menghadiri acara tersebut, dan mereka pun tidak mencoba menghubunginya.Namun di luar dugaan Mariana, seseorang yang sama sekali tak ia sangka tiba-tiba mengirim sebuah pesan.Layar ponselnya menampilkan sebuah fotoâgambar pernikahan Bara dan Bianca. Di foto itu, adiknya tampak berseri-seri mengenakan gaun pengantin, sementara Bara berdiri di sampingnya dengan ekspresi datar.[Pernikahan Bara dan Bianca akhirnya resmi. Jangan kaget ya melihat foto ini. Hanya ingin berbagi berita]Mariana mengangkat alis, membaca ulang pesan itu.âAku nggak mengerti kenapa Dewi mengirimkan ini padaku,â gumamnya heran.Dewi adalah sepupunya dari pihak ayah. Mereka sebaya, tapi hubungan mereka tidak begitu dekat. Sudah lama mereka tidak saling bertegur sapa, dan tiba-tiba hari ini Dewi mengiriminya
Sebelum pulang, Mariana dan Nate sepakat untuk makan dulu di salah satu restoran. Sejak duduk di meja makan dan memesan, Mariana mendadak berubah seperti orang yang berbeda. Wajahnya muram, sorot matanya kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Nate menyadarinya, tapi ia merasa canggung untuk bertanya.Hingga makanan mereka tiba pun Mariana masih diam. Kedua tangannya terulur meraih peralatan makan, tapi gerakannya lamban seakan-akan ia tengah berjuang melawan sesuatu yang tak kasatmata. Ia tampak enggan menyuapkan makanan itu ke mulutnya.Dari kursinya, Nate sesekali melirik ke arah Mariana. Wanita itu tetap diam, bahkan tidak menyadari tatapan penuh tanya di seberangnya. Baru ketika suapan pertama berhasil masuk ke mulutnya, air mata terlihat memancar dari pelupuk matanya.âMariana, apa kamu baik-baik saja?â tanya Nate akhirnya.Mariana menggeleng pelan. Setelah itu, air matanya benar-benar jatuh membasahi pipinya. Dadanya naik turun seiring napas yang mulai tidak beraturan
Mariana terdiam. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap pria itu dengan mata lebar seolah kata-kata itu baru saja menghantam dadanya dengan keras. Namun, alih-alih melunak, sesuatu di dalam dirinya justru meledak.Ia tertawaâtapi bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa getir, penuh kepedihan dan kemarahan yang selama ini terpendam.âKamu benar-benar keterlaluan, Bara.â Suaranya bergetar. âKamu menginginkan Selene? Setelah kamu menghancurkan semuanya?âNapas Mariana memburu. Matanya membara dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.âJangan berbicara omong kosong! Pergilah, Bara! Selene nggak butuh ayah seperti kamu!âTepat setelah bentakan itu, suara langkah kaki yang mendekat membuat Mariana mengalihkan pandangannya. Begitu melihat siapa yang datang, senyum miris tersungging di bibirnya.âKalian berdua benar-benar luar biasa.â Mariana mendengus, matanya menatap penuh cemooh. âBenar-benar nggak tahu malu dengan datang ke mari.âIa sadar betul ini adalah pemakamanâtempat peristirahatan
Setelah mendapat perawatan intensif dan menjalani serangkaian pemeriksaan, bayi dalam kandungan Bianca berhasil diselamatkan. Perempuan itu benar-benar merasa lega, begitu pula dengan Bara. Pria itu tahu, jika sampai kehilangan calon buah hatinya untuk kedua kalinya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.Dokter yang menangani Bianca memasukkan hasil pemeriksaan ke dalam mapnya, lalu menatap pasangan itu dengan ekspresi serius. âBu Bianca, kondisi Anda sudah stabil untuk saat ini, tetapi kehamilan Anda tetap dalam risiko tinggi. Pendarahan tadi bisa saja berakibat fatal jika terlambat ditangani.âBianca menelan ludah, tangannya refleks mengelus perutnya yang masih terasa nyeri. âApa yang harus saya lakukan, Dok?ââAnda harus banyak beristirahat dan menghindari stres,â dokter itu melanjutkan dengan nada tegas. âTekanan emosional yang berlebihan dapat memicu kontraksi dini. Selain itu, pastikan asupan nutrisi tetap terjaga dan kurangi aktivitas berat. Kalau ada tanda-tanda sepe
Mariana sedang dalam perjalanan pulang ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar sebentarânama ibunya tertera di sana. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkatnya.âIya, Bu?âAwalnya, ibunya diam. Mariana bisa mendengar tarikan napas di seberang sana sebelum akhirnya suara itu terdengar.âIbu tahu kamu masih sedih karena kehilangan Selene,â ujar Ratna. âTapi, Mariana âĶ kamu juga harus mengerti bagaimana rasanya hampir kehilangan anak.âKening Mariana berkerut. âMaksud Ibu?ââBianca.âJantung Mariana berdegup sedikit lebih kencang.âDia beruntung cepat mendapat pertolongan, tapi bukan berarti dia dan bayinya baik-baik saja.âMariana menggigit bibirnya. Tangan kirinya mengepal tanpa sadar di atas pangkuannya. Ada sesuatu dalam nada suara ibunya yang membuat dadanya terasa sesak.âIbu dan Ayah sudah gagal mendidik Bianca,â lanjut Ratna. âJangan sampai kami juga gagal mendidik kamu, Mariana.âMariana menelan ludah, tapi rasa kering di tenggorokannya tidak hilang. Pandangannya mene
Lima bulan telah berlalu sejak Mariana resmi menjadi ibu susu Elhan. Waktu terasa begitu cepat, dan kini hanya tersisa satu bulan lagi dari perjanjian awal mereka. Mariana merasa berat hati.Setiap detik bersama Elhan membuatnya semakin terikat pada bayi itu, dan semakin ia merasa dekat, semakin ia takut harus berpisah. Namun, ada juga hal lain yang mengganjal di hatinya. Hubungannya dengan orang tuanya semakin renggang.Sejak ibunya menelepon dan menyalahkannya atas kejadian pendarahan Bianca, Mariana merasa sangat terluka. Ia merasa disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatunya, dan meski mencoba untuk menjaga hubungan, ia mulai menghindari mereka.Berbeda dengan Arsita dan Arya yang selalu mendukung dan memahami dirinya tanpa syarat, Mariana merasa lebih diterima bersama mereka. Mereka tidak menghakimi, mereka hanya memberikan perhatian dan pengertian. Sementara itu, dengan orang tuanya, ia merasa seperti terjebak dalam ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.âMaaf,â ucapnya pelan seraya menunduk. âAku hanya âĶ hanya âĶ.âIa tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.âMaaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,â ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.âHey, dengar,â katanya lembut. âAku tahu ad
Arsita segera berdiri saat melihat Nate menggendong Mariana lalu mendudukkan wanita itu di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu tampak terkejut sekaligus khawatir.âApa yang terjadi?â tanyanya dengan nada cemas.Nate mendesah pelan. Raut wajahnya serius saat memandangi ibunya. Namun, belum sempat ia membuka suara untuk menjelaskan, Jeslyn buru-buru mendekat dan bersuara dengan cepat.âTante, aku tidak sengaja menabrak Mbak Nana sampai dia terjatuh. Aku juga sudah minta maaf padanya. Tapi dia justru mengatakan kalau aku memang sengaja.â Jeslyn bersikap manis, wajahnya tampak dibuat-buat seolah diliputi penyesalan.Mendengar itu, Mariana tersenyum tipis. Ia sudah jenuh menghadapi orang bermuka dua seperti Jeslyn.âBenar. Aku memang bilang kamu sengaja,â ucap Mariana tenang. âKarena hanya orang buta atau orang yang menyimpan niat buruk yang bisa menabrak seseorang dari jarak sedekat itu.ââMariana,â tegur Arsita pelan, wanita paruh baya itu terlihat tidak nyaman dengan ketegangan yang m
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.âEh, ternyata ada kalian di sini!âSemua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.âOh, Jeslyn.â Arsita tersenyum ramah. âKebetulan sekali âĶ.âJeslyn terkekeh. âTempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.â Lalu ia menoleh ke Nate. âTapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan âĶ entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.âAda satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,â ucap sang host. âKami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?âMariana meneguk ludah dengan pelan. Napasny
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. âMoonie,â panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.âAda yang mau kamu bicarakan, Moonie?â tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. âNggak ada,â sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.âMbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.âMariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.âJeslyn?â ulangnya memastikan.âYa, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.âMariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, âTidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.ââBaik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. âMasuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.âSetelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.âSelamat pagi, Mbak Mariana,â sapa Mbak Yanti sopan.âPagi. Silakan duduk, Mbak,â jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. âElhan sayang. Ada yang mau kenalan.âElhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.âHalo, Nak. Ganteng banget kamu,â ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata ituâAku cinta kamuâterpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. âElhan sayangâĶ kamu lucu banget, tahu nggak?â ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, âPersis kayak papamu.âBelum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.âSelamat pagi,â sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. âPagi, Tante.âWanita paruh baya dengan pen