Kamar Hotel, Pukul 10 Malam.Mariana bersandar di kepala ranjang, jari-jarinya masih menggenggam ponsel yang layarnya memantulkan cahaya di wajahnya. Pesan dari Nate masih terbuka.[Jangan terlalu dipikirkan soal tadi. Aku hanya ingin melindungimu.]Ia menghela napas pelan. Seharusnya ia mengabaikannya atau setidaknya membalas dengan sesuatu yang santai. Tapi pikirannya tidak mau diam.Kenapa Nate terlihat begitu nyaman dalam perannya tadi?Apakah itu hanya spontanitas? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?Mariana menggigit bibirnya, jempolnya melayang di atas keyboard sebelum akhirnya ia mengetik.Mariana: [Aku nggak menyangka kamu akan mengatakan hal seperti itu di depan Ririn.]Pesannya terkirim, dan ia segera meletakkan ponselnya di samping. Ia pikir Nate tidak akan langsung membalas, tapi beberapa detik kemudian, layarnya kembali menyala.Nathaniel Adikara: [Kamu lebih terkejut yang mana? Karena aku membelamu, atau karena aku mengakui sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak sadar seb
Suasana di kantor cabang terasa lebih sibuk dari biasanya, terutama dengan kehadiran Nathaniel Adikara, CEO yang selama ini lebih sering mengawasi dari pusat. Kehadirannya selalu membawa tekanan tersendiri bagi para karyawan—mereka ingin menunjukkan kinerja terbaik, tetapi di sisi lain, ada ketegangan yang tak terhindarkan.Mariana duduk di salah satu meja konferensi, sibuk mencatat poin-poin penting dari laporan yang baru saja dipresentasikan. Namun, semakin lama ia mulai merasa ada sesuatu yang berbeda.Ada bisik-bisik yang terdengar samar dari berbagai sudut ruangan, beberapa di antaranya terhenti seketika saat ia menoleh. Setiap kali ia mengangkat kepala, beberapa karyawan dengan cepat mengalihkan pandangan.Suara pena yang sebelumnya terdengar ramai kini terasa lebih jarang, seolah beberapa orang lebih sibuk mengamati situasi dibanding benar-benar mencatat.‘Kenapa mereka melihat ke arahku?’ pikirnya dalam hati.Mariana menghela napas pelan, berusaha mengabaikan perasaan tidak ny
Pantry kecil di ujung lorong mulai terisi lagi. Beberapa staf masuk satu per satu, membawa cangkir kopi atau camilan ringan. Tapi meja di pojok kiri—yang biasanya sepi—kali ini jadi pusat bisik-bisik. Bu Sari duduk di sana, ditemani Dira dan Leo. Ketiganya baru saja kembali dari kantin lantai dasar dengan satu topik yang tak bisa mereka lewatkan begitu saja.“Jadi … tadi kalian lihat juga, ‘kan?” Dira membuka percakapan dengan suara pelan tapi penuh tekanan. “Pak Nathaniel masuk ke kantin, Pak Ardi dari tim operasional sudah berdiri menyambutnya. Tapi dia malah langsung duduk di meja yang ada Mariana.”Bu Sari yang sedang mengaduk tehnya pelan lantas mengangguk. “Saya juga lihat. Gaya Pak Nathaniel memang tenang, tapi gerakannya jelas menunjukkan bahwa Pak Nathaniel memang memilih duduk di sana.”Leo bersandar, tangannya meremas kaleng soda yang hampir kosong. “Bukan cuma duduk bareng, Dir. Cara mereka ngobrol itu lho. Santai, kayak udah kenal lama banget. Mbak Mariana juga kelihatan
Mariana berdiri ragu di depan pintu mobil berwarna hitam itu. Sejak mendengar gosip di toilet wanita tadi, pikirannya jadi kacau. Ia tak bisa fokus. Ada rasa tidak nyaman yang terus mengusik, seolah beberapa pasang mata diam-diam mengamati setiap langkahnya.Kaca jendela mobil perlahan turun, menampilkan wajah pria yang begitu dikenalnya.“Berapa lama lagi kamu mau berdiri di situ, Mariana?”Suara bariton Nate terdengar tenang, tapi Mariana langsung tersentak pelan. Ia menunduk sebentar, menarik napas pendek, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.“Aku … maaf. Tadi sempat mikir sebentar,” ucapnya tanpa berani menatap Nate.Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan halaman kantor cabang, menuju hotel tempat mereka menginap. Langit sudah mulai menggelap. Hujan tipis menyapa kaca depan, dan suasana kota kecil itu terasa lebih sepi dari yang biasa mereka hadapi.“Kamu terlihat tidak tenang sejak tadi,” ucap Nate.Mariana menggigit bibir. “Tadi ... aku dengar ada yang membicarakan kit
Makan malam selesai tanpa Mariana sadari sudah lebih dari satu jam berlalu. Udara malam di tepi sungai terasa makin dingin, tapi tidak membuat mereka beranjak cepat. Nate sesekali memandang ke arah air yang mengalir tenang sebelum akhirnya berdiri dan menoleh ke Mariana.“Ayo, pulang. Besok kita masih ada rapat pagi.”Mariana mengangguk. Mereka berjalan kembali ke mobil dengan langkah santai. Di sepanjang jalan, keduanya tak banyak bicara. Tapi justru kesunyian itu terasa nyaman, tak canggung seperti sebelumnya.Di dalam mobil, Mariana bersandar ringan sambil menatap keluar jendela. Lampu kota yang berpendar samar memantul di kaca, menyatu dengan pikirannya yang tak kalah remang.“Tempat tadi … enak,” ucapnya pelan.Nate menoleh singkat. “Aku senang kamu suka.”“Biasanya kamu ke sana sama siapa?”Pertanyaan itu keluar begitu saja, dan Mariana langsung menggigit bibir setelahnya.Namun Nate hanya menjawab ringan. “Sendiri. Atau sama tim lokal. Tapi belum pernah mengajak orang luar kant
Keesokan paginya, Mariana sudah tiba lebih dulu di lobi hotel. Rambutnya ia ikat sederhana, wajahnya tanpa riasan mencolok, hanya sapuan tipis bedak dan lip cream yang membuatnya tampak segar. Ia berdiri di dekat sofa panjang sambil memeluk map dokumen yang sudah ia siapkan sejak tadi malam.Ketika Nate muncul dari arah lift, langkahnya mantap seperti biasa, tapi matanya langsung menangkap sosok Mariana.“Kamu datang lebih awal,” katanya sambil menghampiri.Mariana tersenyum tipis. “Iya … aku pikir akan lebih baik kalau kita bisa evaluasi jadwal sebentar sebelum berangkat.”Nate mengangguk. “Kamu baik-baik saja?”“Masih sedikit pusing. Tapi sudah minum obat,” jawab Mariana jujur.Mariana tidak berani menatap Nate terlalu lama. Masih ada sisa kegugupan sejak pesan semalam—pesan yang sampai sekarang belum ia balas.Nate menarik napas pelan. “Harusnya kamu istirahat.”“Aku baik-baik saja. Lagi pula, aku yang mengatur jadwal hari ini. Kalau aku tinggal, kamu bisa nyasar,” katanya dengan n
Siang hari di Kalimantan Timur terasa menyengat dengan langit cerah yang tak berawan. Setelah rapat panjang dan makan siang bersama tim, Mariana memutuskan untuk duduk sebentar di kursi kayu panjang di dekat taman kecil belakang gedung kantor.Mariana melepas heels-nya diam-diam dan mengangkat kakinya sedikit. Kakinya pegal. Sangat pegal.Ia baru saja menggulung ujung roknya agar tidak menyentuh tanah saat suara langkah kaki mendekat.“Kamu bersembunyi di sini?” Suara itu terdengar santai, tapi Mariana langsung tahu siapa pemiliknya.Mariana menoleh pelan. Di sana, Nate berdiri di dekat bangku dengan dua botol minuman isotonik dingin di tangannya.“Aku cuma istirahat sebentar,” jawab Mariana, buru-buru menurunkan kakinya dan bersiap memakai sepatu lagi. Tapi Nate sudah lebih dulu duduk di sampingnya, meletakkan salah satu botol di dekat Mariana.“Jangan dipakai dulu,” kata Nate dengan nada tenang. “Kaki kamu pasti sakit.”Mariana terdiam. Jari-jarinya menggenggam ujung rok yang sudah
Alih-alih langsung pulang, Nate mengajak Mariana berjalan menuju lounge terbuka di lantai atas hotel. Tempat itu sepi, hanya diterangi cahaya kuning temaram dari lampu gantung dan beberapa lilin di meja. Suasana malam yang tenang dengan angin yang lembut berembus membuat langkah mereka melambat.“Kamu tidak keberatan mengobrol sebentar di sini?” tanya Nate sambil menarik kursi untuk Mariana.Mariana menggeleng, ia duduk dengan senyum tipis. “Enggak sama sekali.”Mereka belum sempat berbicara lebih jauh saat ponsel Mariana bergetar. Sebuah panggilan video masuk dari Nadia.Mariana sontak menegakkan tubuh. “Maaf, ini dari Nadia.”“Silakan,” sahut Nate tenang.Mariana menekan tombol berwarna hijau dan layar segera menampilkan wajah Nadia yang tampak antusias dengan Elhan di pangkuannya.“Hai! Lihat siapa yang ingin menyapa Ibu Susunya!” seru Nadia dengan nada riang.Elhan muncul mengenakan jumper berbentuk kelinci—lengkap dengan telinga panjang yang menjuntai ke samping. Pipi bulatnya ke
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan … entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.“Ada satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,” ucap sang host. “Kami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?”Mariana meneguk ludah dengan pelan. Napasny
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.“Jeslyn,” kata Nate dengan tegas. “Ini Mariana, ibu susu Elhan.”Ia berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, “Dan selain itu, Mariana juga kekasihku.”Wanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.“Tunggu,” seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. “Dia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?”Nate mengangguk mantap,
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.“Kenapa duduk di sini?” tanya Nate dengan lembut.“Aku nungguin kamu pulang,” jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. “Gimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?”Nate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. “Nathaniel ...?”Nate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.“Terkadang aku bertanya-tanya, Moonie,” kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. “Apakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.”Mariana mengerucutkan