Setelah menempuh beberapa jarak, Mariana akhirnya tiba di kediaman Nate. Dengan langkah gontai, Mariana masuk ke rumah itu. Baru saja ia melepas sepatu di foyer, Mariana mendapati Nate berdiri di ruang tengah.Pria itu masih mengenakan kaos olahraga abu dan celana training hitam. Handuk kecil tergantung di lehernya, rambutnya sedikit basah karena keringat. Tatapannya langsung jatuh pada Mariana.โMariana?โ Nate langsung menghampiri. Alisnya bertaut khawatir. โKamu kenapa? Wajahmu terlihat shock.โMariana cepat-cepat menggeleng. โEnggak. Nggak ada apa-apa.โNate menatapnya lebih dalam. โKamu yakin?โ Kamu kelihatan baik-baik saja saat berangkat, sekarang pulang malah seperti habis melihat hantu.โMariana menghindari tatapan itu sekilas. Ia menarik napas lalu memaksakan senyum. โHari ini jadi โkan ke arisan keluarga? Aku ganti pakaian dulu dan bersiap-siap,โ ucapnya mengalihkan topik pembicaraan.Tanpa memberi Nate kesempatan bertanya lebih lanjut, Mariana langsung berjalan menuju kamarn
Hening terasa makin canggung. Beberapa orang saling melirik, sebagian lagi pura-pura sibuk dengan teh atau kudapan di tangan. Tak ada yang bicara, tapi Mariana bisa merasakan ketidaksetujuan yang terselip di balik senyum tipis dan tatapan sekilas.Arsita masih berdiri di sampingnya, genggamannya masih tak terlepas dari tangan Mariana. Ia menatap satu per satu wajah yang memandang mereka, lalu tersenyum kecil.โAku hanya menyampaikan keinginanku,โ ucap Arsita. โSaat ini, baik Nate ataupun Mariana sendiri tidak terpikir ke arah sana. Maaf sudah membuat suasana jadi canggung.โArsita melirik sekilas ke arah Mariana, lalu ke Nate yang berdiri tak jauh dari mereka. โMaaf, Mama tidak bermaksud mendahului siapa-siapa atau bersikap lancang,โ katanya pelan.Arsita melepas genggaman tangannya perlahan dan tersenyum hangat pada Mariana.Perlahan, suara-suara mulai terdengar kembali. Seseorang tertawa pelan di sudut ruangan. Seorang wanita paruh baya mulai memuji kue lapis legit yang tersaji di m
Nate setengah berlari saat Mariana tiba-tiba ambruk ke lantai. Wajah Mariana yang semula berseri kini mendadak pucat. Dan matanya digenangi air mata.โAda apa, Na?โ tanya Nate.Mariana mendongak perlahan. Air mata jatuh bersamaan dengan pandangannya yang bertemu dengan mata pria itu. Bibirnya bergetar, dan butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya suara lirih keluar dari mulutnya.โNenek โฆ meninggal.โNate terpaku. Matanya membelalak sejenak.โAku harus ke kampung,โ ucap Mariana lemah. Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya langsung limbung.Nate sigap menangkap lengan Mariana sebelum ia jatuh lagi. โAku antar kamu.โMariana ingin menolak, tapi lidahnya kelu.Nate menatap lekat wajah sendu itu, lalu menggenggam lengan Mariana. โKamu kuat jalan sendiri? Kalau tidak, aku gendong sampai mobil.โMariana menggeleng pelan. โAku ... aku bisa,โ ucapnya lirih.Nate mengangguk dan perlahan memapah tubuh Mariana ke arah pintu keluar.Langkah Mariana berat, tapi Nate tak melepaskan pegangan tangannya
Sudah beberapa hari sejak Mariana kembali dari kampung. Seiring waktu, rona di wajahnya mulai pulih. Ia mulai tersenyum lagi.Siang itu, suasana kantor terasa seperti biasa. Sunyi. Profesional. Hanya terdengar bunyi lembut keyboard dan sesekali dering telepon.Nate berdiri di balik dinding kaca ruangannya. Tangannya disilangkan di depan dada, memperhatikan Mariana dari kejauhan. Wanita itu tengah mengetik sambil menyipitkan mata, lalu tiba-tiba mengerucutkan bibirโmungkin ada file yang hilang atau tabel yang tidak sesuai.Nate tak tersenyum, tapi ada jeda di napasnya. Dia tahu, Mariana sedang kembali jadi dirinya yang dulu.Ia menekan tombol interkom di mejanya. โMariana, masuk sebentar.โTak lama kemudian, suara ketukan lembut terdengar di pintu. Mariana melangkah masuk dengan tablet di tangan dan senyum profesional.โYa, Pak?โ ujarnya sopan, pandangannya langsung tertuju pada pria di balik meja kerja.โBawa notulensi rapat kemarin,โ kata Nate tanpa basa-basi. โAku ingin pastikan bagi
Sudah lewat seminggu sejak makan malam itu. Mariana mengira semuanya akan kembali seperti biasa.Tapi pagi ini, ia menerima email dengan subject:โKunjungan Proyek โ Zona Surya 2 (Site Banyu Arta)โPengirim: Nathaniel Adikara.Isi pesannya singkat.[Siapkan dokumen lapangan dan ringkasan progres. Kita berangkat besok pagi.]Mariana menatap layar monitornya beberapa detik tanpa berkedip. Bahkan belum sempat menarik napas panjang, otaknya langsung memutar ulang satu kalimat tertentu.โKalau tiba-tiba kamu disuruh ikut kunjungan kerja ke proyek energi surya minggu depan, jangan kaget, ya.โUcapan Rani, dengan senyum nakalnya itu, seolah tiba-tiba relevan.Keesokan harinya โฆ.Sekitar pukul sembilan pagi, mobil yang mereka tumpangi akhirnya keluar dari jalan utama dan masuk ke area proyek. Tanah terbuka membentang luas, dihiasi panel-panel surya yang berbaris rapi. Di kejauhan, tampak beberapa pekerja dengan rompi oranye sibuk memeriksa sambungan kabel.Mobil berhenti di dekat pos semi perm
Keesokan harinya โฆ.Pagi datang dengan kabut tipis yang menyelimuti area sekitar penginapan. Udara masih dingin saat Mariana membuka pintu kamar, berniat ke ruang makan untuk mencari teh hangat.Namun langkahnya terhenti.Di depan pintunya, ada termos kecil dengan sticky note menempel di permukaannya.[Minum ini sebelum turun. Teh jahe dan madu. โ Nate.]Mariana terpaku. Hanya beberapa baris kalimat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak tidak karuan.Ia mengangkat termos itu dengan dua tangan. Uapnya mengepul dan aroma jahe menyusup ke hidungnya.Setelah meneguk satu kali, Mariana menatap keluar lorong. Kosong. Tidak ada siapa pun.Ia tidak bisa menebak niat di balik Nate melakukan ini untuknya.Mariana ingin berpikir bahwa tindakan Nate hanyalah bentuk perhatian seorang atasan terhadap bawahannya. Tapi, ayolah! Mariana tidak cukup lugu untuk berpikir demikian.Lagi pula, sejak kapan seorang CEO mau repot-repot melakukan hal semacam ini untuk sekretarisnya?Tapi jika ia harus b
Setelah kejadian itu, Mariana kehilangan minat untuk melanjutkan jalan-jalan. Suasana hatinya mendadak buruk, dan langkahnya terasa berat saat ia memutar arah kembali ke penginapan.Sesampainya di kamar, ia langsung mengunci pintu dan merebahkan diri di tempat tidur.Dalam diam, pikirannya tiba-tiba melayang ke Elhan.Mariana bergegas duduk dan meraih ponsel, membuka kontak Nadia, lalu menekan ikon video call. Butuh beberapa detik sebelum wajah Nadia muncul di layar, wanita itu tersenyum cerah seperti biasa.โHallo, Bu Mariana!โ sapa Nadia sopan sekaligus antusias.Mariana tersenyum. โHallo, Nad. Elhan bangun?โโIya, Bu. Lagi main. Mau lihat?โ tanyanya, dan Mariana langsung mengangguk.Nadia memiringkan kamera, memperlihatkan Elhan yang sedang duduk di karpet dengan boneka gajah kecil di tangannya. Bayi lucu itu tertawa kecil dengan mata berbinar.Seketika, mood Mariana kembali.โElhan โฆ,โ panggilnya pelan.Bayi lucu itu menoleh, lalu tersenyum lebar begitu melihat wajah Mariana di lay
Hari ketiga seharusnya menjadi hari terakhir mereka di kota ini. Namun pagi itu, saat Mariana baru selesai mengemas barang-barangnya, Nate mengetuk pintu kamarnya.Mariana membuka pintu dengan dahi berkerut. โSudah siap ke bandara?โNate menggeleng sambil menyelipkan tangan ke saku celananya. โKita tidak jadi pulang hari ini.โMariana memiringkan kepala, bingung. โKenapa?โโAku extend satu hari. Ada tempat-tempat yang ingin aku kunjungi,โ ujar Nate santai.Mariana terdiam. โTempat apa?โ tanyanya akhirnya.Nate hanya tersenyum misterius. โGanti baju yang santai. Aku tunggu di bawah.โ***Perjalanan hari itu dimulai dari wisata kuliner. Mereka mencicipi rawon khas, tahu petis, hingga menikmati kopi lokal di kedai kecil tersembunyi yang terkenal karena cita rasa khasnya.Setelah makan siang, Nate mengajak Mariana ke sebuah kebun teh di dataran tinggi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa wisatawan lain yang tampak berjalan-jalan santai. Udara sejuk menggigit kulit, tapi pemandangan hijaun
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan โฆ entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.โAda satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,โ ucap sang host. โKami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?โMariana meneguk ludah dengan pelan. Napasny
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. โMoonie,โ panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.โAda yang mau kamu bicarakan, Moonie?โ tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. โNggak ada,โ sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.โMbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.โMariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.โJeslyn?โ ulangnya memastikan.โYa, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.โMariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, โTidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.โโBaik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. โMasuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.โSetelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.โSelamat pagi, Mbak Mariana,โ sapa Mbak Yanti sopan.โPagi. Silakan duduk, Mbak,โ jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. โElhan sayang. Ada yang mau kenalan.โElhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.โHalo, Nak. Ganteng banget kamu,โ ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata ituโAku cinta kamuโterpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. โElhan sayangโฆ kamu lucu banget, tahu nggak?โ ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, โPersis kayak papamu.โBelum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.โSelamat pagi,โ sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. โPagi, Tante.โWanita paruh baya dengan pen
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.โJeslyn,โ kata Nate dengan tegas. โIni Mariana, ibu susu Elhan.โIa berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, โDan selain itu, Mariana juga kekasihku.โWanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.โTunggu,โ seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. โDia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?โNate mengangguk mantap,
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.โKenapa duduk di sini?โ tanya Nate dengan lembut.โAku nungguin kamu pulang,โ jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. โGimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?โNate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. โNathaniel ...?โNate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.โTerkadang aku bertanya-tanya, Moonie,โ kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. โApakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.โMariana mengerucutkan
Nate berlari menuju mobil dengan Mariana di pelukannya, sementara Rani mengikuti di belakang seraya menggendong Elhan. Nate menempatkan Mariana dengan hati-hati di kursi penumpang depan, lalu bergegas ke sisi pengemudi.Di sepanjang perjalanan, Mariana berusaha menahan rasa sakit yang makin menjadi. Darah masih mengalir dari lukanya, membuat Nate semakin gelisah.โSayang, tahan sebentar. Kita hampir sampai,โ ujar Nate tanpa sadar. Ia baru saja memanggil Mariana dengan sebutan itu di depan Rani.Rani yang duduk di belakang bersama Elhan sontak tercengang. Ia sudah mendengar desas-desus soal hubungan Nate dengan Mariana, tapi itu hanya berupa bisik-bisik yang tidak pernah punya bukti jelas. Namun, kali ini, ia mendengarnya langsung dari mulut Nate saat memanggil Mariana dengan sebutan yang sangat pribadi.Rani mengulum senyum. โJadi, ini benar?โ pikirnya.Begitu sampai di klinik, Nate turun lebih dulu sambil menggendong Mariana. Sebelum berlari masuk, ia menoleh cepat ke arah Rani yang