Share

5. Bersikeras

Author: Merspenstory
last update Last Updated: 2025-03-13 14:43:43

Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.

“Ibu ...,” gumamnya lirih.

Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.

Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.

“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.

Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.

“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”

Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungkapkan sakit hatinya, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, “Iya, Bu.”

Ratna mengangkat tangannya yang lemah, jemarinya menyentuh pipi Mariana yang basah oleh air mata. Sentuhan itu lembut, penuh kasih sayang, namun juga dipenuhi rasa bersalah yang begitu dalam.

“Ibu tahu kamu pasti sakit hati,” bisik Ratna dengan suara serak. “Tapi tolong jangan benci adikmu, Nak.”

Mariana terdiam. Dadanya terasa sesak, hatinya berkecamuk antara sakit hati dan rasa tanggung jawab sebagai kakak.

Bagaimana mungkin ia tidak membenci Bianca setelah semua yang terjadi? Setelah pengkhianatan yang begitu keji?

Namun, melihat ibunya seperti ini—terbaring lemah dengan wajah penuh penyesalan—membuat Mariana semakin tersiksa.

“Ibu tahu ini nggak adil buat kamu,” lanjut Ratna begitu lirih. “Tapi Bianca tetap adikmu. Ibu nggak mau kalian jadi musuh seumur hidup.”

Mariana menunduk seraya menggigit bibirnya yang bergetar. Rasanya ingin berteriak bahwa semua ini tidak semudah itu. Namun di saat yang sama, ia juga tidak sanggup menambah kesedihan ibunya.

“Ibu istirahat saja dulu,” kata Mariana akhirnya.

Ratna menatap putri sulungnya itu cukup lama sebelum akhirnya menghela napas pelan. Ia tahu, luka ini terlalu dalam untuk sembuh dalam semalam.

Sementara itu di luar kamar, suara langkah seseorang terdengar mendekat. Mariana menoleh ke arah pintu dan jantungnya seketika mencelos saat melihat sosok yang muncul di ambang pintu.

Bianca.

Mariana mengeratkan genggamannya pada selimut ibunya, sorot matanya seketika menjadi dingin saat melihat adiknya itu. “Ngapain kamu di sini?” tanyanya ketus.

Bianca mengepalkan tangannya dengan erat. “Aku cuma mau lihat ibu,” ucapnya tanpa merasa bersalah.

Mariana tertawa sinis. “Setelah apa yang kamu lakukan, kamu pikir kamu punya hak untuk peduli?”

Ratna yang sedari tadi diam, akhirnya menghela napas berat. Ia menatap Bianca, bukan dengan kemarahan, melainkan kekecewaan yang begitu dalam.

“Bianca,” suara ibunya lemah tapi tajam. “Apa yang kamu lakukan bukan sekadar salah. Itu pengkhianatan.”

Mata Bianca berkilat. “Jadi sekarang Ibu juga membela Kak Mariana?” nadanya penuh tuduhan. “Kenapa? Karena dia anak kebanggaan Ibu? Karena dia selalu lebih baik dari Bia?”

Ratna menatap gadis itu dengan luka yang jelas terpampang di matanya. “Bukan masalah siapa yang lebih baik, Bianca!” Ia menegaskan suaranya. “Ini tentang benar dan salah.”

Bianca mendengus, lalu melipat tangannya di dada. “Lucu! Ibu bicara seolah-olah selama ini memperlakukan Bia dengan adil. Tapi kenyataannya? Ibu dan Ayah nggak pernah memandang Bia seperti Kak Mariana.”

Ratna menutup matanya sesaat, berusaha mengatur napasnya yang terasa berat. “Kamu pikir itu alasan yang cukup untuk menghancurkan hidup kakakmu?” tanyanya dengan suara bergetar.

Bianca tidak menjawab, tapi tatapan matanya penuh pembelaan. Seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah bentuk pembalasan dari semua ketidakadilan yang ia rasakan.

“Bianca,” suara Ratna kali ini melemah. “Ibu mungkin bukan ibu yang sempurna, tapi apa itu cukup untuk membuatmu jadi seperti ini?”

Bianca terdiam. 

Mariana yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya menghela napas kasar. “Aku nggak mau dengar lagi,” katanya dingin. “Kalau kamu cuma datang untuk menyalahkan orang lain atas apa yang sudah kamu lakukan, lebih baik pergi!” usirnya.

Tatapan Bianca semakin tajam menatap Mariana. “Bia nggak datang untuk minta maaf. Bia cuma ingin melihat Ibu!” tegasnya tak tahu malu.

Mariana tersenyum sinis. “Dan setelah ini, apa? Kamu kembali ke suamiku dan pura-pura tidak ada yang salah?”

Kali ini, Bianca tidak menjawab. Gadis itu hanya mengerjap seraya mengepalkan tangan.

Mariana menatap adiknya itu cukup lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau itu keputusanmu, aku juga sudah mengambil keputusanku.”

Ia menunduk, mencium punggung tangan ibunya dengan lembut, lalu berbalik menuju pintu. Saat melewati Bianca, Mariana berhenti sejenak dan menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan campuran emosi.

“Aku nggak akan membencimu, Bianca,” katanya pelan. “Tapi mulai sekarang, kamu bukan adikku lagi.”

Sepeninggal Mariana, Ratna menatap putri bungsunya dengan sorot mata yang semakin suram. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengangkat tubuhnya sedikit.

“Kamu benar-benar nggak menyesal, Bianca?” Suaranya lirih. “Setelah semua yang kamu lakukan?”

Bianca tetap berdiri di tempatnya, dagunya terangkat dengan angkuh meskipun sorot matanya sekilas bergetar.

“Aku nggak menyesal, Bu.”

Ratna mengatupkan bibirnya rapat-rapat, berusaha menahan gemuruh di dadanya.

“Ibu nggak habis pikir, bagaimana bisa aku melahirkan anak yang tega menghancurkan hidup kakaknya sendiri?”

Bianca menggenggam tangannya dengan kuat. “Ibu selalu menyalahkan Bia,” desisnya dengan mata berkaca-kaca. “Dari dulu, Ibu dan Ayah cuma melihat Kak Mariana. Apa Bia pernah benar-benar dianggap?”

Ratna menghela napas panjang. “Itu hanya pemikiranmu, Bianca! Kami nggak pernah memperlakukan kalian dengan berbeda. Terlepas dari semua itu, kamu pikir itu cukup jadi alasan untuk merebut suami kakakmu?”

Bianca menegang. “Dia bukan hanya milik Kak Mariana!” jawabnya dengan suara yang lebih tinggi. “Dia juga mencintai Bia!”

Tamparan keras mendarat di pipi Bianca. Ratna yang nyaris tidak memiliki tenaga tadi, kini menatapnya dengan mata yang dipenuhi kemarahan dan kesedihan.

“Cinta?” Ratna mengulang kata itu dengan suara bergetar. “Cinta macam apa yang menghancurkan keluarga?”

Bianca menutup matanya erat, tangannya menyentuh pipinya yang memerah. Ia mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh.

Ratna menegakkan tubuhnya sedikit, berusaha mengumpulkan semua sisa tenaganya. “Ibu sangat kecewa, Bianca.”

“Ibu nggak mengerti—”

“Apa yang harus Ibu mengerti, Bianca?” potong Ratna tajam. “Bahwa kamu merasa kurang diperhatikan? Bahwa kamu iri pada kakakmu? Lalu itu membuat semua yang kamu lakukan bisa dibenarkan?”

Bianca terdiam.

“Kami mungkin bukan orang tua yang sempurna,” lanjut Ratna dengan suara yang mulai melemah. “Tapi Ibu nggak pernah mengajarkanmu untuk menjadi orang sekejam ini. Kamu tahu itu, Bianca!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 142

    Pagi menyapa perlahan, seperti tak ingin mengganggu terlalu cepat. Kelopak mata Mariana bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Ia menyipit, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam pandangannya. Ranjang di sampingnya sudah kosong, tapi hangatnya masih tertinggal di seprai. Nate sudah bangun.Ia menarik selimut sedikit, duduk perlahan, dan menarik napas panjang. Masih setengah mengantuk, namun entah kenapa, hatinya terasa penuh.“Aroma manis apa ini?” gumam Mariana sambil mengucek kedua matanya.Sepersekian detik kemudian, Mariana menurunkan kedua kakinya dari ranjang.Saat ia hendak berdiri, terdengar suara langkah kecil mendekat dari arah lorong. Tertahan. Disusul bisikan pelan dan suara benda keramik yang seperti sedang berusaha seimbang di atas nampan.Tak lama kemudian, pintu kamar perlahan terbuka.Noel muncul lebih dulu, wajahnya berseri-seri. Di belakangnya, Elhan menyusul sambil hati-hati membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti panggang. Terakhir, Nate muncul.

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 141

    Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 140

    Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 139

    Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 138

    Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 137

    Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status