Mariana menarik napas panjang, berusaha menahan sesak yang menggelayuti dadanya. Dengan langkah mantap, Mariana berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah ada beban yang menahan pergelangan kakinya.
Namun, ia tidak berhenti. Ia sudah membuat keputusan, dan kali ini, ia tidak akan goyah.
Tangannya baru saja menyentuh kenop pintu ketika suara berat Armand menggema di ruangan itu.
“Mariana, jangan pergi,” ucapnya tegas.
Tubuh Mariana menegang. Perlahan, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya berdiri dengan tatapan yang begitu tegas.
“Bara dalam perjalanan ke sini,” lanjut Armand. “Kita selesaikan semuanya sekarang juga.”
Tatapan Mariana tidak berubah. Luka di matanya masih begitu jelas, tapi tidak ada lagi api kemarahan di sana. Ia tidak menolak, juga tidak menyetujui.
Armand mendesah pelan, lalu melangkah mendekati putrinya yang masih terluka.
“Ayah minta maaf jika kamu merasa ayah terlalu ikut campur. Tapi, ayah merasa ini adalah keputusan yang tepat. Apa pun keputusanmu nantinya tentang hubunganmu dengan Bara, ayah akan mendukungmu.”
Bibir Mariana lantas bergetar. Tangis yang sejak tadi berusaha ia tahan mulai pecah dalam diam. Sejak dulu, ayahnya selalu menjadi seseorang yang berdiri di sampingnya.
Air mata Mariana jatuh bersamaan dengan kepalanya yang mengangguk pelan. Mariana terisak dalam kebisuan sebelum akhirnya menghamburkan diri memeluk ayahnya. Pelukan itu erat, seolah ia takut kehilangan satu-satunya tempat berlindungnya.
Tak lama, suara ketukan terdengar di pintu utama. Mariana menegang dalam pelukan ayahnya. Ia tahu siapa yang datang.
Armand mengusap punggung putri sulungnya itu dengan lembut. “Kamu tidak perlu memaksakan diri. Tapi jangan lari dari sesuatu yang harus dihadapi, Mariana.”
Setelah mengatakan itu, Armand segera melangkah menuju pintu dan membukanya. Di depannya, Bara berdiri dengan wajah yang tampak suram. Armand tidak tahu apa yang pria itu rasakan sekarang, yang jelas ia begitu murka melihat Bara setelah mengetahui perbuatannya terhadap Mariana.
“Masuk!” titah Armand ketus.
Bara mengangguk pelan sebelum akhirnya mengekori Armand masuk menuju ruang utama. Saat tiba di sana, ia melihat Mariana sedang duduk di salah satu sofa. Wanita itu membuang muka, enggan bertatapan dengannya.
“Sayang,” panggil Bara, namun Mariana tak sudi menggubrisnya.
Bara memosisikan diri di sofa seberang Mariana. Ia masih berusaha untuk menarik perhatian wanita itu.
Tak jauh dari mereka, Armand mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan lalu mengambil napas dalam sebelum menghardik keras, “Bianca! Ke sini sekarang!”
Suara langkah kaki terdengar tergesa dari arah kamar, dan tak lama kemudian Bianca muncul dengan wajah memerah.
Tatapan matanya tajam, penuh kemarahan yang belum sepenuhnya padam sejak pertemuannya dengan Mariana di kamar orang tua mereka.
Namun ia tetap melangkah ke ruang utama meski jelas merasa enggan.
Armand menatap satu per satu orang yang ada di ruangan itu—Mariana yang duduk diam dengan wajah tanpa ekspresi, Bara yang tampak tegang di kursinya, dan Bianca yang berdiri dengan tangan terlipat di dada tanpa rasa bersalah di wajahnya.
“Aku sudah tahu semuanya,” suara Armand terdengar berat dan tajam. “Aku tahu kenapa Mariana meminta cerai. Aku tahu apa yang sudah kalian berdua lakukan padanya!” Matanya menatap Bara dan Bianca bergantian.
Bara menegang seketika dan matanya sedikit melebar saat mendengar pernyataan itu. Rahangnya mengeras saat ia menatap Armand, lalu beralih ke Mariana yang tetap menunduk.
“Ayah, dengarkan saya dulu—” Bara mencoba bicara.
“Dengar apa?!” Armand membentaknya tanpa memberi kesempatan berbicara. “Kamu mau cari alasan untuk berkhianat? Apa kamu pikir ada alasan yang cukup kuat untuk selingkuh dengan adik ipar sendiri, hah?!”
Bara mengepalkan tangannya. “Saya memang salah! Saya akui itu! Tapi saya juga manusia, Ayah! Saya punya kebutuhan, saya punya keinginan! Mariana terlalu sibuk bekerja, dia terlalu dingin, saya merasa diabaikan!” katanya membela diri.
Mariana sontak mendongak, menatap suaminya itu dengan mata berkilat. “Jadi aku yang salah?” ucapnya syok. “Aku sibuk kerja buat bantu kamu bayar cicilan hutang ibu kamu, tapi aku yang salah? Aku yang capek karena kerja dua kali lebih keras sementara kamu main perempuan di belakangku, aku yang salah?”
Bara menggeram, tangannya mengepal. Ia tahu perbuatannya salah, tapi menurutnya semua itu terjadi karena Mariana tidak memenuhi kebutuhannya.
“Aku cuma butuh istri yang bisa kasih perhatian ke suaminya! Aku kesepian, Mariana! Dan kamu nggak pernah ada!”
Mariana tertawa sinis, air mata kembali menggenang di sudut matanya. “Jadi itu alasanmu? Kesepian?” Ia menggeleng sambil tertawa getir. “Kalau kamu kesepian, kamu bisa bicara! Kalau kamu merasa aku terlalu sibuk, kita bisa cari jalan keluar! Tapi yang kamu lakukan? Kamu selingkuh! Dengan adikku sendiri!”
Bianca yang sejak tadi diam akhirnya ikut bersuara, “Jangan seolah-olah cuma Mas Bara yang salah di sini, Kak!” katanya ketus. “Kakak memang nggak pernah sadar diri! Kakak selalu jadi anak emas, kakak selalu jadi yang terbaik di mata orang-orang! Kakak nggak akan pernah tahu rasanya jadi yang terabaikan!”
Mariana menatap adiknya tajam. “Aku muak mendengar alasanmu, Bianca!”
Bianca terdiam, tetapi kemarahan jelas membakar di matanya.
Bara mengembuskan napas kasar, mencoba menahan emosinya. Ia kembali menatap Armand, lalu Mariana.
“Mariana, aku mohon.” Suaranya sedikit bergetar, menunjukkan ketulusan yang tersisa dalam dirinya. “Beri aku kesempatan kedua. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini. Aku menyesal.”
Mariana mendengus, matanya menyipit menatap pria itu. “Menyesal?” katanya pelan, namun penuh ejekan. “Kalau kamu benar-benar menyesal, kamu nggak akan menyalahkanku barusan. Kamu nggak akan cari alasan buat membenarkan perselingkuhanmu.”
Bara menggertakkan giginya. “Aku udah bilang aku khilaf, Mariana! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, aku nggak mau kehilangan kamu.”
Mariana tersenyum miring, kemudian menggeleng tegas. “Aku nggak butuh suami yang menjadikan aku alasan untuk berkhianat. Aku nggak sudi.”
Bianca tiba-tiba terkekeh. “Jadi Kakak serius ingin bercerai?” tanyanya penuh minat.
Mariana menatap adiknya dengan pandangan jijik dan penuh cemooh. “Kenapa? Apa kamu ingin memungut sampah yang aku buang?”
Bara merasa harga dirinya semakin diinjak.
“Mariana—”
“Aku nggak akan pernah menyesali keputusan ini, Bara.” Mariana kembali menyela, tak memberinya kesempatan untuk bicara. “Lebih baik aku hidup sendiri daripada bersama pria yang bahkan nggak punya harga diri untuk mengakui kesalahannya tanpa mencari alasan.”
Dada Bara naik turun. Rahangnya mengeras. Ucapannya selalu dipotong, tak ada seorang pun di ruangan itu yang berpihak padanya. Mariana terlalu keras kepala, terlalu teguh dengan pendiriannya.
Lalu, sesuatu dalam diri Bara seketika meledak.
“Kalau itu yang kamu mau, Mariana,” ucap Bara dengan suara berat. “Baik! Aku ceraikan kamu! Aku talak kamu tiga kali!”
Pagi menyapa perlahan, seperti tak ingin mengganggu terlalu cepat. Kelopak mata Mariana bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Ia menyipit, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam pandangannya. Ranjang di sampingnya sudah kosong, tapi hangatnya masih tertinggal di seprai. Nate sudah bangun.Ia menarik selimut sedikit, duduk perlahan, dan menarik napas panjang. Masih setengah mengantuk, namun entah kenapa, hatinya terasa penuh.“Aroma manis apa ini?” gumam Mariana sambil mengucek kedua matanya.Sepersekian detik kemudian, Mariana menurunkan kedua kakinya dari ranjang.Saat ia hendak berdiri, terdengar suara langkah kecil mendekat dari arah lorong. Tertahan. Disusul bisikan pelan dan suara benda keramik yang seperti sedang berusaha seimbang di atas nampan.Tak lama kemudian, pintu kamar perlahan terbuka.Noel muncul lebih dulu, wajahnya berseri-seri. Di belakangnya, Elhan menyusul sambil hati-hati membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti panggang. Terakhir, Nate muncul.
Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s
Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele
Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia
Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan
Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana