Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana.
Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat.
“Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.
Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap.
“Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana.
Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu.
Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” desaknya, lalu terdiam sebentar sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara bergetar. “Dia berselingkuh, Mas. Pria kurang ajar itu berselingkuh dengan—”
Armand menatap istrinya dengan sorot tajam sementara tubuhnya menegang. “Apa?! Berselingkuh? Dengan siapa?” tanyanya dengan suara tinggi.
Ratna menggigit bibirnya cukup kuat sebelum akhirnya mengucapkan sebuah nama dengan suara yang nyaris patah. “Bianca,” sahutnya lemah.
Hening.
Untuk sesaat, Armand tidak bereaksi. Matanya membelalak sementara napasnya tertahan di tenggorokan. Kata-kata istrinya bergema di kepalanya, tetapi otaknya menolak untuk memprosesnya.
Ketika akhirnya kesadaran menghantamnya dengan keras, wajah pria tua itu memucat. Rahangnya mengeras hingga otot-otot di pelipisnya menegang.
“Tidak ….” Armand menggeleng, seolah menolak untuk memercayai apa yang baru saja didengarnya. “Itu tidak mungkin.”
Ratna menutup mulutnya, mencoba menahan isakannya yang semakin pecah. “Aku berharap begitu, Mas… tapi Mariana melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Mereka berdua ….”
Suaranya terputus dan tubuhnya sedikit limbung, membuat Armand waspada untuk segera menopangnya.
Namun pria tua itu sendiri masih terkejut. Tangannya yang memegang bahu Ratna ikut bergetar. Ada kemarahan, kekecewaan, juga kesedihan yang bercampur menjadi satu di dalam dirinya.
Armand mengepalkan tangannya, matanya memerah. Lalu dengan suara bergetar menahan amarah, ia bertanya, “Di mana Bianca sekarang?”
Ratna menatap suaminya dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. “Di kamarnya,” jawabnya dengan suara bergetar.
Tanpa menunggu lebih lama, Armand langsung melangkah dengan penuh amarah menuju kamar Bianca. Tangannya mengepal erat hingga urat-urat tangannya tercetak jelas di bawah kulitnya. Napasnya berat menahan kemarahan yang siap meledak kapan saja.
Tanpa mengetuk, Armand langsung membuka pintu kamar Bianca dengan kasar. Gadis itu, yang sedang duduk di tepi ranjang, tersentak kaget saat melihat ayahnya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi marah.
“A-Ayah?” ucap Bianca terbata, seakan tahu apa yang membuat ayahnya begitu marah saat mendatanginya di kamar.
Namun Armand tak memberinya kesempatan untuk bicara lebih jauh. Dengan cepat, ia meraih pergelangan tangan putri bungsunya itu dan menariknya berdiri dengan kasar.
“A-Ayah! Lepaskan! Sakit!” Bianca berusaha meronta, tetapi genggaman Armand begitu kuat.
Tanpa menghiraukan protes putri bungsunya itu, Armand menyeretnya keluar dari kamar dengan langkah cepat. Bianca semakin panik saat menyadari ke mana arah tujuan ayahnya membawanya.
“Ayah! Jangan! Ayah! Bia nggak mau!” Bianca meronta semakin kuat saat mereka sampai di depan kamar Mariana.
Armand masih tak menghiraukan gadis itu dan langsung mendorong pintu kamar hingga terbuka.
Di sana, Mariana masih terduduk di ranjang dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat dan lelah seperti kehabisan energi untuk sekadar bereaksi. Sementara matanya bengkak karena terlalu banyak menangis sebelumnya.
Armand mendorong Bianca masuk, hingga membuat gadis itu hampir kehilangan keseimbangan.
“Minta ampun pada kakakmu! Sekarang!” Suara pria tua itu menggema dalam ruangan.
Bianca masih gemetar dan ketakutan jelas terpancar di wajahnya. Tatapan ayahnya yang penuh kemarahan membuat nyalinya menciut. Namun saat ia menoleh ke arah Mariana, sesuatu dalam dirinya berontak.
Tangannya mengepal kuat, ketakutannya perlahan tergeser oleh amarah yang mulai menguasainya. Napasnya memburu dan sorot matanya yang semula penuh kecemasan kini berubah menjadi tajam.
Armand semakin geram melihat sikap putrinya yang bukannya menyesal, malah menunjukkan perlawanan. Dengan suara bergetar menahan amarah, ia bertanya,
“Apa kamu bahkan sadar dengan yang sudah kamu lakukan, hah?! Berani sekali kamu berselingkuh dengan kakak iparmu sendiri, Bianca!” teriaknya.
Bianca terdiam sejenak, tetapi hanya untuk kemudian menegakkan tubuhnya dan menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan.
“Justru karena Bia sadar, makanya Bia melakukannya!” sahut Bianca dengan suara penuh penekanan. Ia melirik sekilas ke arah Mariana sebelum kembali menatap ayahnya. “Selama ini kalian selalu membandingkan Bia dengan Kak Mariana. Kalian selalu membanggakannya dan nggak pernah memperlakukan Bia dengan sikap yang sama.”
Mata Bianca memerah, bukan karena ingin menangis, melainkan karena kemarahan yang selama ini ia pendam. Dan hari ini, kemarahan itu akhirnya meledak.
“Karena itu, mengambil sedikit kebahagiaan Kak Mariana nggak ada salahnya, ‘kan? Selama ini Kak Marinana sudah mendapat banyak kebahagiaan dari kalian.”
Ratna yang sejak tadi berdiri dengan tubuh lemah, langsung menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Wajahnya semakin pucat seiring dengan setiap kata yang keluar dari mulut putri bungsunya itu.
Mata Armand semakin menyala karena marah. “Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar! Jadi karena iri, kamu merasa berhak merusak rumah tangga kakakmu sendiri?! Kamu ini masih punya hati atau tidak, hah?!” bentaknya.
Bianca tetap berdiri tegak, menatap ayahnya dengan sorot mata yang membara. “Iya! Bia belajar dari Ayah dan Ibu! Bia nggak punya hati karena kalian!” serunya tanpa ragu.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Bianca.
Kepala gadis itu terpelanting ke samping dan rasa perih menjalar cepat di kulitnya. Ia mengangkat tangan memegangi pipinya yang berdenyut. Meski begitu, sorot matanya tak surut oleh api perlawanan.
Air mata menggenang di pelupuknya, bukan karena sakit, tetapi karena ketidakadilan yang ia rasakan.
“Bia cuma mengambil sedikit kebahagiaan Kak Mariana, tapi Ayah langsung memperlakukan Bia seperti ini?” suaranya bergetar karena emosi. “Ini nggak adil!”
Mariana yang sedari tadi hanya diam di atas ranjang, akhirnya bangkit dan melangkah cepat menghampiri Bianca. Dengan satu gerakan cepat, sebuah tamparan keras melayang ke pipi adiknya itu.
PLAK!
Tamparan kedua mendarat di sisi lain wajah Bianca. Meski tidak sekeras tamparan ayah mereka, tapi cukup untuk membuat Bianca terdiam. Kali ini bukan hanya pipi Bianca yang terasa panas, tapi juga harga dirinya yang tercabik.
Ruangan dipenuhi ketegangan yang nyaris meledak, sampai akhirnya—
“Bu!”
Seruan Armand memecah keheningan saat tubuh Ratna tiba-tiba limbung. Wajah wanita itu seketika pucat, pandangannya kosong sebelum akhirnya ia jatuh pingsan di tempat.
Pagi menyapa perlahan, seperti tak ingin mengganggu terlalu cepat. Kelopak mata Mariana bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Ia menyipit, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam pandangannya. Ranjang di sampingnya sudah kosong, tapi hangatnya masih tertinggal di seprai. Nate sudah bangun.Ia menarik selimut sedikit, duduk perlahan, dan menarik napas panjang. Masih setengah mengantuk, namun entah kenapa, hatinya terasa penuh.“Aroma manis apa ini?” gumam Mariana sambil mengucek kedua matanya.Sepersekian detik kemudian, Mariana menurunkan kedua kakinya dari ranjang.Saat ia hendak berdiri, terdengar suara langkah kecil mendekat dari arah lorong. Tertahan. Disusul bisikan pelan dan suara benda keramik yang seperti sedang berusaha seimbang di atas nampan.Tak lama kemudian, pintu kamar perlahan terbuka.Noel muncul lebih dulu, wajahnya berseri-seri. Di belakangnya, Elhan menyusul sambil hati-hati membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti panggang. Terakhir, Nate muncul.
Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s
Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele
Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia
Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan
Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana