Atas permintaan Mariana, hubungan mereka saat ini tidak hanya disembunyikan dari publik, tapi juga dari keluarga masing-masing. Bukan karena Mariana tidak serius, hanya saja dia belum siap menghadapi reaksi dari orang-orang terdekatnya. Terutama dari pihak keluarganya sendiri.Dia tahu, dari pihak orang tua Nate, kemungkinan besar kabar ini akan disambut dengan hangat. Tapi dari orang tuanya, Mariana tidak yakin.Beruntung, Nate tidak mempermasalahkan. Dia hanya bertanya alasan Mariana meminta hubungan ini tetap menjadi rahasia, lalu menyetujuinya setelah mendengar penjelasan Mariana yang terdengar masuk akal baginya.“Dalam hubungan ini, aku hanya ingin fokus pada kenyamananmu saja, Na. Kalau kamu merasa lebih tenang kalau kita pacaran diam-diam—meski aku sangat ingin memamerkan hubungan kita ke seluruh dunia—aku tidak akan menyangkal,” ucap Nate sambil tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap lembut pipi Mariana.Mariana membetulkan posisi duduknya, lalu mengangkat satu tangannya me
Setelah keheningan panjang di makam, Nate mengajak Mariana ke sebuah galeri seni yang tersembunyi di kawasan tenang kota itu. Bangunannya minimalis dengan dinding putih tinggi dan jendela kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk dengan lembut.Tempat itu tidak ramai—hanya mereka berdua. Nate memang sudah mengatur segalanya.Mariana menatap sekeliling dengan langkah pelan. Galeri itu memamerkan karya-karya seniman lokal dalam nuansa monokrom dan pastel. Tenang, sendu, tapi juga indah.“Aku nggak tahu kamu suka tempat kayak gini,” gumam Mariana.Di tengah galeri yang tenang, Mariana dan Nate berjalan berdua sambil menikmati setiap karya seni yang terpajang di dinding.Namun, ketika mereka berhenti di depan sebuah lukisan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang duduk di tepi pantai, memandang lautan yang luas, dengan cahaya matahari yang lembut menyinari wajahnya.Mariana terpaku, matanya menatap lukisan itu dengan intens. Tak lama kemud
Mariana tak bisa berhenti memikirkan ucapan ayahnya sepanjang perjalanan pulang. Selama ini, ia terlalu terlena, terlalu nyaman berada di sisi Nathaniel hingga tak sadar betapa benar setiap kalimat yang diucapkan ayahnya di restoran tadi.Apalagi sekarang, status mereka sudah berubah menjadi sepasang kekasih. Gunjingan pedas tak akan terhindarkan jika orang-orang tahu bahwa mereka tinggal serumah.Sepasang kekasih yang belum menikah, tinggal di bawah satu atap.Ah, Mariana bahkan tak sanggup membayangkan reaksi masyarakat—terlebih lagi, reaksi kedua orang tuanya.Maka, pindah adalah keputusan paling masuk akal. Langkah awal yang harus ia ambil sebelum semuanya terlanjur ke mana-mana.“Benar itu, Na. Kamu harus pindah secepatnya,” gumamnya pelan seolah tengah menasihati dirinya sendiri.Mariana tiba di kediaman Nathaniel menjelang senja. Langit sudah mulai menggelap, tapi pikirannya masih penuh oleh percakapan dengan ayahnya saat di restoran.Begitu menjejakkan kaki di dalam rumah, lan
Dua hari setelah pindah ke rumah baru, Mariana mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Mungkin karena ia masih beradaptasi dengan lingkungan baru atau mungkin karena lelah setelah seharian bekerja, pikirannya mulai berlarian tanpa arah yang jelas.Ini bukan kali pertama ia tinggal sendiri. Dulu, setelah perceraian dengan Bara—meski hanya sebentar—ia sempat menjalani hidup sendiri. Tapi kali ini berbeda.Ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada yang tidak tepat.Kadang, ia merasa seperti ada orang lain di rumah ini selain dirinya.Pagi itu, Mariana bangun lebih pagi. Ia pergi ke ruang jemur untuk mengambil pakaian dalam yang ia cuci kemarin sebelum bersiap untuk bekerja. Tapi begitu ia melangkah ke ruang jemur, ia dikejutkan oleh sesuatu.Seharusnya pakaian dalam yang ia cuci kemarin masih ada di sana. Namun ketika matanya menyapu ruang itu, pakaian dalam yang dimaksud tidak ada. Tampak jelas bahwa pakaian lainnya ada, tapi pakaian itu hilang begitu saja.“Lho, kenapa bisa nggak ada?”
Suara Nate masih terngiang di kepala Mariana bahkan ketika pria itu sudah pergi dari rumah. Pintu yang dibanting beberapa jam lalu seolah masih memantulkan gaung amarahnya di seluruh sudut ruangan.Ponsel Mariana tergeletak di pangkuan dengan layar gelap. Tangannya menggenggam ujung selimut, entah untuk apa. Mungkin sekadar menahan diri agar tidak gemetarSetelah CCTV dipasang atas desakan Nate, Mariana mulai merasa rumahnya lebih aman. Lima kamera pengawas terpasang di beberapa titik rumah, dan semuanya atas perintah Nate tanpa bisa dibantah.‘Kamu tidak mengizinkanku untuk melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan. Jadi, satu-satunya cara agar aku bisa tenang malam ini adalah memasang kamera pengawas.’ Itu adalah kata-kata Nate setelah ia berbicara tentang memasang kamera pengawas.Pada akhirnya, semua kamera itu terpasang di beberapa sudut.‘Aku ini siapa kamu?’ Suara Nate saat mempertanyakan itu kembali terngiang di telinga Mariana.Perasaannya begitu campur aduk. Bingung, menyesal
Wajah Mariana pucat pasi. Matanya sedikit membesar dan bibirnya bergetar tanpa suara. Ketakutan terlihat jelas di wajah cantiknya hingga membuat Nate segera mengambil alih situasi.Nate melangkah cepat, mengunci pintu belakang rapat-rapat, lalu kembali menghampiri Mariana dan menggiringnya ke ruang tengah tanpa berkata sepatah kata pun. Begitu wanita itu duduk di sofa, Nate berdiri di depannya sambil menatapnya lekat.“Malam ini kamu tidur di rumahku,” ucap Nate mantap. “Tidak ada penolakan.”Mariana lantas mendongak. “Aku—”“Jangan membantah, Mariana,” potong Nate cepat dan tegas, seperti keputusan yang tak bisa ditawar lagi.Nate menarik napas perlahan, kemudian mencoba menjelaskan dengan tenang. “Aku sendiri yang mengunci pintu belakang saat hari pertama kamu pindah. Aku ingat betul karena aku sempat keluar untuk memeriksa teras belakang.”Mariana terdiam. Tubuhnya langsung kaku dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Perasaannya memburuk seiring dengan ucapan Nate barusan.“Kalau
Tubuh Mariana kembali menegang sejenak saat mendengar nama itu disebutkan. Sendok di tangannya yang sempat terangkat kini kembali tergeletak di piring.“Kenapa kamu berpikir begitu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya berdegup panik.Nate menarik napas sebelum menjawab. “Karena hanya dia satu-satunya yang akan bertindak gila terhadapmu. Sekarang aku memang belum memiliki bukti nyata, tapi aku akan terus menyelidiki ini sampai kita tahu pasti siapa pelakunya. Dan kalau memang itu dia, aku akan pastikan dia tidak bisa menyentuhmu lagi.”Mariana menunduk, menatap sendok yang kini tergeletak di piring.“Kalau benar dia …,” bisiknya getir. “Berarti dia bisa masuk ke mana pun. Ke rumah, ke kamarku, mandi di kamar mandiku dan menggunakan handukku—”“Apa?” Nate langsung memotong cepat, nada suaranya meninggi. “Dia bahkan mandi di kamar mandimu dan menggunakan handukmu?”Mariana menegang. Ia langsung menggigit bibir, menyesali ucapannya yang terlontar tan
Mariana berdiri di depan pintu rumah yang dulu pernah ia sebut rumah. Rumah tempat ia berusaha bertahan, hingga akhirnya memilih melepaskan. Jemarinya sempat ragu menyentuh bel pintu. Tapi pikiran tentang seseorang yang menyusup ke rumahnya—dan Nate yang menyebut nama Bara dengan penuh keyakinan—membuatnya menekan tombol itu.Tak lama kemudian, pintu dibuka. Bianca muncul di ambang pintu, mengenakan baju rumah longgar dengan perut buncitnya yang semakin menonjol. Wajahnya tampak terkejut sekilas, namun dengan cepat berubah menjadi datar.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Bianca, nada bicaranya ketus tanpa basa-basi.Mariana menelan ludah. Rasanya menjengkelkan melihat Bianca, tapi ia harus menghadapinya demi kelancaran misi.“Aku cuma mau ambil beberapa barangku yang mungkin tertinggal,” jawab Mariana tenang, walau jantungnya berdetak tidak karuan. “Waktu itu buru-buru pindah, aku belum sempat periksa semuanya.”Bianca menyilangkan tangan. “Kayaknya nggak ada yang tertinggal. Semua udah ka
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan … entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.“Ada satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,” ucap sang host. “Kami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?”Mariana meneguk ludah dengan pelan. Napasny
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen
Nate mendorong tubuh wanita itu dengan pelan namun tegas hingga menciptakan jarak di antara mereka. Gerakannya bukan kasar, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa ia tidak nyaman.Tanpa berkata apa pun, Nate segera melangkah mendekati Mariana yang berdiri beberapa langkah dari mereka. Ia mendekat hingga sangat dekat.Salah satu tangannya dengan mantap melingkari pinggang Mariana untuk memperjelas kedekatan mereka. Sikapnya membuat posisi Mariana tidak bisa disalahartikan oleh siapa pun.“Jeslyn,” kata Nate dengan tegas. “Ini Mariana, ibu susu Elhan.”Ia berhenti sejenak. Lalu dengan bangga menambahkan, “Dan selain itu, Mariana juga kekasihku.”Wanita bernama Jeslyn itu tampak terkejut. Matanya membelalak, lalu ia cepat-cepat mengatur ekspresinya agar terlihat santai. Namun kerutan samar di antara alisnya tak bisa berbohong.“Tunggu,” seru Jeslyn sambil mengangkat satu tangan, kemudian menunjuk ke arah Mariana. “Dia ... ibu susu Elhan? Dan juga ... kekasihmu?”Nate mengangguk mantap,
Malam hampir larut saat Nate kembali ke kediamannya. Begitu melangkah masuk, ia mendapati Mariana duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak cemas meskipun ia berusaha tersenyum saat melihat Nate.Mariana langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Nate yang juga melangkah mendekat, langkah mereka seolah sinkron.“Kenapa duduk di sini?” tanya Nate dengan lembut.“Aku nungguin kamu pulang,” jawab Mariana dengan suara yang agak lemah. “Gimana soal Nadia? Kamu nggak laporin dia ke polisi, kan?”Nate diam sesaat.Mariana yang melihat sang kekasih hanya diam lantas memanggilnya dengan nada yang lebih lembut. “Nathaniel ...?”Nate mendesah pelan. Tanpa berkata banyak, ia meraih beberapa helai rambut panjang Mariana yang terjatuh di wajahnya, dan dengan lembut menyelipkan rambut itu ke belakang telinga Mariana.“Terkadang aku bertanya-tanya, Moonie,” kata Nate pelan seraya menatap Mariana dalam-dalam. “Apakah kamu masih manusia atau malaikat? Hatimu sangat baik dan tulus.”Mariana mengerucutkan