“Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.
Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.
“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.
Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.
Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.
“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”
Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.
Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.
“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”
Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.
Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selimut putih. Wajahnya masih merah dan terlelap.
“Dia ….” Mariana menempelkan tangannya ke kaca.
“Putra Bella,” gumam Nate menambahkan. “Satu-satunya peninggalannya di dunia ini.”
Namun, sorot mata Nate masih dipenuhi kegelisahan.
“Dokter bilang, dia mengalami kesulitan mengatur kadar gula darahnya,” suara Nate terdengar lebih pelan.
Mariana menatapnya penuh tanya.
“Bella mengalami preeklamsia sebelum melahirkan, dan kondisinya berkembang menjadi eklamsia.” Nate menghela napas panjang. “Itu yang menyebabkan—” suaranya terputus sesaat, seolah berat untuk mengatakannya, “Itu yang menyebabkan dia tidak bisa diselamatkan.”
Mariana merasakan dadanya mencengkeram perih. Bayi kecil itu terlahir dalam kondisi sulit, kehilangan ibunya bahkan sebelum sempat merasakan dekapan pertamanya.
“Lalu, bagaimana? Apa yang harus dilakukan?” tanya Mariana getir.
“Dokter bilang, dia membutuhkan asupan ASI untuk membantu kestabilan gula darahnya.” Nate mengalihkan pandangannya, ekspresinya semakin berat. “Susu formula biasa berisiko memperburuk kondisinya.”
Mariana semakin menegang.
“Kami sudah mencoba mencari donor ASI, tapi stok di rumah sakit terbatas dan butuh waktu untuk mendapatkannya.”
Saat itu juga, Mariana mulai memahami ke mana arah pembicaraan ini.
Nate menatap Mariana dalam-dalam. “Aku tahu ini permintaan yang tiba-tiba.”
Nate menelan ludah sebelum melanjutkan.
“Tapi kamu baru saja melahirkan, Mariana. Maukah kamu menjadi ibu susu untuk bayi Bella?”
Mariana terdiam. Hatinya masih diliputi kesedihan, tetapi ketika ia kembali menatap bayi kecil yang berada di ruang kaca itu, perasaan lain mulai tumbuh.
Bayi itu adalah bagian dari Bella. Satu-satunya yang tersisa dari sahabat yang baru saja meninggalkannya.
Nate menatap Mariana penuh harap. “Kamu sahabatnya, dan kamu juga baru kehilangan anakmu. Aku tahu ini sulit, tapi bayi ini membutuhkanmu. Hanya kamu satu-satunya yang bisa kupercaya.”
Tangan Mariana gemetar menyentuh permukaan kaca. Bayi itu begitu kecil, begitu rapuh. Sama seperti yang seharusnya ia miliki.
“Aku ….” Mariana menggigit bibirnya.
Tawaran ini tak terduga, tetapi juga … masuk akal.Nate semakin mendekat, suaranya bergetar. “Kamu tidak harus memutuskannya sekarang, Mariana. Tapi aku mohon, pertimbangkan ini. Bayi ini butuh seseorang yang bisa memberinya kehangatan seorang ibu.”
Mariana menarik napas dalam, berusaha mengendalikan gejolak perasaannya. Sejak kehilangan anaknya, ia merasa kosong, seolah dunianya runtuh dalam kegelapan. Tetapi sekarang, ada kesempatan—kesempatan untuk memberikan sesuatu yang ia miliki kepada seseorang yang membutuhkannya.
Ia menatap Nate, melihat keputusasaan di matanya. Pria itu baru saja kehilangan istrinya, sama seperti ia kehilangan bayinya. Luka mereka serupa, dan kini mereka berdiri di hadapan satu sama lain, terikat oleh kehilangan yang sama.
“Aku …,” Mariana kembali menatap bayi itu. Tanpa sadar, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, lalu ia mengangguk pelan. “Aku akan melakukannya.”
Senyuman haru terbentuk di wajah Nate. “Terima kasih, Mariana. Terima kasih.”
Di balik kaca, bayi kecil itu menggeliat pelan dalam tidurnya, seolah merespons keputusan yang baru saja diambil.
Sejenak, pikirannya melayang. Jika anaknya masih hidup, mungkinkah ia juga sekecil ini? Apakah ia juga akan menggeliat pelan seperti bayi Bella?
“Mariana?” Nate menyentuh lengannya dengan lembut, membawanya kembali ke kenyataan.
Mariana mengangguk kecil, meneguhkan hatinya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”
Nate terlihat lega. Namun sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, seorang perawat keluar dari ruangan bayi dan menghampiri Nate dengan senyum ramah.
“Tuan, sekarang saatnya bayi Nyonya Bella harus diberi ASI,” ujarnya lembut. “Apakah Anda sudah menemukan donor?”
Nate mengangguk pelan. “Ya. Aku sudah menemukan orang yang bisa melakukannya.”
Perawat tampak sedikit terkejut. “Oh? Kalau begitu, kami bisa langsung mengaturnya. Siapa yang akan—"
“Aku,” Mariana menyela.
Perawat menoleh ke arahnya, kemudian mengangguk sopan. “Baik, kalau begitu kita bisa menuju ruang laktasi sekarang.”
Mariana merasa tubuhnya menegang, tetapi ia tetap melangkah maju. Ia belum tahu ke mana semua ini akan membawanya, tetapi satu hal yang pasti—bayi Bella tidak akan kekurangan kasih sayang. Tidak selama ia masih ada di sini.
Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang sunyi. Mariana bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Ada kegugupan yang menyelimutinya, tetapi juga kehangatan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Setibanya di depan ruang laktasi, perawat membuka pintu dan memberi isyarat agar Mariana masuk. Ia melangkah pelan, tetapi sebelum benar-benar masuk, Nate memanggilnya pelan.
“Mariana.”
Mariana berhenti dan menoleh. Nate menatapnya dalam, seolah ingin mengucapkan banyak hal tetapi akhirnya hanya mengembuskan napas panjang.
“Terima kasih. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu.”
Mariana mengangguk kecil. “Aku hanya melakukan yang terbaik untuk bayi Bella.”
Nate tersenyum tipis, meskipun sorot matanya masih dipenuhi banyak emosi yang sulit dijelaskan. “Aku akan menunggumu di sini.”
Tanpa menjawab, Mariana melangkah masuk ke dalam ruang laktasi dan membiarkan pintu tertutup di belakangnya.
Ruangan itu terasa lebih tenang. Dindingnya berwarna lembut dengan kursi empuk di sudut. Mariana mengusap telapak tangannya yang sedikit berkeringat saat perawat menghampirinya.
“Saya akan membawa bayi Nyonya Bella ke sini,” ujar perawat dengan senyum lembut sebelum pergi.
Setelah perawat keluar, Mariana duduk di kursi dan menarik napas panjang. Ini adalah langkah besar—dan meskipun ia masih diliputi rasa kehilangan, ia merasa dirinya memiliki tujuan lagi.
Tak lama, pintu kembali terbuka. Perawat masuk dengan bayi Bella dalam gendongannya. Bayi itu tampak tenang, hanya sesekali menggerakkan jemarinya yang mungil.
“Hati-hati saat menggendongnya,” perawat menyerahkan bayi Bella ke dalam pelukan Mariana dengan lembut.
Begitu bayi itu berada dalam pelukannya, tubuh Mariana terasa hangat. Napas mungil itu menyentuh kulitnya dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan anaknya, ia merasakan kehangatan menjadi seorang ibu.
Bayi Bella menggeliat pelan dalam tidurnya, lalu membuka matanya sejenak sebelum kembali memejamkan mata. Mariana tersenyum kecil tanpa sadar.
Ia menarik napas panjang dan berbisik, “Halo, tampan. Ini Tante.”
Pagi menyapa perlahan, seperti tak ingin mengganggu terlalu cepat. Kelopak mata Mariana bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Ia menyipit, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam pandangannya. Ranjang di sampingnya sudah kosong, tapi hangatnya masih tertinggal di seprai. Nate sudah bangun.Ia menarik selimut sedikit, duduk perlahan, dan menarik napas panjang. Masih setengah mengantuk, namun entah kenapa, hatinya terasa penuh.“Aroma manis apa ini?” gumam Mariana sambil mengucek kedua matanya.Sepersekian detik kemudian, Mariana menurunkan kedua kakinya dari ranjang.Saat ia hendak berdiri, terdengar suara langkah kecil mendekat dari arah lorong. Tertahan. Disusul bisikan pelan dan suara benda keramik yang seperti sedang berusaha seimbang di atas nampan.Tak lama kemudian, pintu kamar perlahan terbuka.Noel muncul lebih dulu, wajahnya berseri-seri. Di belakangnya, Elhan menyusul sambil hati-hati membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti panggang. Terakhir, Nate muncul.
Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s
Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele
Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia
Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan
Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana