Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.
Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan.
Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan.
Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan.
‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana.
Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya.
Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan.
Dulu ia berpikir bahwa pernikahan mereka bisa bertahan selamanya.
Ia pernah mengorbankan begitu banyak hal demi mempertahankan hubungan ini.
Tapi kini, ia sadar … perpisahan adalah yang terbaik.
Armand yang sejak tadi menyaksikan semuanya akhirnya berdeham dan mengambil alih situasi.
“Talak sudah dijatuhkan dan aku akan memastikan semuanya diurus secara hukum,” ujarnya tegas. “Dan satu hal lagi, Bara. Aku tidak ingin melihatmu lagi di hadapan Mariana. Jangan pernah mencoba kembali, jangan pernah mengusik hidupnya lagi.”
Armand berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang lebih mengancam, “Bukan hanya Mariana, tapi juga Bianca. Aku tidak mau kamu mendekati putri-putriku lagi. Mulai sekarang, kamu bukan bagian dari keluarga ini!”
Bara terdiam. Namun sebelum ia bisa membantah, suara Bianca terdengar.
“Ayah nggak bisa melakukan ini!” Bianca melangkah maju, matanya membelalak penuh protes. “Aku dan Mas Bara—”
“Jangan lanjutkan!” Armand langsung memotong, tatapannya beralih tajam pada putri bungsunya itu. “Jangan buat aku semakin muak, Bianca. Kamu telah menghancurkan keluarga ini dengan tanganmu sendiri. Jangan berani-berani membawa lebih banyak kehancuran lagi.”
Bianca menggigit bibirnya, wajahnya memerah menahan amarah dan rasa tidak terima. Ia berpikir, setelah Mariana diceraikan maka Bara akan sepenuhnya menjadi miliknya. Tapi sekarang? Ayahnya telah memutus semua kemungkinan itu.
Sementara itu, Bara mulai menggertakkan giginya setelah merasa harga dirinya semakin diinjak-injak. Tapi sebelum emosinya bisa meledak, Mariana yang sejak tadi diam justru melangkah mendekati ayahnya.
“Nggak apa-apa, Ayah,” ucap Mariana pelan. “Bara sudah bukan siapa-siapaku lagi. Kalau Bianca ingin memungutnya, biarkan saja.”
Tatapan Mariana bergeser pada Bianca yang masih berdiri kaku, lalu ke Bara yang terlihat semakin terpojok. Dengan nada datar, ia menambahkan, “Tapi jangan pernah berpikir untuk kembali mendekatiku. Bukan sebagai suami, bukan sebagai mantan, bahkan bukan sebagai seseorang yang pernah aku kenal.”
Bara menahan napas, sementara Bianca mengepalkan tangannya.
Tanpa menunggu reaksi mereka, Mariana berbalik dan melangkah pergi dengan kepala tegak.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, Bara sudah mencengkeram lengannya dengan kuat.
Mariana menoleh dan berontak sekuat tenaga, berusaha melepaskan cengkeraman itu dengan emosi yang meluap-luap.
“Lepaskan aku!” bentak Mariana.
Bala menggeleng, cengkeraman tangannya justru semakin kuat.
Melihat itu, Armand bergerak maju dan menarik paksa tangan Bara hingga cengkeramannya di lengan Mariana terlepas.
“Jangan berani-berani menyentuh putriku lagi!” ancam pria tua itu sungguh-sungguh.
Di tempatnya, Mariana berdiri dengan napas memburu. Matanya menatap Bara penuh kebencian dan rasa jijik.
“Kalian berdua nggak hanya mengkhianatiku, tapi kalian juga membunuh anakku. Jangan pernah lupakan itu!” tegas Mariana memandangi Bara dan Bianca bergantian.
“Kalau aja kalian nggak berselingkuh dan aku nggak memergoki kalian malam itu, anakku pasti masih hidup sekarang. Kalian membunuh makhluk yang nggak berdosa dengan perbuatan kalian!” Mariana menambahkan.
Baik Bara ataupun Bianca, keduanya tidak bisa berkata-kata mendengar kata-kata Mariana barusan.
Sementara Armand, pria tua itu hampir kehilangan kekuatannya untuk berdiri usai mendengar fakta itu.
“Apa?” ucap Armand dengan mata membulat. “Jadi, kamu keguguran karena ….”
Armand tidak sanggup melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Dengan tubuh gemetar, Armand segera berbalik menghampiri Bianca lagi dan menamparnya dengan sangat keras.
“Aku benar-benar tidak menyangka akan memiliki putri sepertimu!” teriak Armand.
Namun tiba-tiba, napasnya tersengal. Tangannya mencengkeram dada sementara wajahnya seketika pucat. Tubuh pria itu goyah sebelum akhirnya ambruk ke lantai.
“Ayah!” Mariana berteriak panik dan langsung berlari menghampirinya.
***
Armand dilarikan ke rumah sakit. Saat menunggu ayahnya dengan cemas di depan ruang tindakan, Mariana tak sengaja melihat sosok pria yang dikenalnya sedang berjalan dengan air mata.
“Pak Nate?” gumam Mariana pelan.
Ia yakin yang dilihatnya barusan adalah Nathaniel, atasannya sekaligus suami sahabatnya.
Karena penasaran, Mariana pun berlari mengejar pria itu.
“Pak Nate!” panggil Mariana sedikit berteriak.
Pria yang dipanggil seketika menghentikan langkah cepatnya dan berbalik.
“Mariana?” Nate tampak terkejut melihat wanita itu berada di sini dengan wajah yang agak memprihatinkan.
“Sedang apa Bapak di sini?” tanya Mariana, lalu sedetik kemudian ia teringat sesuatu. “Oh, apakah Bella melahirkan?”
Tatapan Nate berubah getir saat akhirnya ia mengangguk. “Iya, tapi… Bella tidak selamat.”
Mariana mematung.
“A-Apa maksudnya tidak selamat?” tanyanya dengan suara gemetar.
Nate terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Bella meninggal dunia.”
Dunia Mariana seakan runtuh. Tidakkah ini terlalu kejam? Mariana sudah kehilangan banyak hal kemarin, dan sekarang, ia harus kehilangan sahabat baiknya juga?
Pandangan Mariana tampak kosong, sementara otaknya berputar mencoba mencerna kenyataan yang baru saja menghantamnya.
Kakinya terasa lemas. Rasanya seperti ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat hingga ia sulit bernapas. Bella … sahabat yang selalu ada untuknya, kini sudah tiada.
Mariana menggeleng pelan, menolak kenyataan. Namun, tubuhnya masih berdiri di tempat yang sama, kaku dan tanpa daya. Suara langkah kaki Nate yang menjauh terdengar samar di telinganya, tetapi ia tidak mampu bergerak untuk menahannya.
Perlahan, Mariana jatuh berlutut di lantai. Pandangannya masih kosong tetapi air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, mengaburkan segalanya.
“Ya Tuhan,” lirih Mariana dengan kepala tertunduk. Air matanya merembes dari pelupuk matanya dan jatuh ke lantai.
Namun di tengah keterpurukannya, sesuatu segera menarik Mariana kembali ke kenyataan. Dengan napas tersengal, ia segera berlari menyusul Nate.
Saat akhirnya mereka tiba di ruangan tempat Bella dibaringkan, langkah Mariana sempat terhenti.
Di sana, sahabatnya terbujur kaku di atas ranjang, tubuhnya tertutup selimut putih hingga sebatas dada. Wajah Bella begitu pucat, seolah semua kehidupan telah benar-benar meninggalkannya.
Mariana mendekat dengan tubuh yang gemetar.
“Bella …,” bisiknya, suara itu hampir tak terdengar. Ia menjatuhkan diri di sisi ranjang dan meraih tangan sahabatnya yang sudah dingin.
Pagi menyapa perlahan, seperti tak ingin mengganggu terlalu cepat. Kelopak mata Mariana bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Ia menyipit, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam pandangannya. Ranjang di sampingnya sudah kosong, tapi hangatnya masih tertinggal di seprai. Nate sudah bangun.Ia menarik selimut sedikit, duduk perlahan, dan menarik napas panjang. Masih setengah mengantuk, namun entah kenapa, hatinya terasa penuh.“Aroma manis apa ini?” gumam Mariana sambil mengucek kedua matanya.Sepersekian detik kemudian, Mariana menurunkan kedua kakinya dari ranjang.Saat ia hendak berdiri, terdengar suara langkah kecil mendekat dari arah lorong. Tertahan. Disusul bisikan pelan dan suara benda keramik yang seperti sedang berusaha seimbang di atas nampan.Tak lama kemudian, pintu kamar perlahan terbuka.Noel muncul lebih dulu, wajahnya berseri-seri. Di belakangnya, Elhan menyusul sambil hati-hati membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti panggang. Terakhir, Nate muncul.
Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s
Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele
Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia
Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan
Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana