Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Arsita segera berdiri saat melihat Nate menggendong Mariana lalu mendudukkan wanita itu di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu tampak terkejut sekaligus khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada cemas.Nate mendesah pelan. Raut wajahnya serius saat memandangi ibunya. Namun, belum sempat ia membuka suara untuk menjelaskan, Jeslyn buru-buru mendekat dan bersuara dengan cepat.“Tante, aku tidak sengaja menabrak Mbak Nana sampai dia terjatuh. Aku juga sudah minta maaf padanya. Tapi dia justru mengatakan kalau aku memang sengaja.” Jeslyn bersikap manis, wajahnya tampak dibuat-buat seolah diliputi penyesalan.Mendengar itu, Mariana tersenyum tipis. Ia sudah jenuh menghadapi orang bermuka dua seperti Jeslyn.“Benar. Aku memang bilang kamu sengaja,” ucap Mariana tenang. “Karena hanya orang buta atau orang yang menyimpan niat buruk yang bisa menabrak seseorang dari jarak sedekat itu.”“Mariana,” tegur Arsita pelan, wanita paruh baya itu terlihat tidak nyaman dengan ketegangan yang m
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.“Maaf,” ucapnya pelan seraya menunduk. “Aku hanya … hanya ….”Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.“Maaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,” ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.“Hey, dengar,” katanya lembut. “Aku tahu ad
Nate menatap mata Mariana cukup lama. Ia tahu Mariana tidak bodoh—wanita itu cukup peka membaca perubahan suasana. Tapi Nate juga tahu, terlalu cepat membagi informasi bisa berarti menambah beban yang tak perlu. “Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa,” ujar Nate. Suaranya tenang, tapi hatinya berdebar kencang. Mariana menatap pria itu beberapa detik, seakan mencoba menerawang isi pikirannya. Namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan. “Oke,” gumamnya singkat, lalu berbalik pergi. Begitu pintu tertutup, Nate mengembuskan napas panjang. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal di atas meja. Ia tahu ia harus menemukan pelaku secepat mungkin. Dan yang paling penting, ia harus menjaga Mariana tetap aman. Apapun caranya. Menjelang siang, suasana kantor perlahan mereda. Mariana duduk di pantry sambil memegang cangkir berisi teh hangat. Pandangannya menerawang ke jendela kaca yang menghadap ke luar. Namun pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Ia kembali mengingat surat dan mawar hi
Hari-hari berlalu, dan meskipun segala sesuatunya tampak normal, ada yang berbeda dalam diri Mariana. Nate bisa merasakan perubahan itu. Setiap kali mereka berinteraksi, seperti ada jarak yang terbentang di antara mereka.Mata sang kekasih yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini lebih sering terlihat kosong.Pagi itu, di ruang makan yang tenang, Nate memandangi Mariana dengan seksama. Wanita itu duduk di seberangnya, memegang cangkir teh dengan kedua tangan sementara matanya terfokus pada taman di luar jendela.“Moonie,” suara Nate memecah keheningan yang sempat menggantung. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu tidak seperti biasanya. Kamu lebih banyak diam. Ada apa, Sayang?”Mariana menoleh pelan, terkejut. Dan untuk beberapa detik, ada kebisuan yang menggelayuti udara di sekitar mereka. Lalu dengan senyum yang hampir tak terlihat, Mariana menundukkan kepala dan mengaduk-aduk teh di dalam cangkirnya.“Aku cuma capek,” jawabnya lirih. Sebuah jawaban yang sudah Nate duga akan Mari
Belum genap dua menit sejak pesan itu terkirim, ponsel Mariana berdering. Nama Nathaniel Adikara terpampang jelas di layar.Mariana menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo…?”“Moonie,” suara Nate terdengar rendah namun tajam, penuh kekhawatiran yang tak bisa ditutupi. “Kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit,” jawab Mariana lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosi yang kembali menyeruak ke permukaan. “Ayah di ICU. Belum sadar.”“Rumah sakit mana?” tanya Nate cepat.“Rumah Sakit Sehat Bahagia.”“Aku ke sana sekarang.”“Nathaniel—”“Aku akan ke sana sekarang,” ulang Nate, tak memberi ruang untuk sanggahan. “Tunggu aku, Moonie.”Panggilan berakhir tanpa Mariana sempat menolak. Ia menatap layar ponsel yang kembali gelap, lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara jemari. Bagian dari dirinya lega karena Nate akan datang. Tapi bagian lain masih bergulat dengan rasa takut, bahwa semua ini akan menyeretnya lebih jauh ke dalam pusaran kekacauan.Sekitar tiga puluh menit
Bianca mendekat dan berhenti tepat di samping ibunya. Tatapannya sempat melirik ke arah Nate sejenak, lalu ia menyapa pria itu dengan nada sopan. Namun tak sekalipun ia menoleh pada Mariana, seolah kakaknya itu tak pernah ada di sana.Mariana tidak mempermasalahkan sikap dingin itu. Ia sudah terlalu lelah untuk peduli. Justru Nate-lah yang terlihat menahan kekesalannya.Nate melirik Bianca singkat, sorot matanya tajam, tetapi memilih diam demi menghormati situasi.“Gimana kondisi Ayah?” tanya Bianca.Ratna tersenyum tipis. “Sudah membaik. Kata dokter, kemungkinan besar ayahmu akan segera sadar. Tanda-tandanya positif.”“Syukurlah,” ucap Bianca singkat, kemudian duduk di kursi bersama Ratna.Suasana sempat hening beberapa saat. Bianca tampak sibuk membuka ponselnya, sementara Ratna mengelus punggung tangannya pelan-pelan. Melihat keadaan itu, Nate menoleh pada Mariana.“Kita cari sarapan dulu, ya?” ajaknya lembut.Ratna yang tak sengaja mendengar hal itu langsung menimpali. Ia mengarah
Beberapa waktu telah berlalu sejak insiden tabrak lari Armand—ayah Mariana. Pria itu akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisi fisiknya dinyatakan stabil. Meski masih harus menjalani rawat jalan dan banyak beristirahat, Mariana dan Ratna akhirnya bisa bernapas lega.Namun tidak dengan rasa was-was yang terus menghantui Mariana.Mariana belum memberi tahu Nate tentang pesan-pesan ancaman yang ia terima. Ia memilih diam. Bukan karena tidak percaya pada pria itu, tapi karena tidak ingin membebani Nate, apalagi dalam kondisi seperti ini.Namun malam itu, segalanya terungkap secara tidak sengaja.Nate tengah memeriksa laporan proyek di ruang kerjanya ketika Mariana masuk untuk mengantarkan kopi. Tapi sebuah suara notifikasi membuat Mariana berhenti melangkah. Ponselnya yang tergeletak di meja kerja Nate tiba-tiba menyala.Nate tidak berniat mengintip, tetapi matanya secara refleks menangkap kata yang sangat mencolok di layar.[Kamu belum juga menurut. Bersiaplah kehilangan yang lain.]
Dua hari setelah insiden itu, kantor pusat Adikara Global Energy berjalan seperti biasa. Pegawai lalu-lalang di lorong-lorong, mengejar tenggat sebelum istirahat makan siang tiba. Namun, kedatangan dua orang wanita di lobi utama membawa cerita lain hari itu.Bianca dan Ratna.Dengan wajah tegang dan mata sembap, Bianca melangkah cepat ke meja resepsionis. Ratna menyusul di belakangnya, dengan ekspresi yang tampak tidak bersahabat.“Kami ingin bertemu dengan Pak Nathaniel,” ujar Bianca tajam. “Bilang saja, Bu Ratna datang.”Resepsionis tampak terkejut, namun langsung mengangguk dan menghubungi lantai atas. Hanya dalam beberapa detik, mereka sudah mengantongi izin dan dipersilakan untuk naik.Kebetulan, di ruangan Nate sedang ada Arsita yang datang berkunjung. Kedatangan Ratna dan putri bungsunya lantas memercikkan ketegangan yang tak seharusnya ada.“Tante Ratna,” sambut Nate sopan seraya berjalan menghampiri. “Senang bertemu—”Namun, tamunya langsung memotong.“Senang bertemu?” Ratna
Setelah tim medis membawa Bara pergi dan pihak keamanan memastikan kantor kembali steril, Nate menggenggam erat tangan Mariana yang terasa dingin. Jari-jari wanita itu tak henti menggigil, dan tubuhnya sesekali bergetar walau ia berusaha tegar.“Ayo kita pulang,” ucap Nate lembut.Mariana hanya mengangguk. Matanya sembap, wajahnya pucat. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun ketika Nate merengkuh tubuhnya dan membawanya ke mobil.Sepanjang perjalanan, Mariana tetap diam. Pandangannya kosong menatap keluar jendela yang sudah gelap.Nate mengepalkan tangannya di atas kemudi. Ia membenci ini. Membenci kenyataan bahwa Mariana harus melalui semua itu … dan ia datang terlambat.Sesampainya di rumah, Nate langsung menggendong Mariana masuk. Di ruang tengah, mereka berpapasan dengan Bi Imah yang terkejut melihat kondisi Mariana—tapi tidak berani bertanya.“Bi, tolong buatkan teh hangat. Sekalian bawakan air hangat dan lap bersih ke kamar Mariana, ya,” ucap Nate cepat.“Baik, Tuan,” jawab Bi Ima
Sudah lewat pukul delapan malam, kantor pusat Adikara Global Energy nyaris sepenuhnya sunyi. Mariana duduk di balik meja kerjanya dengan mata yang mulai terasa berat. Di hadapannya terbuka beberapa berkas cetak dan laptop yang menampilkan file dokumen.Ia sedang menyusun laporan triwulan internal—ringkasan kegiatan CEO, agenda kerja yang telah dijalankan, serta tindak lanjut dari hasil rapat sebelumnya. Laporan itu harus diserahkan esok pagi ke bagian dewan komisaris.Deadline-nya sebenarnya minggu depan, tapi tadi siang, sekretaris komisaris mendadak memberi tahu bahwa jadwal rapat dimajukan. Mariana tidak punya pilihan selain menyelesaikannya malam itu juga.Ia tidak memberi tahu Nate. Pertama, karena pria itu sedang mengurus penyelidikan yang menyita pikirannya. Kedua, karena Mariana tahu Nate pasti tidak akan membiarkannya lembur sendirian jika tahu. Dan Mariana tidak ingin membebani kekasihnya lebih dari ini.Ia menarik napas dalam-dalam, memijit pelipis yang mulai berdenyut. Lamp
Beberapa waktu telah berlalu sejak insiden tabrak lari Armand—ayah Mariana. Pria itu akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisi fisiknya dinyatakan stabil. Meski masih harus menjalani rawat jalan dan banyak beristirahat, Mariana dan Ratna akhirnya bisa bernapas lega.Namun tidak dengan rasa was-was yang terus menghantui Mariana.Mariana belum memberi tahu Nate tentang pesan-pesan ancaman yang ia terima. Ia memilih diam. Bukan karena tidak percaya pada pria itu, tapi karena tidak ingin membebani Nate, apalagi dalam kondisi seperti ini.Namun malam itu, segalanya terungkap secara tidak sengaja.Nate tengah memeriksa laporan proyek di ruang kerjanya ketika Mariana masuk untuk mengantarkan kopi. Tapi sebuah suara notifikasi membuat Mariana berhenti melangkah. Ponselnya yang tergeletak di meja kerja Nate tiba-tiba menyala.Nate tidak berniat mengintip, tetapi matanya secara refleks menangkap kata yang sangat mencolok di layar.[Kamu belum juga menurut. Bersiaplah kehilangan yang lain.]
Bianca mendekat dan berhenti tepat di samping ibunya. Tatapannya sempat melirik ke arah Nate sejenak, lalu ia menyapa pria itu dengan nada sopan. Namun tak sekalipun ia menoleh pada Mariana, seolah kakaknya itu tak pernah ada di sana.Mariana tidak mempermasalahkan sikap dingin itu. Ia sudah terlalu lelah untuk peduli. Justru Nate-lah yang terlihat menahan kekesalannya.Nate melirik Bianca singkat, sorot matanya tajam, tetapi memilih diam demi menghormati situasi.“Gimana kondisi Ayah?” tanya Bianca.Ratna tersenyum tipis. “Sudah membaik. Kata dokter, kemungkinan besar ayahmu akan segera sadar. Tanda-tandanya positif.”“Syukurlah,” ucap Bianca singkat, kemudian duduk di kursi bersama Ratna.Suasana sempat hening beberapa saat. Bianca tampak sibuk membuka ponselnya, sementara Ratna mengelus punggung tangannya pelan-pelan. Melihat keadaan itu, Nate menoleh pada Mariana.“Kita cari sarapan dulu, ya?” ajaknya lembut.Ratna yang tak sengaja mendengar hal itu langsung menimpali. Ia mengarah
Belum genap dua menit sejak pesan itu terkirim, ponsel Mariana berdering. Nama Nathaniel Adikara terpampang jelas di layar.Mariana menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo…?”“Moonie,” suara Nate terdengar rendah namun tajam, penuh kekhawatiran yang tak bisa ditutupi. “Kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit,” jawab Mariana lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosi yang kembali menyeruak ke permukaan. “Ayah di ICU. Belum sadar.”“Rumah sakit mana?” tanya Nate cepat.“Rumah Sakit Sehat Bahagia.”“Aku ke sana sekarang.”“Nathaniel—”“Aku akan ke sana sekarang,” ulang Nate, tak memberi ruang untuk sanggahan. “Tunggu aku, Moonie.”Panggilan berakhir tanpa Mariana sempat menolak. Ia menatap layar ponsel yang kembali gelap, lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara jemari. Bagian dari dirinya lega karena Nate akan datang. Tapi bagian lain masih bergulat dengan rasa takut, bahwa semua ini akan menyeretnya lebih jauh ke dalam pusaran kekacauan.Sekitar tiga puluh menit
Hari-hari berlalu, dan meskipun segala sesuatunya tampak normal, ada yang berbeda dalam diri Mariana. Nate bisa merasakan perubahan itu. Setiap kali mereka berinteraksi, seperti ada jarak yang terbentang di antara mereka.Mata sang kekasih yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini lebih sering terlihat kosong.Pagi itu, di ruang makan yang tenang, Nate memandangi Mariana dengan seksama. Wanita itu duduk di seberangnya, memegang cangkir teh dengan kedua tangan sementara matanya terfokus pada taman di luar jendela.“Moonie,” suara Nate memecah keheningan yang sempat menggantung. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu tidak seperti biasanya. Kamu lebih banyak diam. Ada apa, Sayang?”Mariana menoleh pelan, terkejut. Dan untuk beberapa detik, ada kebisuan yang menggelayuti udara di sekitar mereka. Lalu dengan senyum yang hampir tak terlihat, Mariana menundukkan kepala dan mengaduk-aduk teh di dalam cangkirnya.“Aku cuma capek,” jawabnya lirih. Sebuah jawaban yang sudah Nate duga akan Mari
Nate menatap mata Mariana cukup lama. Ia tahu Mariana tidak bodoh—wanita itu cukup peka membaca perubahan suasana. Tapi Nate juga tahu, terlalu cepat membagi informasi bisa berarti menambah beban yang tak perlu. “Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa,” ujar Nate. Suaranya tenang, tapi hatinya berdebar kencang. Mariana menatap pria itu beberapa detik, seakan mencoba menerawang isi pikirannya. Namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan. “Oke,” gumamnya singkat, lalu berbalik pergi. Begitu pintu tertutup, Nate mengembuskan napas panjang. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal di atas meja. Ia tahu ia harus menemukan pelaku secepat mungkin. Dan yang paling penting, ia harus menjaga Mariana tetap aman. Apapun caranya. Menjelang siang, suasana kantor perlahan mereda. Mariana duduk di pantry sambil memegang cangkir berisi teh hangat. Pandangannya menerawang ke jendela kaca yang menghadap ke luar. Namun pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Ia kembali mengingat surat dan mawar hi
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.“Maaf,” ucapnya pelan seraya menunduk. “Aku hanya … hanya ….”Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.“Maaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,” ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.“Hey, dengar,” katanya lembut. “Aku tahu ad