LOGINAndini berdiri menatap taman kecil yang ada di depan teras rumahnya. Taman yang dipenuhi dengan aglonema kesayangan ibunya. Andini sendiri mendedikasikan hidupnya untuk bekerja di rumah sakit hingga sedikit sekali dia ikut campur dalam penataan rumahnya.
Andra yang baru menyusul melihat wanita bercadar ini sedang berdiri memandang lurus ke sebuah taman. "Padahal ada kursi." Gerutunya pelan. Suasana menjadi canggung karena keduanya sama-sama tak mau membuka suara. Padahal dari dalam, suara dua ibu paruh baya itu sangat memekakkan telinga. Akhirnya, Maryam menemukan teman sepermainannya. Mereka tampak cocok bergosip bersama "Jadi kamu bekerja sebagai perawat?" Andra mencoba memecah keheningan. Andini menoleh sampai membuat Andra memalingkah wajah. Ada apa dengan mata itu? Andra jadi ingin mencongkelnya saking tajamnya. "Seperti yang kamu dengar." Apakah ini di kutub utara? Lagi-lagi Andra menggerutu di dalam hatinya. Suara Andini boleh diadu dengan dinginnya es disana. "Jadi kamu lulusan magister? Di Universitas mana?" Tanya Andra lagi. "Ui." Bolehkah Andra kembali masuk ke dalam dan menyeret Maryam keluar? Dia ingin pulang dan meninggalkan wanita sombong ini. "Aku juga lulusan UI." "Aku tahu." Jawabnya. "Darimana?" Tanya Andra lagi dan lagi. "Kamu sering mengatakannya di wawancara." "Oh.. apa kamu sering menonton filmku?" "Tidak pernah." Oh, Andra sampai mengepalkan tangannya. Jika tidak ingat gender, Andra pasti akan membanting wanita ini. "Aku jarang membuka televisi atau pergi ke bioskop." Sambung Andini. "Hari-hariku sibuk bekerja." "Ya.. memang jelas terlihat." Wanita kaku dan tidak ramah. Bintang satu untuk wanita ini. "Jadi kamu menerima perjodohan ini?" Giliran Andini yang memberikan pertanyaan. "Menurutmu bagaimana?" "Aku bertanya padamu." Andini menekankan suaranya sampai Andra ingin menggigit ujung kukunya. Baru kali ini ada wanita yang membuatnya gugup, padahal lawan mainnya saja tak membuatnya seperti ini ketika akan melalukan adegan romantis. "Jujur saja aku tidak menerimanya. Aku datang kemari karena terpaksa." Biar saja Andra jujur untuk membuat wanita ini tersinggung. "Aku juga menolaknya. Kita berdua berasal dari dunia yang berbeda." "Untunglah kamu cepat menyadarinya. Aku seorang artis besar dan sedang di puncak kejayaan. Menikah dengan wanita yang bukan berasal dari dunia yang sama bisa membuat pamor ku tenggelam." "Kamu suka membuat sensasi?" "Eh!" Andra terlonjak kaget. "Apa maksud ucapanmu?" "Hanya tanya. Kamu tadi bicara seperti itu masalahnya." Jawab Andini cuek sedari tadi. "Kalau begitu kita sudah sepakat untuk mengakhiri perjodohan ini, kan? Bagus. Aku akan mengatakannya pada ibuku." Dahi Andini mengkerut mendengar ucapan Andra. Pria ini main memutuskan saja. "Kenapa? Apa kamu ingin meneruskannya?" Tanya Andra ketika melihat perubahan ekspresi Andini. "Terserah padamu saja." "Ya. Memang harusnya seperti itu. Kamu bisa mendapatkan seorang ustadz karena tampilanmu itu. Lagipula kamu bisa jadi istri muda dari seorang alim agama." Andra memandang sinis. "Ya.. itu lebih baik daripada menjadi istri dari seorang aktor yang suka bersentuhan dengan lawan jenis." Dar! Der! Dor! Andra merasa tertembak di dada kanan dan kirinya. Wanita ini bisa menepis sindirannya. Baiklah, skor seri sekarang. Andra memilih mundur sebelum terjadi aksi cakar-cakaran disini. Selepas mengobrol singkat, keduanya masuk ke dalam ruang tamu dan bergabung dengan Lastri dan Maryam. "Sudah ngobrolnya? Cepet banget." Maryam sampai terheran-heran. "Namanya juga baru kenal, pasti malu-malu." Lastri menimpali. Tapi kedua orang ini menunjukkan ekspresi yang berbeda. Terutama Andra yang terlihat kesal. "Hari sudah malam, lebih baik kita pulang." Ajak Andra. "Benar. Kami pulang dulu kalau begitu. Untuk pertemuan berikutnya, nanti aku hubungi lagi." Lastri tersenyum. "Kami tunggu kabar baiknya." Ia lalu beralih pada Andra. "Andra.. walaupun Andini sudah berusia 33 tahun, tapi dia masih perawan. Takutnya kamu pikir dia janda karena umurnya yang mendekat tua." Lastri tertawa keras. Sementara Andra tersentak. 33 tahun katanya? Gila saja! Itu sama saja menjodohkan Andra dengan perawan tua. "Umur hanyalah angka. Yang penting hatinya." Maryam membalas ucapan Lastri. Ia tersenyum memandangi calon menantunya. Sedangkan, Andini memilih menunduk. "Mari kita pulang, bu." Andra sudah tak tahan lagi. Selesai berpamitan, dia bergegas masuk ke mobilnya dan pulang ke rumah. "Ngobrol apa aja tadi?" Tanya Lastri pada anaknya yang tengah mencuci piring bekas tamu tadi. "Apa aja." "Dini! Kamu nggak macem-macem, kan?" "Maksud, mama?" "Kamu nggak nolak Andra, kan? Dia itu artis besar, Din! Bayangin, seorang artis besar menginjakan kakinya di rumah kecil kita!" Seru Lastri. "Memang harus menginjak, kan? Kalau melayang itu hantu namanya." "Oh, Tuhan." Lastri menepuk jidatnya. "Pokoknya mama mau kamu menerima perjodohan ini." Andini menghentikan kegiatannya dan menatap ibunya. "Apa nggak ada pria lain yang bisa mama jodohkan padaku?" "Memang apa salahnya kalo suamimu artis? Kamu harus bangga dong!" "Tapi aku mau punya suami yang sekufu denganku, ma! Yang sama menjaganya sepertiku. Tidak menyentuh lawan jenis sembarangan. Sedangkan, mama tahu sendiri pekerjaannya gimana." Sebenarnya Andini pernah menonton film yang dibintangi oleh Andra. Dimana semua film yang diperankannya selalu menyelipkan adegan mesra hingga bersentuhan bibir. Oh, Andini tidak suka pria seperti itu. "Terus maumu bagaimana? Nyari yang sepertimu? Yang selalu pakai gamis kemana-mana?" Lastri mendelik kesal. "Mama kan ikut pengajian. Seharusnya, Mama tahu yang baik atau tidak." Sela Andini. "Bantah terus kamu ini! Kemarin mama jodohkan dengan polisi itu kamu nolak! Sekarang sama artis juga nolak. Mau cari yang gimana sih, hah?" "Aku cuma mencari yang terbaik, ma." "Bukan yang terbaik! Kamu itu terlalu pemilih!" Bentak Lastri. Andini lalu menggeleng. "Kalau aku menerima perjodohan mama dengan polisi waktu lalu mungkin aku tinggal nama sekarang. Mama dengar sendiri kasusnya, kan? Dia tega memukuli istrinya sendiri. Mau mama aku kayak gitu?" Terdiam Lastri akan ucapan anaknya. Memang benar, perjodohan Andini yang pertama gagal itu ada untungnya. Sebabnya polisi itu bermain tangan dengan istrinya hingga menyebabkan istrinya sekarat. "Tapi mama jamin kalau Andra ini bagus 100%!" Andini menggeleng mantap. "Aku menolak perjodohan ini." "Mau cari seperti apa sih kamu ini?" Lastri jadi putus asa. "Atau kamu besok pergi ke pesantren sana. Bawa papan nama dirimu dan tulis besar-besar kalau kamu lagi cari jodoh. Bisa jadi ada ustadz yang kecantol sama kamu! Itupun kalau ada yang mau sama perawan tua kayak kamu!" Andini hanya bisa beristighfar di dalam hatinya. Ia tak perduli dan masuk ke kamarnya. Sementara, Lastri masih mengomel karena kesal. Di sisi lain, telinga Andra hampir pecah karena Maryam terus menerus memuji Andini. Padahal, Andra juga bingung. Ah, lebih tepatnya belum menemukan kebaikan yang diceritakan oleh Maryam. "Ibu yakin betul kalau Andini itu cantik. Gimana kalau dia aslinya cacat? Atau punya luka di wajah? Makanya dia pake cadar." "Kamu ini!" Maryam sampai memukul kepala anaknya dengan kesal. "Lihat itu dari dahi dan matanya, nak. Mulus. Putih. Bercahaya. Ibu yakin dia cantik luar dalam." "Matanya jelek begitu kok dibilang cantik sih?! Asal ibu tahu kalau Andini menolak perjodohan ini." "Dia bilang begitu? Atau kamu yang memaksanya?" Selidik Maryam. "Astaga! Dia memang bilang begitu tadi!" Gerutu Andra kesal. "Lagian ibu kira-kira dong kalo mau ngejodohin aku itu sama perempuan yang masih muda. Biar seger gitu, loh!" "Percuma aja kalau masih muda tapi udah jadi bekasan orang lain. Pokoknya ibu nggak mau menerima penolakan kalian. Disini ibu yang mengambil keputusan!" "Terserah. Kalau ibu memang maksa. Biar ibu aja yang menikah dengan Andini." Andra melenggang santai dengan membawa kunci mobilnya. Ia harus pergi ke pesta ulang tahun temannya. "Mau kemana kamu?" Tegur Maryam. "Ke pesta ulang tahun Prilia. Sebentar aja!" Maryam berdecak namun memiliki ide pemintas. "Ya, pergilah." Andra pergi ke sebuah cafe yang berada di pusat kota. Sesampainya disana, dia sudah mendapat tawa ejekan dari teman-temannya. "Kenapa kalian ngelihatin aku gitu?" Tanya Andra heran. "Ibumu tadi nelpon katanya minta tolong jagain anak ibu biar nggak keluyuran malam!" Jawab Prilia terkikik geli. "Sial!" Andra mengumpat. "Padahal umur udah 35 tahun. Tapi tali pusar kayaknya nggak dilepas sama ibumu!" Sahut Bembi yang memancing gelak tawa. "Diamlah!" Andra melotot pada sahabat prianya. "Memang kamu tadi darimana? Kok datengnya telat?" Tanya Asti. "Dari rumah seseorang. Ibu mengajukan perjodohan gila untukku." Keempat sahabat Andra tertawa dengan keras. Mereka bahkan ada yang menunjuk wajah Andra dengan geli. "Gila, ya! Segitu nggak lakunya kamu dimata ibumu." "Padahal Andra mah kalau mau pilih cewek tinggal nunjuk aja!" Sahut Bembi. "Tapi, sayang Andra nggak mau sama siapapun. Cintanya udah habis sama mantan!" Sambung Dian. "Diamlah!" Ah, salah alamat Andra kemari. Dia menjadi bulan-bulanan sahabatnya. Andra sendiri memiliki geng yang terdiri dari 5 orang, 2 pria dan 3 wanita. Yaitu dirinya, Bembi, Dian, Asti dan Prilia. Mereka dulu pernah bermain di film yang sama ketika baru merintis menjadi aktor. Dan setelah 15 tahun, persahabatan mereka tetap terukir dengan kuat. "Ngomong-ngomong siapa ceweknya? Artis juga?" Tanya Prilia. Andra menggeleng. "Perempuan biasa. Berhijab pakai cadar. Dan lebih gilanya lagi dia itu perawan tua!" Oh, semakin kencang empat orang ini menertawakan Andra. "Sudahlah! Aku pulang saja kalau begitu!" Andra hendak merajuk. "Jangan, dong. Tuh makan kuenya dulu biar gantengnya nggak ilang." Balas Dian sambil tertawa. Andra mengambil tiramisu yang ada disana dan memakannya perlahan. "Oh, ya. Katanya kamu mau observasi ke rumah sakit jiwa? Bener itu?" Tanya Asti. "Iya, dua hari lagi. Demi peran." Sahut Andra sambil mengunyah. "Emang kamu peranin apa sih?" Dian memberikan pertanyaan. "Psikiater. Jadi aku harus mengobservasi prilaku pasien disana dan juga belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka." "Andra mah memang selalu totalitas!" Seru Bembi. "Itulah alasan pialaku berjajar di rumah!" Jawab Andra congkak. "Jadi nyesel muji dia tadi!" Ucap Bembi yang kembali membuat tawa semua orang. Sementara, Andra teringat akan sesuatu. Wanita bercadar yang sombong itu tadi bilang kalau dia bekerja di rumah sakit jiwa, kan? Matilah. Di kota ini, rumah sakit itu hanya ada satu. "Jangan sampai aku bertemu dengan wanita sombong itu!" Gumam Andra dalam batinnya."Kamar mama ada di lantai 4." Ucap Tiara setelah Andini baru pulang dari minimarket."Kapan pindahnya?""Sebentar lagi."Oleh karena Lastri yang masih mengalami pusing, ia lalu dibawa pindah ke kamarnya menggunakan brankar. Sebuah kamar VIP di lantai 4. Lastri yang cerewet ingin istirahat dan tidak mau bergabung dengan pasien lain, sebagai anak, Andini dan adiknya memberikan yang terbaik saja.Sesampainya di lantai 4, Andini terkejut karena bertemu dengan teman sekolahnya yang merupakan perawat di lantai ini."Ra.. kamu jaga mama sebentar. Mbak mau ke depan, rupanya ada temen mbak kerja disini."Tiara mengangguk dan membiarkan Andini ke nurse station. Sementara Andini menemui Risa teman lamanya yang sedang mengerjakan laporan di nurse station."Ya Allah, Andini. Ini kamu?" Risa tersenyum dan memeluk Andini. "Apa kabar?""Baik sekali. Kamu apa kabar?""Baik juga! Udah lama kita nggak ketemu.""Hmm.. terakhir reuni beberapa tahun yang lalu."Jadi gimana sekarang? Udah dapet pangerannya?
Maryam dibawa ke unit gawat darurat dan menerima tindakan dari tim medis. Oleh karena tak darurat, Maryam diizinkan untuk pulang ke rumah."Hanya sakit maag biasa. Pasien diperbolehkan pulang." Ucap dokter wanita yang berjaga malam itu."Tapi kenapa ibu saya masih terlihat lemas ya, dok?" Tanya Andra keheranan karena melihat Maryam memejamkan matanya dengan rapat."Mungkin karena muntahnya tadi. Tapi saya sudah memberikan obat suntikan untuk meredakan nyeri."Andra mendekati ibunya dan memanggil. Tapi Maryam hanya melenguh tanpa membuka matanya."Masih terasa sakit, bu?"Maryam mengangguk. Kini bulir air mata terlihat meleleh di matanya."Dok.. apa ibu saya perlu rawat inap?" Andra kembali memburu dokter yang berjaga di nurse station. Dia jadi tak tega dengan keadaan ibunya."Sebenarnya tidak perlu." Dokter wanita itu jadi menghela nafas panjang. Sebenarnya dari segala pemeriksaan, dokter ini tak menemukan hal yang parah pada Maryam. Ia malah menduga ibu paruh baya itu mengalami psiko
"Kepalamu korslet?"Andra tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari sebrang sana. Salahnya sendiri yang menelpon dan tiba-tiba mengajak menikah."Kamu dimana?" Tanya Andra akhirnya."Di rumah. Mau kemari? Aku tunggu kalau begitu."Andra mengiyakan. Sudah lama juga tidak bertemu, ada sedikit rasa rindu disana. Sekitar 30 menit dari rumah Andini, Andra tiba di sebuah rumah mewah di perumahan elit. Seorang wanita cantik rambut sebahu menyambutnya."Apa kabar, An?" Wanita ini memeluk Andra dengan erat."Baik. Kamu gimana?" Tanya Andra."Baik juga. Ayo, masuk!"Andra masuk ke rumah mewah ini dan duduk di ruang keluarga. Itu karena Andra sudah dikenal baik dengan keluarga ini. Ia sering bolak balik mengantar Rena, nama wanita ini ketika pulang dari bekerja."Kamu mau minum apa?" Tanya Rena."Minum kopi saja." Jawab Andra memandang lekat. Tak lama Rena kembali lagi dari dapur dan membawa secangkir kopi."Kamu dari mana tadi?""Dari rumah seseorang. Tumben kamu pulang cepat. Biasanya kamu lem
Pesta ulang tahun hampir berakhir, apalagi anak-anak Prilia bangun dari tidurnya dan berteriak ingin bergabung dengan acara. Wajar saja, pukul sudah menunjukkan jam 11 malam. Anak-anak yang tadi telah tertidur jadi terbangun karena suara bising orang dewasa."Aku harus pulang, anak-anakku juga pasti menunggu." Ucap Dian."Aku juga. Sebelum suamiku mengomel, aku harus segera pulang!" Sambung Asti. "Belum mau pulang, Bem?" Tanyanya pada Bembi.Bembi lalu melirik Andra. "Mau pulang nggak?""Kenapa nanya aku?" Tanya Andra balik."Apa ini? Kalian berdua pacaran?" Seru Dian hingga geleng-geleng kepala."Sudah pulanglah sana. Nanti ibu Maryam nelpon lagi!" Prilia jadi geli mengingat pesan yang ia terima tadi."Ah.." Dian langsung menatap ke arah pintu depan pada wanita yang baru saja masuk. "Kayaknya Andra nggak bisa pulang.""Kenapa?" Oh, Prilia dan yang lain ikut terkejut akan kedatangan seseorang. Begitu juga Andra yang langsung berdecak kesal."Malam semua.. aduh, maaf aku telat. Tadi ba
Andini berdiri menatap taman kecil yang ada di depan teras rumahnya. Taman yang dipenuhi dengan aglonema kesayangan ibunya. Andini sendiri mendedikasikan hidupnya untuk bekerja di rumah sakit hingga sedikit sekali dia ikut campur dalam penataan rumahnya.Andra yang baru menyusul melihat wanita bercadar ini sedang berdiri memandang lurus ke sebuah taman."Padahal ada kursi." Gerutunya pelan.Suasana menjadi canggung karena keduanya sama-sama tak mau membuka suara. Padahal dari dalam, suara dua ibu paruh baya itu sangat memekakkan telinga. Akhirnya, Maryam menemukan teman sepermainannya. Mereka tampak cocok bergosip bersama"Jadi kamu bekerja sebagai perawat?" Andra mencoba memecah keheningan.Andini menoleh sampai membuat Andra memalingkah wajah. Ada apa dengan mata itu? Andra jadi ingin mencongkelnya saking tajamnya."Seperti yang kamu dengar."Apakah ini di kutub utara? Lagi-lagi Andra menggerutu di dalam hatinya. Suara Andini boleh diadu dengan dinginnya es disana."Jadi kamu lulusa
"Apa? Nikah dengan gadis biasa?" Yang benar saja. Mata Andra sampai mau keluar menatap ibundanya.Sudah biasa jika Andra disinggung soal pernikahan. Maklum usianya sekarang sudah 35 tahun. Kalau tinggal di desa, Andra pasti sudah dipanggil bujang lapuk. Tapi, kan Andra ini pria metropolitan. Aktor besar yang sudah membintangi puluhan film ternama. Kalau dia menikah di puncak karirnya, itu sama saja mematikan karirnya."Terus kamu mau nikah dengan siapa? Laki-laki?" Mata Maryam juga mau keluar."Bukan begitu. Cuma aku belum mau nikah!""Kenapa sih? Nggak doyan cewek kamu?""Astaga!" Andra sampai mengelus dada. "Mama tahu sendiri jadwalku sampai dua tahun kedepan itu full. Ada dua film yang akan aku bintangi. Belum lagi modelling, dan membintangi variety show. Jadwalku full.""Lalu hubungan jadwalmu full dengan menikah apa, hah?""Sudah." Andra mengibaskan tangan. Percuma bicara dengan ibunya seperti berbicara pada tembok."Mau sampai kapan kamu nggak menikah, nak?" Maryam menatap putr







