LOGINPesta ulang tahun hampir berakhir, apalagi anak-anak Prilia bangun dari tidurnya dan berteriak ingin bergabung dengan acara. Wajar saja, pukul sudah menunjukkan jam 11 malam. Anak-anak yang tadi telah tertidur jadi terbangun karena suara bising orang dewasa.
"Aku harus pulang, anak-anakku juga pasti menunggu." Ucap Dian. "Aku juga. Sebelum suamiku mengomel, aku harus segera pulang!" Sambung Asti. "Belum mau pulang, Bem?" Tanyanya pada Bembi. Bembi lalu melirik Andra. "Mau pulang nggak?" "Kenapa nanya aku?" Tanya Andra balik. "Apa ini? Kalian berdua pacaran?" Seru Dian hingga geleng-geleng kepala. "Sudah pulanglah sana. Nanti ibu Maryam nelpon lagi!" Prilia jadi geli mengingat pesan yang ia terima tadi. "Ah.." Dian langsung menatap ke arah pintu depan pada wanita yang baru saja masuk. "Kayaknya Andra nggak bisa pulang." "Kenapa?" Oh, Prilia dan yang lain ikut terkejut akan kedatangan seseorang. Begitu juga Andra yang langsung berdecak kesal. "Malam semua.. aduh, maaf aku telat. Tadi baru selesai syuting!" Briana menyapa geng ini dan memberikan kecupan di pipi pada teman wanitanya. "Selamat ulang tahun mbak Pril." Wanita ini menyerahkan kado. "Makasih.. harusnya nggak perlu repot-repot begini. Kamu kan bisa datang lain kali!" Seru Prilia yang langsung mendapat pelototan dari rekannya. "Maksudnya kamu pasti capek dari syuting, tapi bela-belain kemarin." Nah, jangan sampai rasa tidak suka ini terlihat. Geng ini memang tidak menyukai Briana yang centil dan genit. Apalagi Briana terang-terangan menyukai Andra. "Nggak apa-apa kok, mbak. Namanya juga diundang." Sahut Briana santai. Ia lalu melirik Andra yang mulai memasang kuda-kuda ingin kabur. "Udah lama nggak ketemu ya, kak?" "Rasanya baru 3 hari yang lalu." Jawab Andra. "Tapi bagiku itu lama.. untunglah sebentar lagi kita akan promosi film bersama." Briana tersenyum genit. Andra dan Briana ini bermain dalam satu film yang sama dan baru saja menyelesaikan syuting beberapa hari yang lalu. Walau Briana 10 tahun lebih muda darinya, tapi wanita ini terlihat lebih dewasa karena make up tebalnya. Apalagi bahasa tubuhnya itu sangat condong pada Andra. Dia pernah mengatakan bahwa Andra adalah tipe idealnya. "Ya. Sampai jumpa bulan depan." Sahut Andra acuh. "Aku pulang, ya. Ibuku sudah menunggu." "Loh, kok cepet banget? Aku baru sampe loh!" "Maaf, Bri. Ibuku lagi sakit. Duluan, ya!" Andra melambaikan tangan dan berpamitan. "Aku juga. Sopirku sudah menunggu di depan!" Asti dan Dian juga ikut berpamitan kepada teman-temannya. "Nikmati minumannya ya, Bri. Mbak Pril mau ke dalam dulu nidurin anak." Prilia lalu kabur ke dalam rumah meninggalkan Briana sendirian. "Loh.. kok semuanya pada pergi?" Briana jadi cemberut. Namun, ia terkejut karena bahunya di tepuk seseorang. "Eh!" "Tenang aja! Ada kak Bembi disini. Kita makan sama-sama, yuk!" Ajak Bembi yang membuat Briana meneguk ludah. Astaga! Pria berkacamata ini benar-benar bukan tipenya. "Ayolah. Kok melamun?" Briana langsung tersenyum tak enak. "Kayaknya aku pulang aja, deh. Udah malam. Sampaikan salamku untuk mbak Prilia ya, kak. Bye!" Briana langsung kabur ketika sadar dirinya tinggal berdua saja dengan Bembi. Sementara Bembi terperangah. "Pantas saja aku nggak punya pacar. Perempuan yang ingin kudekati selalu saja menghilang!" Bembi menepuk kepalanya. Besok pagi, kehebohan terjadi di rumah Lastri. Tiara mengomel karena bekal makan siangnya tidak disiapkan padahal dia harus pergi bekerja pagi ini. "Bukannya mbakmu sudah buat sarapan?" Tanya Lastri baru keluar dari kamar dengan memakai mukena. "Udah. Tapi mie goreng doang. Mana bekal makanku? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini mau dibawain nasi uduk. Aku pulang sore, ma." Jelas Tiara sambil merengek. "Bawa aja mie goreng itu. Kok susah banget?" "Masa makan siang juga mie goreng. Mama gimana sih! Aku minta uang aja kalau gitu. Mau beli bekal diluar." "Minta uang terus kamu ini tahunya!" Gerutu Lastri. "Itu kan uangku yang ku titip ke mama. Gimana sih? Atau gini aja, aku yang pegang gajiku!" "Jangan!" Jawab Lastri cepat. "Kamu itu boros. Nanti gajimu habis aja buat nurutin gaya hidup." Lastri masuk ke kamarnya dan keluar lagi sembari memberikan uang 50 ribuan. "Sama bensin. Udah itu nggak ada lagi. Gajimu hampir habis." "Ya sudah, aku berangkat dulu." Setelah menerima uang, Tiara pergi bekerja. Tak lama, Andini juga baru keluar dengan memakai seragam batik biru. "Pulang jam berapa hari ini, Din?" "Jam 4 kalo nggak ada rapat. Kenapa?" Tanya Andini. "Mama pulang bada maghrib. Ada kajian sama ustadz Hanif di majelis." "Ya, asal jangan lupa pulang saja." Jawab Andini santai. Ia lalu berpamitan untuk ke rumah sakit. Berbeda dengan Tiara yang menggunakan motor sendiri untuk bekerja, Andini lebih suka memakai transportasi umum. Apalagi ada busway yang hanya satu kali putaran bisa sampai ke tempat kerjanya. Sesampainya disana, Andini menghadap ke bidang kepegawaian. Namun, kabar buruk yang malah ia dapatkan. "Di tolak lagi?" Tanya Andini menatap kesal. Wanita yang ada di hadapan Andini hanya bisa mengurut dada. Itu karena orang-orang bisa salah paham karena sikap Andini yang suka menutup wajah dan mensisakan matanya saja. Mata yang terang dan tajam itu jelas sudah beberapa kali meninggalkan kesan pemarah. "Quota sudah penuh untuk naik pangkat, Din." "Padahal aku sudah mempersiapkan semuanya. Kemarin kalian bilang masih ada 2 kursi lagi untukku naik pangkat." "Iya.. tapi kamu kalah cepat." Jawab wanita bernama Meirin ini. "Kalah cepat bagaimana? Aku sudah menunggu 3 tahun untuk naik pangkat, mbak." "Gimana kita coba tahun depan lagi?" Tawarnya. Andini hanya bisa menghela nafas. "Aku yakin kalian mendahulukan anak pejabat untuk naik pangkat duluan, kan? Kalau begini aku kayaknya mundur aja, mbak. Aku alih fungsi aja dan keluar dari rumah sakit ini." "Duh, jangan marah-marah Dini. Tahun depan kita coba lagi. Mudah-mudahan kamu bisa naik pangkat." "Kita lihat saja nanti.." Andini keluar dari ruang kepegawaian menuju ruang rawat tempat dia mengabdi. Sudah 13 tahun Andini mengabdi di rumah sakit ini. Seluruh jenis dan perilaku pasien sudah ditemuinya. Dan sepertinya, pegawai disini sudah sama-sama ikut memiliki gejala seperti pasien. Bagaimana tidak? Andini sudah 3 tahun menunggu untuk naik pangkat menjadi kepala ruangan. Sekarang dia hanya puas sebagai ketua tim saja. Padahal dari karir dan prestasi, Andini sudah bisa naik jenjang. "Nepotisme disini memang kuat sekali!" Andini jadi memandang ruangan kepegawaian itu dengan kesal. Baru saja melangkah, Andini sudah di panggil seseorang. Rupanya Irwan yang berasal dari tim Humas. "Nanti ada artis yang mau observer disini. Kemungkinan akan kunjungan ke ruanganmu." Jelasnya. "Aku sudah tahu, pak." "Sudah tahu?" "Untuk kepentingan syuting film, kan? Aku sudah dengar semuanya." "Oh," Irwan terkesiap karena dinginnya suara Andini. "Baguslah kalau begitu. Nanti kami kabari saja kapan waktunya." Andini langsung berbalik dan pergi ke ruangannya. Moodnya jadi buruk karena baru saja dari kepegawaian. Sementara, di pengajian Lastri bertemu dengan Maryam. Keduanya tampak akrab seolah akan benar-benar menjadi besan. "Gimana kesan Andini ketemu sama Andra?" Maryam memberi pancingan. "Seneng banget. Semalaman, Andini memuji Andra. Katanya Andra itu ganteng banget." "Oh, ya?" Mata Maryam sampai berbinar. "Syukurlah kalau begitu. Abisnya Andra bilang kalau Andini menolak perjodohan ini." "Apa? Andini bilang begitu?" Lastri jadi terkejut. "Iya. Tapi rupanya Andra berbohong. Awas saja anak itu!" Setelah pulang dari pengajian, Maryam akan menjewer telinga anaknya. "Mungkin mereka malu-malu, bu. Maklumin aja." Lastri jadi terkekeh. Padahal, apa yang diucapkannya tadi sebuah kebohongan. Andini memang menolak perjodohan ini. Selesai pengajian dan kembali ke rumah masing-masing. Baik Andini dan Andra mendapat omelan dari ibu mereka. "Kamu ini keterlaluan ya, Din! Gamblang banget kamu bilang sama Andra kalau kamu menolaknya!" "Memang apa yang salah, ma? Andra juga menolak perjodohan ini!" Balas Andini. "Kamu tu mikir dong, Din. Apa kamu nggak mau hidup secara berlebihan? Sepanjang hidup kita harus hidup secara pas-pasan. Setidaknya kalau kamu menikahi artis, kamu akan menjadi nyonya kaya raya. Nggak akan kamu naik bis untuk bekerja karena suamimu akan memberikanmu mobil." "Lebih baik kita hidup berkecukupan dari pada kekurangan, kan?" "Dini!" Bentak Lastri. "Pokoknya mama nggak mau tahu kamu harus menikah dengan Andra." "Aku tidak mau!" Andini masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Sementara di rumah Andra juga begitu. Andra bahkan menutup kedua telinganya dengan headset. "Dengerin ibu, dulu!" Hardik Maryam melepas headset anaknya. Ia lalu menjewer telinga Andra. "Sakit, bu! Nanti putus telingaku!" Andra langsung mengusap telinganya yang memerah. "Kamu berani membohongi ibu, ya? Kamu bilang Andini menolakmu. Padahal dia setuju akan perjodohan ini." "Sebentar, maksudnya apa ini?" "Andini itu menyukaimu, Andra! Tega sekali kamu bilang kalau dia menolakmu! Oh, ibu tahu ini cuma akal-akalan kamu untuk menolak perjodohan ini, kan?" Maryam berkacak pinggang. "Aku nggak bohong, bu! Andini benar-benar menolakku!" "Pembohong!" Bentak Maryam hingga membuat Andra terlonjak kaget. "Pokoknya ibu nggak mau tahu. Kamu harus menikahi Andini." Maryam langsung pergi setelah mengatakan itu. "Sialan!" Andra jadi mengumpat. "Si sombong itu menantangku rupanya!" Andra bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar. Dia hendak ke rumah Andini dan melabrak gadis itu. Bicara apa dia itu, hah? Seenaknya kemarin bilang menolak, eh sekarang mengemis ingin dijodohkan. Dasar perawan tua! Sesampainya di rumah Andini, Lastri menyambut dengan sumringah. Seperti gayung bersambut, Lastri yakin jika Andra sudah tersihir dengan pesona yang dimiliki anaknya. "Tunggu sebentar. Tante panggilkan Andini dulu." Sekitar 10 menit, wanita bercadar itu keluar dan memandang Andra keheranan. "Maaf, tante. Apa aku boleh berbicara dengan Andini sebentar?" Ucap Andra karena melihat Lastri yang malah ikut duduk manis bersama mereka. "Baiklah." Lastri tersenyum manis. Dia mengerti kalau dua orang ini butuh ruang untuk mengobrol. "Kenapa kamu kemari?" Tanya Andini sedingin biasanya. "Apa yang kamu katakan pada ibuku? Sebenarnya apa maumu?" Andra mulai meradang. "Maksudmu?" "Semalam kamu bilang menolak perjodohan kita. Lalu, hari ini kamu bilang ingin menikahiku. Sebenarnya yang mana sikapmu?" "Aku nggak pernah berkata seperti itu." "Jangan mengelak. Aku sudah tahu seperti apa watak wanita sepertimu itu! Kamu pasti mempertimbangkannya lagi karena usiamu yang sudah tua, kan? Supaya tidak dicap perawan tua." Andra berdecih sinis. "Jaga ucapanmu, Tuan muda." Andini menatap tajam. "Dengarkan aku, wanita sombong. Aku tidak akan pernah sudi menikahimu!" Andra memandang Andini dengan sengit dan langsung keluar dari kediaman Andini. Sesampainya di mobil, Andra mengambil ponsel yang ada di saku celananya dan menelpon seseorang. "Hai.. apa kamu mau menikah denganku?" Tanya Andra yang sudah habis akal pada seseorang yang ada di sebrang sana."Kamar mama ada di lantai 4." Ucap Tiara setelah Andini baru pulang dari minimarket."Kapan pindahnya?""Sebentar lagi."Oleh karena Lastri yang masih mengalami pusing, ia lalu dibawa pindah ke kamarnya menggunakan brankar. Sebuah kamar VIP di lantai 4. Lastri yang cerewet ingin istirahat dan tidak mau bergabung dengan pasien lain, sebagai anak, Andini dan adiknya memberikan yang terbaik saja.Sesampainya di lantai 4, Andini terkejut karena bertemu dengan teman sekolahnya yang merupakan perawat di lantai ini."Ra.. kamu jaga mama sebentar. Mbak mau ke depan, rupanya ada temen mbak kerja disini."Tiara mengangguk dan membiarkan Andini ke nurse station. Sementara Andini menemui Risa teman lamanya yang sedang mengerjakan laporan di nurse station."Ya Allah, Andini. Ini kamu?" Risa tersenyum dan memeluk Andini. "Apa kabar?""Baik sekali. Kamu apa kabar?""Baik juga! Udah lama kita nggak ketemu.""Hmm.. terakhir reuni beberapa tahun yang lalu."Jadi gimana sekarang? Udah dapet pangerannya?
Maryam dibawa ke unit gawat darurat dan menerima tindakan dari tim medis. Oleh karena tak darurat, Maryam diizinkan untuk pulang ke rumah."Hanya sakit maag biasa. Pasien diperbolehkan pulang." Ucap dokter wanita yang berjaga malam itu."Tapi kenapa ibu saya masih terlihat lemas ya, dok?" Tanya Andra keheranan karena melihat Maryam memejamkan matanya dengan rapat."Mungkin karena muntahnya tadi. Tapi saya sudah memberikan obat suntikan untuk meredakan nyeri."Andra mendekati ibunya dan memanggil. Tapi Maryam hanya melenguh tanpa membuka matanya."Masih terasa sakit, bu?"Maryam mengangguk. Kini bulir air mata terlihat meleleh di matanya."Dok.. apa ibu saya perlu rawat inap?" Andra kembali memburu dokter yang berjaga di nurse station. Dia jadi tak tega dengan keadaan ibunya."Sebenarnya tidak perlu." Dokter wanita itu jadi menghela nafas panjang. Sebenarnya dari segala pemeriksaan, dokter ini tak menemukan hal yang parah pada Maryam. Ia malah menduga ibu paruh baya itu mengalami psiko
"Kepalamu korslet?"Andra tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari sebrang sana. Salahnya sendiri yang menelpon dan tiba-tiba mengajak menikah."Kamu dimana?" Tanya Andra akhirnya."Di rumah. Mau kemari? Aku tunggu kalau begitu."Andra mengiyakan. Sudah lama juga tidak bertemu, ada sedikit rasa rindu disana. Sekitar 30 menit dari rumah Andini, Andra tiba di sebuah rumah mewah di perumahan elit. Seorang wanita cantik rambut sebahu menyambutnya."Apa kabar, An?" Wanita ini memeluk Andra dengan erat."Baik. Kamu gimana?" Tanya Andra."Baik juga. Ayo, masuk!"Andra masuk ke rumah mewah ini dan duduk di ruang keluarga. Itu karena Andra sudah dikenal baik dengan keluarga ini. Ia sering bolak balik mengantar Rena, nama wanita ini ketika pulang dari bekerja."Kamu mau minum apa?" Tanya Rena."Minum kopi saja." Jawab Andra memandang lekat. Tak lama Rena kembali lagi dari dapur dan membawa secangkir kopi."Kamu dari mana tadi?""Dari rumah seseorang. Tumben kamu pulang cepat. Biasanya kamu lem
Pesta ulang tahun hampir berakhir, apalagi anak-anak Prilia bangun dari tidurnya dan berteriak ingin bergabung dengan acara. Wajar saja, pukul sudah menunjukkan jam 11 malam. Anak-anak yang tadi telah tertidur jadi terbangun karena suara bising orang dewasa."Aku harus pulang, anak-anakku juga pasti menunggu." Ucap Dian."Aku juga. Sebelum suamiku mengomel, aku harus segera pulang!" Sambung Asti. "Belum mau pulang, Bem?" Tanyanya pada Bembi.Bembi lalu melirik Andra. "Mau pulang nggak?""Kenapa nanya aku?" Tanya Andra balik."Apa ini? Kalian berdua pacaran?" Seru Dian hingga geleng-geleng kepala."Sudah pulanglah sana. Nanti ibu Maryam nelpon lagi!" Prilia jadi geli mengingat pesan yang ia terima tadi."Ah.." Dian langsung menatap ke arah pintu depan pada wanita yang baru saja masuk. "Kayaknya Andra nggak bisa pulang.""Kenapa?" Oh, Prilia dan yang lain ikut terkejut akan kedatangan seseorang. Begitu juga Andra yang langsung berdecak kesal."Malam semua.. aduh, maaf aku telat. Tadi ba
Andini berdiri menatap taman kecil yang ada di depan teras rumahnya. Taman yang dipenuhi dengan aglonema kesayangan ibunya. Andini sendiri mendedikasikan hidupnya untuk bekerja di rumah sakit hingga sedikit sekali dia ikut campur dalam penataan rumahnya.Andra yang baru menyusul melihat wanita bercadar ini sedang berdiri memandang lurus ke sebuah taman."Padahal ada kursi." Gerutunya pelan.Suasana menjadi canggung karena keduanya sama-sama tak mau membuka suara. Padahal dari dalam, suara dua ibu paruh baya itu sangat memekakkan telinga. Akhirnya, Maryam menemukan teman sepermainannya. Mereka tampak cocok bergosip bersama"Jadi kamu bekerja sebagai perawat?" Andra mencoba memecah keheningan.Andini menoleh sampai membuat Andra memalingkah wajah. Ada apa dengan mata itu? Andra jadi ingin mencongkelnya saking tajamnya."Seperti yang kamu dengar."Apakah ini di kutub utara? Lagi-lagi Andra menggerutu di dalam hatinya. Suara Andini boleh diadu dengan dinginnya es disana."Jadi kamu lulusa
"Apa? Nikah dengan gadis biasa?" Yang benar saja. Mata Andra sampai mau keluar menatap ibundanya.Sudah biasa jika Andra disinggung soal pernikahan. Maklum usianya sekarang sudah 35 tahun. Kalau tinggal di desa, Andra pasti sudah dipanggil bujang lapuk. Tapi, kan Andra ini pria metropolitan. Aktor besar yang sudah membintangi puluhan film ternama. Kalau dia menikah di puncak karirnya, itu sama saja mematikan karirnya."Terus kamu mau nikah dengan siapa? Laki-laki?" Mata Maryam juga mau keluar."Bukan begitu. Cuma aku belum mau nikah!""Kenapa sih? Nggak doyan cewek kamu?""Astaga!" Andra sampai mengelus dada. "Mama tahu sendiri jadwalku sampai dua tahun kedepan itu full. Ada dua film yang akan aku bintangi. Belum lagi modelling, dan membintangi variety show. Jadwalku full.""Lalu hubungan jadwalmu full dengan menikah apa, hah?""Sudah." Andra mengibaskan tangan. Percuma bicara dengan ibunya seperti berbicara pada tembok."Mau sampai kapan kamu nggak menikah, nak?" Maryam menatap putr







