Share

Melarikan Diri

"Ja-jangan ...."

Rosela meringsut ke belakang di saat Vadlan semakin menghampirinya dan hendak naik ke atas ranjang.

Namun, Vadlan tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh istrinya itu. Ia harus membuat Salvia hamil dan melahirkan seorang putra, demi warisan yang akan jatuh kepadanya alih-alih sang kakak karena tidak bisa memiliki seorang anak.

Meskipun, Vadlan sebenarnya tidak ingin menyentuh Salvia karena pernah mendengar bahwa wanita itu sebenarnya sudah tidak perawan dan hal itu menambah daftar kebenciannya pada istrinya tersebut.

Sedangkan Rosel saat ini memutar otaknya dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya saat ini. Ia harus bisa terhindar dari malam pertama mereka yang mengerikan di depan matanya saat ini.

"Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Aku ini suami kamu, jadi aku berhak atas tubuh kamu itu," desis Vadlan.

"Cepat buka pakaianmu itu dan buka lebar-lebar kakimu seperti yang kamu lakukan dengan pria lain," lanjut Vadlan kembali. "Oh, aku lupa. Saat ini kamu hilang ingatan, tapi itu tidak masalah. Cepat buka pakaianmu atau aku akan bersikap kasar ...."

Kedua alis Rosela menyatu mendengar ucapan Vadlan yang seperti sebuah hinaan pada wanita yang bernama Salvia itu, seakan mengatakan bahwa sang istri sudah tidak perawan.

Belum sempat Rosela mendapatkan jawaban dari pertanyaannya atau menanggapi ucapan Vadlan, ia dibuat terkejut di saat tangan kokoh Vadlan memegangi kedua kakinya dan menariknya hingga ke sisi ranjang

Sontak saja Rosela meronta, menendang sebisanya agar tangan Vadlan terlepas dari kedua kakinya saat ini.

"Ja-jangan. Hentikan, Om. Aku bukan istri Om, aku--"

PLAK..

Tiba-tiba saja sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rosela saat ini. Dan itu untuk pertama kali di dalam hidupnya ditampar oleh seseorang, terutama oleh seorang pria.

"Berhenti memanggilku dengan panggilan Om yang menyebalkan itu! Panggil aku dengan sebutan, Tuan. Kalau tidak, aku bukan hanya akan patahkan leher kamu itu. Tapi, juga memotong lidahmu. Kamu mengerti!" tegas Vadlan dengan mata yang melotot.

Rosela menganggukan kepalanya sembari memegang pipinya yang terasa begitu perih.

"Cepat panggil aku dengan panggilan Tuan sekarang," perintahnya.

Rosela mengerjapkan matanya sambil menelan ludahnya dengan kasar. Sikap Vadlan kembali mengerikan seperti sebelumnya. Tapi, tetap saja ia harus menguatkan diri demi menjaga harga diri dan kehormatannya.

"I-iya, Tuan. Ta-tapi masalahnya. Saya sekarang lagi datang bulan dan sepertinya gak bisa--"

Ucapan Rosela menggantung di udara karena ia benar-benar menyesal berbohong dengan mengatakan datang bulan. Tentu saja pria seperti Vadlan tidak akan percaya begitu saja dengan ucapannya itu bukan?

Namun, dugaan Rosela sepertinya meleset. Itu karena Vadlan langsung melepaskan cengkraman tangannya di kedua kaki Rosela.

Vadlan menaikkan dagunya sambil menatap istrinya itu dengan penuh selidik.

"Kamu yakin sedang datang bulan atau sedang berpura-pura?!

Lagi-lagi Rosela meneguk ludahnya dengan kasar, jika ketahuan berbohong maka habislah ia nantinya. Tapi, itu satu-satunya kesempatan yang dimilikinya saat ini.

"Kalau Tuan gak percaya, bisa periksa sendiri." Ia bahkan berani menantang Vadlan karena terlanjur berbohong. Padahal saat ini ia mengutuk diri sendiri di dalam hati karena bisa-bisanya ia mengatakan hal seberani itu.

Vadlan tampak terdiam, mengamati Rosela dari atas dan bawah. Terutama kedua netra gadis tersebut.

Detik selanjutnya, terdengar hembusan nafas kasar dari wajah Vadlan saat ini.

"Sialan! Kenapa harus sekarang! Pastikan tidak sampai mengotori tempat tidurku! Cepat turun sekarang! Ganti pakaianmu," sentaknya, seraya memutar punggungnya dan keluar dari kamar utama tersebut.

Di saat Vadlan benar-benar pergi dari hadapannya, Rosela langsung meraup udara disekitarnya banyak-banyak. Ia hampir saja tidak bisa bernafas ketika berhadapan dengan Vadlan sebelumnya.

"Benar-benar gila orang itu." Dengan suara yang bergetar ia mengutuk Vadlan.

Detik selanjutnya, Rosela mulai bernafas lega dan mengatur ritme nafasnya. Ia segera turun dari ranjang dan mencari pakaian ganti di lemari. Tapi, tatapannya teralihkan pada balkon yang ada di luar kamar. Sebuah senyuman terbit di wajahnya saat ini.

Sementara itu di sisi lain.

Vadlan yang meradang karena gagal melakukan malam pertama dengan istrinya itu berteriak di ruang tengah, memanggil Kamelia.

"Kamelia, cepat datang kesini."

Teriakan Vadlan menggema di mansion tersebut sehingga membuat siapa saja bisa mendengarnya. Termasuk dengan Kamelia yang saat ini sedang menyiapkan makan malam di ruang makan.

Ia langsung bergegas menuju ke tempat Vadlan berada. Tapi, sebelum itu meminta dua pelayan lainnya nanti memanggil Salvia untuk makan malam, jika semuanya sudah siap di meja makan.

"Ada apa, Tuan muda. Apa terjadi sesuatu?" tanya Kamelia menghampiri.

"Ikut denganku sekarang juga," perintah Vadlan, seraya melangkahkan kakinya menuju ke ruang kerjanya.

Sedangkan Kamelia mengekornya di belakang dengan senyuman penuh tanda tanya. Terlebih lagi malam pertama Vadlan dan Salvia terbilang singkat menurutnya.

Keduanya kini di sudah berada di ruang kerja Vadlan, tapi di dalam tempat itupun ada sebuah ranjang besar tempat yang seringkali digunakan pria tersebut, untuk melampiaskan hasratnya dengan wanita bayarannya dan salah satunya adalah Kamelia.

"Ada apa, Tuan muda? Apa Nona Salvia tidak bisa memuaskan anda? Hingga anda--"

PLAK.

Kini tamparan keras itu tiba-tiba mendarat di pipi Kamelia. Tapi, wanita tersebut sama sekali tidak menunjukkan rasa marah, kesakitan dan juga air mata. Ia tetap bergeming di tempatnya.

"Kenapa kamu tidak memastikan apa Salvia sedang datang bulan atau tidak! Benar-benar memuakkan?" pekik Vadlan, di mana saat ini dikuasainya oleh amarah yang memburu.

"Ma-maafkan atas kelalaian saya, Tuan muda. Saya tidak berpikir ke arah sana dan Nona Salvia juga tidak mengatakan apapun soal datang bulannya dan--"

"Cukup," potong Vadlan yang tampak amarahnya mulai mereda. "Aku tidak ingin membahasnya lagi saat ini! Buka pakaianmu sekarang dan lakukan tugasmu," perintahnya.

Kamelia mengembangkan senyumannya. Ia dengan senang hati akan melayani Vadlan entah itu siang dan malam, itu karena bukan sebatas karena uang semata. Tapi, kini dirinya ingin memiliki pria tersebut sebagai suaminya kelak.

"Tentu, Tuan muda. Saya akan selalu membuat anda puas," ucapnya seraya membuka pakaiannya satu persatu di depan Vadlan.

Tanpa menunggu waktu lagi, Vadlan yang hasratnya sudah berada di ubun-ubunnya itu segera memakai alat pengaman untuk menghujam milik Kamelia yang seperti ramuan untuk menghilangkan rasa sakit kepala bagian bawahnya.

Suara desahan dan lenguhan pun menggema di dalam ruangan kerja itu saja.

"Ah, Tuan Muda. Anda memang luar biasa, sama seperti biasanya," racau Kamelia yang merasakan milik Vadlan mengaduk-aduk belahan intinya. Meskipun terkadang ia ingin sekali merasakan melakukannya tanpa alat pengaman, tapi Vadlan selalu berhati-hati agar wanita bayaran lain atau dirinya tidak sampai hamil.

Usai Vadlan menggapai klimaksnya, ia menghentikan permainan panas tersebut dan membuang alat pengaman yang berisikan cairan putih di dalamnya ke tong sampah. Kemudian memakai kembali pakaiannya.

Begitu juga dengan Kamelia yang kini memakai pakaiannya, setelah membersihkan seperlunya di kamar mandi.

Terdengar suara ketukan di pintu.

"Ini kami, Tuan muda," ucap salah satu pelayan yang melayani Rosela sebelumnya.

Vadlan menghela nafasnya kasar. Kali ini ada apa lagi? Sampai mereka berani mendekati ruang kerjanya.

"Biar saya saja yang urus, Tuan muda," ucap Kamelia menawarkan diri, lalu bergegas menuju ke pintu dan membukanya.

Begitu pintu dibuka, dua pelayan wanita di depan Kamelia tampak memasang wajah pucat pasi.

"Ada apa? Kalian sudah diberitahu berapa kali untuk tidak mendekati ruang kerja Tuan Muda," sentak Kamelia.

"Ma-masalahnya, Nona Muda tidak ada di kamarnya--"

"APA?!"

Vadlan yang mendengar kabar hilangnya sang istri seketika melebarkan matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status