Pak Abi membuka pintu balkon kamarnya. Dia membiarkan angin malam masuk ke ruangan ini. Perpaduannya membuatku merinding, antara angin luar sekaligus AC. Kumasukkan seluruh tanganku ke balik jilbab yang kukenakan. Dia mengajakku untuk berdiri di pinggir pagar balkon. Kami menikmati suasana kompleks yang tampak tenang. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. Langit malam kota Jakarta juga tampak suram dan mendung. Kurasa akan turun hujan. Aku menunggunya kembali melanjutkan cerita. Sedikit demi sedikit Pak Abi seperti mau menunjukkan sisi lainnya. Dia berbeda. Dia bukan Pak Abi yang kukenal ‘sempurna’ selama ini. Rasanya, dia ingin membagikan kisah pilunya kepadaku. Mungkin dia mau membagikan masalah atau malah memindahkan masalahnya untukku. “Dulu, di saat orang-orang berbondong ingin kuliah ke Jakarta, saya malah kabur ke Kalimantan Timur. Setelah itu, saya langsung lanjut S2 di Australia. Saya cuma mau pergi jauh dari rumah. Sama kayak kamu yang memili
“Saya nggak punya pilihan lain.” “kok—” Suara ketukan dengan perpaduan tangisan Aksa membuat kami kompak menoleh ke arah pintu. “Anak itu pasti mau tidur sama kamu.” Pak Abi berjalan dan membuka pintu yang ternya dikunci. Aku tidak tahu kalau Pak Abi menguncinya. Saat pintu terbuka, Aksa langsung menuju ke arahku dengan air mata yang berlinang. Pak Abi tampak berbincang dengan Mama, sedangkan aku memposisikan diri tidur bersama Aksa. “Kamu bisa lepas jilbab kalau nggak nyaman,” ucap Pak Abi ketika sudah kembali masuk ke kamar. “Lebih nggak nyaman kalau saya nggak pakai jilbab di depan Bapak.” “Kita perlu saling membiaskan.” “Tapi, saya nggak mau lepas jilbab.” “Oke, kalau gitu yang harus diubah pertama adalah nama panggilan. Jangan panggil saya ’Pak’.” “Saya panggil Honey aja. Gimana?” ucapku bercanda. “Kamu nggak muntah?” “Ini sudah mau muntah
“Enak aja bocah, aku sudah dua puluh tahun, sebentar lagi juga dua puluh satu.” Dia melirikku sekilas, lalu membuang muka lagi. Kami jalan mengelilingi kompleks ini. Kompleks yang kubilang cukup elit. Semuanya tertata rapi. Masing-masing rumah bergaya minimlalis dengan desain yang berbeda di setiap unit. “Gaji dosen itu banyak, ya, Mas?” tanyaku. Melihat kawasan ini sepertinya pengasilan orang di sampingku bisa mencapai dua dijit. “Dikit. Makanya nggak usah jadi dosen.” “Tapi, kayaknya rumah Mas Abi mahal.” “Ada bisnis.” “Yang hidroponik itu, ya?” Dia mengangguk. Bisnis tanaman hidroponik itu milik keluarga Mas Abi yang sebelumnya dibangun oleh orang tuanya, kemudian dilanjutkan oleh kakaknya. Setelah itu, kini dikelola oleh Mas Abi. Dia memang tidak memegang langsung, melainkan mengawasi setiap keberjalanannya. “Enak, ya, hidup Mas Abi. Sekolah nggak usah mikirin biaya, orang tua masih ada, kaya lagi. Nggak usah mikir lagi untuk masa depan, pasti terjamin,” ucapku sambil terus
‘Mas Abi, salat zuhurnya jangan lupa 😊’ Kurasa aku sudah menjelma menjadi alarm untuknya. Semoga saja dia nggak marah. Untuk pesanku ini dia hanya membaca, tapi tidak membalas. Tepat sesaat setelah itu, aku melihatnya yang baru keluar dari ruangan. Aku baru selesai menemui Bu Renjani—kepala jurusan, membahas tentang penggantian dosen pembimbing skripsi. Aku tidak bisa menguasai diri ketika kulihat dia dengan tampak sok cool-nya melewatiku. Dia tidak menyapaku, melirik saja tidak, aktingnya ternyata jago. Berbeda denganku yang ketika dia lewat harus menahan napas. “Ikut kita sekarang atau gue bakal teriak kalau lo ada main sama Pak Abi.” Wawa tiba-tiba muncul dan sudah membisikiku kalimat itu. Dia menarikku seperti aku sebuah buronan. Ada Sherin juga yang menunggu di lobi. Cepat atau lambat aku memang perlu menceritakan detail sejak hari Sabtu kemarin hingga hari ini kepada dua sahabatku. Sebenarnya mereka sudah memberikan pesan chat yang sangat banyak, tapi kuabaikan. Lebih enak ji
“Itu tipe cowok idamanmu?” Mas Abi melontarkan pertanyaan ini ketika aku sedang membereskan barangku di kamarnya. Sudah tidak ada Papa Mama, yang menandakan aku harus kembali ke kamar Aksa. Aku sudah seperti pengungsi saja. Aku paham maksud pertanyaannya. “Kak Alex? Iya. Kami dekat,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. “Biasa aja.” “Dia baik dan perhatian.” “Cowok kayak gitu biasanya punya banyak gebetan.” “Kak Alex nggak gitu, dia perhatian ke aku aja. Dia tadi juga bahas tentang rencananya setelah lulus. Dia mau nunggu aku selesai S2,” jawabku penuh percaya diri. Aku mau menunjukkan kalau bukan cuma dia yang punya selingkuhan, aku juga bisa. Mas Abi tidak lagi menjawab ucapanku. Dia tampak sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya. “Tidur di sini aja,” ucapnya tiba-tiba. “Apa?” “Jangan keluar kamar ini,” perintahnya lagi. “Kenapa? Mama Papa udah nggak ada.”
Seperti yang kubilang, aku tidak mau diatur-atur dengan cara yang tidak adil. Mas Abi bisa dengan mudah bermesraan dengan Rania sampai mengucapkan kalimat ‘I love you’, masa aku tidak boleh? Aku tidak akan membiarkan dia seenaknya mengaturku. Aku tetap menjadi Una yang bebas dan kata ‘menikah’ hanya status yang diketahui olehku dan dirinya. Sekarang aku sedang duduk di lobi sembari memainkan laptop. Tempat ini sedang sepi dan bahkan lebih nyaman daripada perpustakaan. Koneksinya lancar karena dekat dengan ruang dosen. Aku butuh itu untuk mengakses berbagai jurnal berbayar yang bisa didapat gratis asal menggunakan wifi ID kampus. Fasilitas ini perlu kumanfaatkan dengan baik. Telingaku kusumpal dengan ear phone agar lebih mudah konsentrasi. Beberapa orang yang berlalu lalang di sampingku tak akan membuatku kehilangan fokus. Tujuan utamaku adalah lulus, lulus, dan lulus. Setelah itu, aku akan S2 dan bisa kujadikan alasan untuk segera berpisah dengannya. “Kenapa rajin banget ngerjain sk
Kurasa hari ini memang ada yang salah dari Mas Abi. Dia lebih menyebalkan dari wanita yang menghadapi masa PMS. Tak hanya di kampus, saat di rumah pun dia kembali membuat kegaduhan. Dia menghampiriku yang berada di kamar Aksa. Andai tidak Aksa di sini, mungkin dia langsung mencecarku banyah hal. Dia memperlakukanku seolah aku ini pendosa berat. Saat ini, aku baru membantu Aksa mempersiapkan diri untuk mengaji di musala kompleks. Biasanya Bik Tun yang akan mengantar dan menungguinya di sana. “Kenapa?” tanyaku ketika Aksa sudah berpamitan pergi. Sedari tadi dia hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerikku. Kurasa dia memang sedang kesambet. Aneh! “Kamu nggak mau salaman sama Rangga, kenapa mau disentuh Alex?” Jangan bilang dia tahu tentang kejadian tadi, makanya langsung memanggilku ke ruangannya tanpa alasan? “Diusap kepala?” ucapku santai sambil merapikan kamar Aksa sejenak. “Aku juga mau nolak, tapi kadung suka disentuh kayak gitu,” jawabku jujur. “Rasanya kayak disayang.” Aku
Entah berapa lama kami berpelukan dalam diam. Tidak ada yang mengajak berbicara. Seluruh tubuh kami seolah menunjukkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan lidah. Kami sama-sama mendamba pelukan itu. Kuharap bukan hanya aku yang menikmatinya. Saat dia melepaskan pelukan, aku merasa ada yang kosong. Aku merasa dia baru saja mengambil sesuatu. Namun, aku tidak tahu apa itu. Kami saling berpandangan, lagi-lagi hanya diam. Sungguh, jika dia menatapku seperti ini aku bisa salah mengartikan. Aku akan mengira kalau dia benar-benar menganggapku seperti istrinya. Tolong, jangan buat aku bingung dengan semuanya. Pelan tangannya mengusap pipiku. Ada gelenyer aneh yang tidak tahu dari mana membuatku kembali mematung. Aku seperti membeku dan uniknya getaran itu begitu nyata. Jantungku kembali berpacu dengan hebatnya ketika tangannya itu mengusap pipiku. Apa sebenarnya yang mau dia lakukan? Kenapa harus menyiksaku seperti ini? “Masih belum boleh lihat apa yang ada di balik jilbabmu?” ucapny