Nikah.
Nikah.
Nikah.
Kata itu masih memenuhi otakkau sampai sekarang. Kira-kira orang yang berlalu lalang di depanku ini sudah memikirkan pernikahan belum, ya? Mereka tampak asyik bercanda, apalagi segerombolan mahasiswa baru yang percakapannya baru sebatas ‘Nanti main ke kos siapa?’.
Saat ini aku sedang duduk di taman kampus sambil menikmati sekotak susu. Hari mulai senja dan aku masih setia di sini. Dua sahabatku yang paling cantik jelita masih berada di kelas bersama adik tingkat. Mereka mengulang mata kuliah Riset Komunikasi Strategis di semester lima karena ketahuan menyontek waktu ujuan. Dua manusia itu memang sekali-kali perlu diberi efek seperti ini biar jera.
Dari sekian orang yang melewatiku, ada satu pria yang langsung menuju ke arahku ketika kami bertatapan. Senyumannya yang selalu cerah bersatu dengan cahaya jingga senja.
“Sendirian aja, nggak takut diculik?” ucap Kak Alex sambil duduk di sampingku.
“Nggak ada penculik yang mau nyulik saya.”
“Ah, masa? Deretan cowok yang kamu tolak juga bakal ambil langkah ekstrem kalau kadung keblinger cinta.”
“Lebay.”
Dia Alex Aditia Krisbiantoro, kakak tingkat dua tahun di atasku yang juga mantan ketua BEM Fakultas. Aku mengenalnya sejak tahun kemarin ketika dia mengulang mata kuliah dan sekelas denganku. Kami satu kelompok. Dia yang hobi demo sana-sini membuatku mau tidak mau me-back up tugasnya. Namun, dia tidak lepas tangan begitu saja. Dia akan mencetak dan menjilid tugas. Selain itu, perutku akan kenyang karena selalu dijajanin. Intinya aku tidak rugi. Kami imbang. Aku mengeluarkan pikiran, sedangkan dia mengeluarkan uang.
“Menurut indra penciuman saya, bau-baunya ini habis nyusun strategi demo.”
Kak Alex langsung terbawa terbahak. Jejeran gigi putih bersihnya bisa kulihat jeras. Walau pakaiannya urakan, tapi dia tidak pernah menyentuh rokok, apalagi alkohol. Bibirnya juga berwarna merah muda segar. Darah keturunan Jerman membuatnya semakin terlihat menawan. Satu lagi yang kusuka darinya, kumis tipisnya itu manis banget.
Astagfirullah, istighfar Una. Kenapa jadi malah kesemsem sama Kak Alex! Tapi, dia memang ganteng banget. Pernah melihat Ari Wibowo versi muda? Itulah Kak Alex di mataku.
“Kenapa, sih, hobi banget demo, Kak?”
“Bukan hobi, itu bentuk penyampaian aspirasi. Sebelum demo juga sudah dicoba cara baik-baik, tapi nggak ada hasil. Biasalah para petinggi, naruninya sering ketinggalan di kamar mandi. Kalau nggak di demo sama mahasiswa, aspirasi rakyat nggak akan dianggap. Apalagi media suka sama yang rusuh-rusuh begini untuk dimuat ke berita.”
“Tapi, demonya jangan anarkis, Kak.” Aku mengingatkan.
“Mahasiswa yang bener-bener paham tujuan demo nggak akan bikin keributan dengan ngehancurin fasilitas umum, nyerang aparat, apalagi pake kekerasan. Yang kayak gitu tuh biasanya penyusup yang niatnya memang bikin ricuh aja. Lain kali ikut, deh, biar tahu sensasinya.”
Pernah kubahas kenapa aku tidak bisa menyukai Mas Harun? Karena ini, perbandingannya adalah Kak Alex. Mas Harun memang baik, tapi nggak seterbuka Kak Alex. Pria di sampingku ini punya mindset yang membuatku sering terkagum-kagum kalau sudah berbincang serius dengannya.
“Udah pernah dan nggak mau lagi,” kataku.
“Kapan?”
“Tahun lalu saya ikut demo tentang harga BBM naik, mata saya perih banget kena gas air mata. Kapok saya.”
“Sama siapa demonya? Kok aku nggak tahu?” Kak Alex menyerongkan duduknya. Dia menatapku dengan penuh tanya sampai keningnya berkerut.
“Sama Kakak juga, kok. Itu, lho, yang bareng-bareng mahasiswa se-Jabodetabek yang di Senayan. Masa nggak ingat?”
“Serius kamu ikut itu?” Kak Alex tampak sangat tidak percaya dengan apa yang kuucapkan.
“Kenapa? Nggak percaya, ya, kalau orang kayak saya ikut-ikutan demo?”
“Bukan nggak percaya, cuma kok aku sampe nggak tahu. Harusnya aku tahu dan bisa jagain kamu.”
“Dih, jagain apaan. Kak Alex, lho, sibuk orasi di depan barisan. Mau ngelindungin gimana?” ucapku mengejek. Kami biasa bercanda seperti ini.
“Seenggaknya aku bisa lindungin kamu dari gas air mata, nganterin kamu pulang, dan mastiin nggak ada yang luka.”
Kurasa di Indonesia nggak ada musim semi, tapi kenapa aku seperti melihat bunga sakura berguguran? Rasanya sejuk dan nyaman, seperti kalimat Kak Alex barusan. Apa dia nggak sadar kalau ucapannya itu berbahaya untuk para wanita? Apalagi wanita yang lemah iman sepertiku.
“Tapi, nggak luka, kan? Atau sampe jatuh?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
“Syukurlah. Ntar kalau mau ikut demo bilang sama aku dulu. Kamu itu salah satu mahasiswa yang perlu dikasih briefing lebih sebelum turun ke jalan. Nanti berdiri di barisan yang nggak jauh dariku, biar bisa kulihatin,” ujarnya sambil tersenyum. Aku pun tidak bisa menolak senyumannya. Dia ini memang … idaman. Kalau sudah begini bagaimana mungkin aku bisa menerima lamaran Mas Harun? Aku sudah menemukan sosok pendamping yang kumau. Nggak harus Kak Alex, tapi aku mau sifatnya. Aku mau pria dengan pemikiran yang membuatku jadi tahu banyak hal dan terbuka.
“Lex, buru!” Terdengar suara yang meneriaki Kak Alex. Itu temannya.
“Na, jangan ke mana-mana.”
“Saya nggak boleh pulang?”
“Maksudnya tetap di posisi yang bisa kulihat.”
Aku langsung terdiam dan melongo begitu saja. Ucapannya sangat memungkinkan untuk membuatku salah paham.
“Makasih untuk obrolan sore yang bikin aku semakin semangat ….”
“Semangat untuk apa?”
“Semangat nyelesein kuliah dan semangat untuk mengenalmu.” Kak Alex berdiri dari duduknya kemudian melambaikan tangan ke arahku. Dia berjalan mundur sambil terus tersenyum. Bohong kalau aku tidak menyukainya. Sebagai wanita biasa, aku suka dengannya. Perlakuannya sangat lembut dan manis. Banyak mahasiswi yang secara terang-teranganya menyukainya. Namun, dia tidak memedulikan semua. Dia malah sering seperti ini, langsung menghampiriku saat bertemu. Percakapan kami memang berlangsung singkat, tapi efeknya yang seperti diberi formalin. Tahan lama!
Secara fisik dia sangat tampan. Hidung mancung dan bola mata kecokelatannya bisa untuk memperbaiki keturunan. Tubuhnya yang tinggi bak model sangat pas dengan wajahnya. Tapi, aku juga cukup tahu diri. Siapa aku yang bisa ada di lingkungannya? Dia berada di jajaran borjuis yang nggak akan pusing mikirin UKT meski kuliahnya sampe semester empat belas sekali pun. Meski begitu, sesekali aku membayangkan bisa bersamanya. Aku tidak salah, kan?
Aku baru saja pulang setelah nonton film bersama Sherin dan Wawa di bioskop. Bagi kaum jomlo, nonton bersama sahabat adalah momen yang lebih bahagia daripada kencan. Mau kencan sama siapa, kan, nggak punya pacar? Pukul sepuluh malam aku baru sampai di rumah. Bertepatan aku masuk, si manusia kalong alias Mbak Tasya baru keluar kamar. Kadang aku kesal dengan Ibu, apa pun yang dilakukan Mbak Tasya tidak akan diprotes olehnya. Ibu rela menjaga toko dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan sembari menabung membayar utang Mbak Tasya, sedangkan anaknya hanya leha-leha nggak jelas. Lalu, aku? Aku malah disuruh nikah. Mbak Tasya dulu bekerja di biro travel umroh dan haji. Bayangkan saja, cewek yang hobinya buka-bukaan kayak Mbak Tasya kerja di lingkungan yang mengharuskan memakai pakaian tertutup dan sopan. Dia nggak betah dan sering membuat kesalahan, akhirnya dipecat. Sejak tiga bulan lalu sampai sekarang dia belum kerja lagi. “Sesekali hidup kayak manusia normal, Mbak.
Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Selama ini aku menjadi Hamba yang baik. Kenapa Allah mengujiku bertubi-tubi? Katanya setiap masalah ada hikmahnya. Dari peristiwa ini, hikmah apa yang bisa kuambil? Hikmah kalau keluargaku adalah orang yang menjualku? Aku sudah melajukan motor sekuat yang kumampu. Aku tidak peduli dengan klakson yang mengingatkanku untuk tidak ugal-ugalan. Sudah tak terhitung berapa kali aku ngerem mendadak atau hampir serempetan dengan kendaraan lain. Aku benar-benar tak peduli dengan semuanya. Mungkin malam ini juga aku akan mati konyol di jalanan. Yang penting aku sudah memakai helem. Selebihnya biar takdir yang bekerja. Ayah, katamu aku harus menurut ke Ibu. Tapi, apakah perintahnya ini patut kuturuti? Apa Ayah nggak marah kalau aku dipaksa menikah demi utang? Siapa manusia di bumi ini yang benar-benar menyayangiku seperti Ayah? Pandanganku semakin kabur karena tertutup lapisan bening yang sama sekali tidak mau berhen
Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi! Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai. “Kamu hapal nomor orang tuamu?” Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu. “Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.” Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.” “Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.” Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di dep
Jalanan Kota Jakarta masih saja ramai di jam yang sudah dini hari. Aku menatap ingar bingat jalanan itu dari balik jendela mobil. Kendaraan yang berlalu lalang, gedung yang gemerlap, dan orang-orang dengan kesibukannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan di jam selarut ini. Apa mereka sama sepertiku? Apa kami sama-sama menjadi makhluk bumi yang sedang merasakan sakitnya pengkhianatan? Aku merebahkan kepala di sandaran mobil. Kucari posisi ternyaman dengan tatapan yang tak teralih dengan pemandangan di luar. Otak, hati, dan fisikku semuanya kelelahan. Badanku seperti baru saja digebuki warga saking pegalnya. Hatiku lelah karena baru mendapakan serangan dadakan. Otakku rasanya seperti baru diforsir berpikir selama 24 jam untuk mengerjakan ujian tanpa jeda. Mataku yang sedari tadi menangis juga sudah sembab dan terasa sangat berat. Suasana mobil yang tenang membuatku seperti dininabobokkan. Aku memejamkan mata sejenak selama perjalanan. Rasa lelah ini sudah tidak bis
Aku tak peduli dengan pernikahan. Aku tak peduli dengan Pak Abi. Aku tak peduli setelah ini bagaimana. Yang jelas, aku suka dipeluk begini. Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, kenapa pelukannya seperti begitu pas untukku? Apa tubuhku dan tubuhnya dirancang seperti lego yang saling mengikat? Aku baru saja memberikan anggukan untuk permintaan mama Pak Abi. Aku tahu ini salah. Ini nggak benar. Ini bahkan lebih menjijikan dari pernikahan dengan Mas Harun yang demi uang. Aku juga paham ini akan menimbulkan banyak kejutan ke depannya. Namun, tidak salah kalau aku begitu mendamba pelukan ini, kan? Sekarang aku bisa lupa dengan tamparan Ibu dan Mbak Tasya. Aku bahkan tidak merasakan sakitanya kulitku yang baru tergores aspal tadi. Ini … ini sangat nyaman. Air mataku luruh begitu saja. Ini bukan air mata kebagiaan setelah lamaran absurd tadi. Ini air mata karena aku sangat begitu rindu. Aku tidak pernah dipeluk Ibu. Kalau ada yang mau men
"Saya nggak tahu ini dosa atau enggak. Saya nggak tahu pernikahan ini benar atau enggak. Saya nggak peduli. Untuk sekarang, saya hanya perlu rumah. Rumah yang sungguhan definisi rumah. Malam itu saya bener-bener memilih untuk mati saja. Andai Bapak nggak membantu saya, pasti saya memilih untuk dipenjara. Uluran tangan mama Pak Abi membuat saya silau. Saya mau itu. Terserah setelah ini mau bagaimana. Yang jelas, izinkan saya sebentar saja bisa mengerti arti keluarga. Agar saya bisa mengingatnya dan dengan begitu bisa perlahan pergi," ucapaku. Ini pertama kalinya kami mendapatkan momen berdua. Aku dan Pak Abi baru dari KUA untuk mendaftarkan pernikahan yang akan dilangsungkan di kediaman orang tuanya, yaitu Bogor. "Kamu nggak akan suka dengan apa itu keluarga. Saya malah ingin hidup sendiri tanpa ada yang peduli sepertimu.” Tatapan matanya masih awas di kemudi mobil. "Tapi, kalau itu maumu. Baiklah. Supaya saya memiliki teman menderita tentang busuknya keluarga." Aku terdiam begitu saj
“Hamil duluan, ya?” Satu pertanyaan itu membuatku sadar kalau aku masih mengenakan kebaya berwarna putih. Aku masih di sini. Di tempat di mana aku baru melakukan sesuatu yang sakral dan mengikat. Suara itu terdengar dari seseorang yang tak kukenal. Entah itu pegawai KUA atau salah satu keluarga Pak Abi. “Enggak,” jawabku jujur. “Kok nikahnya buru-buru dan diam-diam?” Sebenarnya aku malas sekali menanggapi pertanyaan itu yang terus berulang. Rasanya lelah saja. Apa perlu aku membawa berkas bukti dari dokter yang menunjukkan selaput daraku masih utuh? Mulutku ini lagi kaku dan tidak selera berbicara panjang lebar. Kenapa, ya, orang-orang itu senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan ada yang merangkul. Ketika kumendongak ke kanan, ternyata Pak Abi. “Nggak usah cari bahan gosip,” selorohnya kepada wanita paruh baya itu. Kemudian dia menuntuntku untuk keluar KUA. Dia hanya berjalan dan
“Selera Pak Abi boleh juga,” ucapku ketika dia baru bergabung ke ruang tengah. Kuacungkan kedua jempol sambil meringis, “Cantik.” Dia tidak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi. Dia merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Kami sama-sama lelah. Pak Abi sih enak bisa dapat pelukan dari pacarnya, sedangkan aku dari siapa? Oh, iya, kan aku sudah dapat pelukan yang lama dari ibu mertua tercinta. “Saya tidur di mana?” tanyaku lagi. “Sesukamu asal jangan di kamar saya.” “Dih, saya juga nggak berniat ke sana. Saya tidur di kamar Aksa?” “Di mana pun asal jangan di kamar SAYA!” Pak Abi menegaskan kata saya. Aku mendecih karena kalimatnya sangat kecut. Berbeda saat tadi dia dengan pacarnya, siapa tadi namanya Rania, ya? Iya, Rania. “Saya ngapain aja di sini? Nggak enak kalau numpang makan tidur, tapi nggak ngelakuin apa-apa.” “Kerja sama sama Bik Tun tentang rumah dan bersikap seperti mamanya Aksa.” “Kalau begitu Bapak juga harus bersikap seperti papanya Aksa, dong.” “Sudah say