Share

BAB 4 - Pria Idaman

Nikah.

            Nikah.

            Nikah.

            Kata itu masih memenuhi otakkau sampai sekarang. Kira-kira orang yang berlalu lalang di depanku ini sudah memikirkan pernikahan belum, ya? Mereka tampak asyik bercanda, apalagi segerombolan mahasiswa baru yang percakapannya baru sebatas ‘Nanti main ke kos siapa?’.

Saat ini aku sedang duduk di taman kampus sambil menikmati sekotak susu. Hari mulai senja dan aku masih setia di sini. Dua sahabatku yang paling cantik jelita masih berada di kelas bersama adik tingkat. Mereka mengulang mata kuliah Riset Komunikasi Strategis di semester lima karena ketahuan menyontek waktu ujuan. Dua manusia itu memang sekali-kali perlu diberi efek seperti ini biar jera.

            Dari sekian orang yang melewatiku, ada satu pria yang langsung menuju ke arahku ketika kami bertatapan. Senyumannya yang selalu cerah bersatu dengan cahaya jingga senja.

            “Sendirian aja, nggak takut diculik?” ucap Kak Alex sambil duduk di sampingku.

            “Nggak ada penculik yang mau nyulik saya.”

            “Ah, masa? Deretan cowok yang kamu tolak juga bakal ambil langkah ekstrem kalau kadung keblinger cinta.”

            “Lebay.”

            Dia Alex Aditia Krisbiantoro, kakak tingkat dua tahun di atasku yang juga mantan ketua BEM Fakultas. Aku mengenalnya sejak tahun kemarin ketika dia mengulang mata kuliah dan sekelas denganku. Kami satu kelompok. Dia yang hobi demo sana-sini membuatku mau tidak mau me-back up tugasnya. Namun, dia tidak lepas tangan begitu saja. Dia akan mencetak dan menjilid tugas. Selain itu, perutku akan kenyang karena selalu dijajanin. Intinya aku tidak rugi. Kami imbang. Aku mengeluarkan pikiran, sedangkan dia mengeluarkan uang.

            “Menurut indra penciuman saya, bau-baunya ini habis nyusun strategi demo.”

            Kak Alex langsung terbawa terbahak. Jejeran gigi putih bersihnya bisa kulihat jeras. Walau pakaiannya urakan, tapi dia tidak pernah menyentuh rokok, apalagi alkohol. Bibirnya juga berwarna merah muda segar. Darah keturunan Jerman membuatnya semakin terlihat menawan. Satu lagi yang kusuka darinya, kumis tipisnya itu manis banget.

            Astagfirullah, istighfar Una. Kenapa jadi malah kesemsem sama Kak Alex! Tapi, dia memang ganteng banget. Pernah melihat Ari Wibowo versi muda? Itulah Kak Alex di mataku.

            “Kenapa, sih, hobi banget demo, Kak?”

            “Bukan hobi, itu bentuk penyampaian aspirasi. Sebelum demo juga sudah dicoba cara baik-baik, tapi nggak ada hasil. Biasalah para petinggi, naruninya sering ketinggalan di kamar mandi. Kalau nggak di demo sama mahasiswa, aspirasi rakyat nggak akan dianggap. Apalagi media suka sama yang rusuh-rusuh begini untuk dimuat ke berita.”

            “Tapi, demonya jangan anarkis, Kak.” Aku mengingatkan.

            “Mahasiswa yang bener-bener paham tujuan demo nggak akan bikin keributan dengan ngehancurin fasilitas umum, nyerang aparat, apalagi pake kekerasan. Yang kayak gitu tuh biasanya penyusup yang niatnya memang bikin ricuh aja. Lain kali ikut, deh, biar tahu sensasinya.”

            Pernah kubahas kenapa aku tidak bisa menyukai Mas Harun? Karena ini, perbandingannya adalah Kak Alex. Mas Harun memang baik, tapi nggak seterbuka Kak Alex. Pria di sampingku ini punya mindset yang membuatku sering terkagum-kagum kalau sudah berbincang serius dengannya.

            “Udah pernah dan nggak mau lagi,” kataku.

            “Kapan?”

            “Tahun lalu saya ikut demo tentang harga BBM naik, mata saya perih banget kena gas air mata. Kapok saya.”

            “Sama siapa demonya? Kok aku nggak tahu?” Kak Alex menyerongkan duduknya. Dia menatapku dengan penuh tanya sampai keningnya berkerut.

            “Sama Kakak juga, kok. Itu, lho, yang bareng-bareng mahasiswa se-Jabodetabek yang di Senayan. Masa nggak ingat?”

            “Serius kamu ikut itu?” Kak Alex tampak sangat tidak percaya dengan apa yang kuucapkan.

            “Kenapa? Nggak percaya, ya, kalau orang kayak saya ikut-ikutan demo?”

            “Bukan nggak percaya, cuma kok aku sampe nggak tahu. Harusnya aku tahu dan bisa jagain kamu.”

            “Dih, jagain apaan. Kak Alex, lho, sibuk orasi di depan barisan. Mau ngelindungin gimana?” ucapku mengejek. Kami biasa bercanda seperti ini.

            “Seenggaknya aku bisa lindungin kamu dari gas air mata, nganterin kamu pulang, dan mastiin nggak ada yang luka.”

            Kurasa di Indonesia nggak ada musim semi, tapi kenapa aku seperti melihat bunga sakura berguguran? Rasanya sejuk dan nyaman, seperti kalimat Kak Alex barusan. Apa dia nggak sadar kalau ucapannya itu berbahaya untuk para wanita? Apalagi wanita yang lemah iman sepertiku.

            “Tapi, nggak luka, kan? Atau sampe jatuh?” tanyanya lagi.

            Aku menggeleng.

            “Syukurlah. Ntar kalau mau ikut demo bilang sama aku dulu. Kamu itu salah satu mahasiswa yang perlu dikasih briefing lebih sebelum turun ke jalan. Nanti berdiri di barisan yang nggak jauh dariku, biar bisa kulihatin,” ujarnya sambil tersenyum. Aku pun tidak bisa menolak senyumannya. Dia ini memang … idaman. Kalau sudah begini bagaimana mungkin aku bisa menerima lamaran Mas Harun? Aku sudah menemukan sosok pendamping yang kumau. Nggak harus Kak Alex, tapi aku mau sifatnya. Aku mau pria dengan pemikiran yang membuatku jadi tahu banyak hal dan terbuka.

            “Lex, buru!” Terdengar suara yang meneriaki Kak Alex. Itu temannya.

            “Na, jangan ke mana-mana.”

            “Saya nggak boleh pulang?”

            “Maksudnya tetap di posisi yang bisa kulihat.”

            Aku langsung terdiam dan melongo begitu saja. Ucapannya sangat memungkinkan untuk membuatku salah paham.

“Makasih untuk obrolan sore yang bikin aku semakin semangat ….”

            “Semangat untuk apa?”

            “Semangat nyelesein kuliah dan semangat untuk mengenalmu.” Kak Alex berdiri dari duduknya kemudian melambaikan tangan ke arahku. Dia berjalan mundur sambil terus tersenyum. Bohong kalau aku tidak menyukainya. Sebagai wanita biasa, aku suka dengannya. Perlakuannya sangat lembut dan manis. Banyak mahasiswi yang secara terang-teranganya menyukainya. Namun, dia tidak memedulikan semua. Dia malah sering seperti ini, langsung menghampiriku saat bertemu. Percakapan kami memang berlangsung singkat, tapi efeknya yang seperti diberi formalin. Tahan lama!

Secara fisik dia sangat tampan. Hidung mancung dan bola mata kecokelatannya bisa untuk memperbaiki keturunan. Tubuhnya yang tinggi bak model sangat pas dengan wajahnya. Tapi, aku juga cukup tahu diri. Siapa aku yang bisa ada di lingkungannya? Dia berada di jajaran borjuis yang nggak akan pusing mikirin UKT meski kuliahnya sampe semester empat belas sekali pun. Meski begitu, sesekali aku membayangkan bisa bersamanya. Aku tidak salah, kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status