Share

BAB 4 - Pria Idaman

Penulis: Alina Lin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-13 16:59:53

Nikah.

            Nikah.

            Nikah.

            Kata itu masih memenuhi otakkau sampai sekarang. Kira-kira orang yang berlalu lalang di depanku ini sudah memikirkan pernikahan belum, ya? Mereka tampak asyik bercanda, apalagi segerombolan mahasiswa baru yang percakapannya baru sebatas ‘Nanti main ke kos siapa?’.

Saat ini aku sedang duduk di taman kampus sambil menikmati sekotak susu. Hari mulai senja dan aku masih setia di sini. Dua sahabatku yang paling cantik jelita masih berada di kelas bersama adik tingkat. Mereka mengulang mata kuliah Riset Komunikasi Strategis di semester lima karena ketahuan menyontek waktu ujuan. Dua manusia itu memang sekali-kali perlu diberi efek seperti ini biar jera.

            Dari sekian orang yang melewatiku, ada satu pria yang langsung menuju ke arahku ketika kami bertatapan. Senyumannya yang selalu cerah bersatu dengan cahaya jingga senja.

            “Sendirian aja, nggak takut diculik?” ucap Kak Alex sambil duduk di sampingku.

            “Nggak ada penculik yang mau nyulik saya.”

            “Ah, masa? Deretan cowok yang kamu tolak juga bakal ambil langkah ekstrem kalau kadung keblinger cinta.”

            “Lebay.”

            Dia Alex Aditia Krisbiantoro, kakak tingkat dua tahun di atasku yang juga mantan ketua BEM Fakultas. Aku mengenalnya sejak tahun kemarin ketika dia mengulang mata kuliah dan sekelas denganku. Kami satu kelompok. Dia yang hobi demo sana-sini membuatku mau tidak mau me-back up tugasnya. Namun, dia tidak lepas tangan begitu saja. Dia akan mencetak dan menjilid tugas. Selain itu, perutku akan kenyang karena selalu dijajanin. Intinya aku tidak rugi. Kami imbang. Aku mengeluarkan pikiran, sedangkan dia mengeluarkan uang.

            “Menurut indra penciuman saya, bau-baunya ini habis nyusun strategi demo.”

            Kak Alex langsung terbawa terbahak. Jejeran gigi putih bersihnya bisa kulihat jeras. Walau pakaiannya urakan, tapi dia tidak pernah menyentuh rokok, apalagi alkohol. Bibirnya juga berwarna merah muda segar. Darah keturunan Jerman membuatnya semakin terlihat menawan. Satu lagi yang kusuka darinya, kumis tipisnya itu manis banget.

            Astagfirullah, istighfar Una. Kenapa jadi malah kesemsem sama Kak Alex! Tapi, dia memang ganteng banget. Pernah melihat Ari Wibowo versi muda? Itulah Kak Alex di mataku.

            “Kenapa, sih, hobi banget demo, Kak?”

            “Bukan hobi, itu bentuk penyampaian aspirasi. Sebelum demo juga sudah dicoba cara baik-baik, tapi nggak ada hasil. Biasalah para petinggi, naruninya sering ketinggalan di kamar mandi. Kalau nggak di demo sama mahasiswa, aspirasi rakyat nggak akan dianggap. Apalagi media suka sama yang rusuh-rusuh begini untuk dimuat ke berita.”

            “Tapi, demonya jangan anarkis, Kak.” Aku mengingatkan.

            “Mahasiswa yang bener-bener paham tujuan demo nggak akan bikin keributan dengan ngehancurin fasilitas umum, nyerang aparat, apalagi pake kekerasan. Yang kayak gitu tuh biasanya penyusup yang niatnya memang bikin ricuh aja. Lain kali ikut, deh, biar tahu sensasinya.”

            Pernah kubahas kenapa aku tidak bisa menyukai Mas Harun? Karena ini, perbandingannya adalah Kak Alex. Mas Harun memang baik, tapi nggak seterbuka Kak Alex. Pria di sampingku ini punya mindset yang membuatku sering terkagum-kagum kalau sudah berbincang serius dengannya.

            “Udah pernah dan nggak mau lagi,” kataku.

            “Kapan?”

            “Tahun lalu saya ikut demo tentang harga BBM naik, mata saya perih banget kena gas air mata. Kapok saya.”

            “Sama siapa demonya? Kok aku nggak tahu?” Kak Alex menyerongkan duduknya. Dia menatapku dengan penuh tanya sampai keningnya berkerut.

            “Sama Kakak juga, kok. Itu, lho, yang bareng-bareng mahasiswa se-Jabodetabek yang di Senayan. Masa nggak ingat?”

            “Serius kamu ikut itu?” Kak Alex tampak sangat tidak percaya dengan apa yang kuucapkan.

            “Kenapa? Nggak percaya, ya, kalau orang kayak saya ikut-ikutan demo?”

            “Bukan nggak percaya, cuma kok aku sampe nggak tahu. Harusnya aku tahu dan bisa jagain kamu.”

            “Dih, jagain apaan. Kak Alex, lho, sibuk orasi di depan barisan. Mau ngelindungin gimana?” ucapku mengejek. Kami biasa bercanda seperti ini.

            “Seenggaknya aku bisa lindungin kamu dari gas air mata, nganterin kamu pulang, dan mastiin nggak ada yang luka.”

            Kurasa di Indonesia nggak ada musim semi, tapi kenapa aku seperti melihat bunga sakura berguguran? Rasanya sejuk dan nyaman, seperti kalimat Kak Alex barusan. Apa dia nggak sadar kalau ucapannya itu berbahaya untuk para wanita? Apalagi wanita yang lemah iman sepertiku.

            “Tapi, nggak luka, kan? Atau sampe jatuh?” tanyanya lagi.

            Aku menggeleng.

            “Syukurlah. Ntar kalau mau ikut demo bilang sama aku dulu. Kamu itu salah satu mahasiswa yang perlu dikasih briefing lebih sebelum turun ke jalan. Nanti berdiri di barisan yang nggak jauh dariku, biar bisa kulihatin,” ujarnya sambil tersenyum. Aku pun tidak bisa menolak senyumannya. Dia ini memang … idaman. Kalau sudah begini bagaimana mungkin aku bisa menerima lamaran Mas Harun? Aku sudah menemukan sosok pendamping yang kumau. Nggak harus Kak Alex, tapi aku mau sifatnya. Aku mau pria dengan pemikiran yang membuatku jadi tahu banyak hal dan terbuka.

            “Lex, buru!” Terdengar suara yang meneriaki Kak Alex. Itu temannya.

            “Na, jangan ke mana-mana.”

            “Saya nggak boleh pulang?”

            “Maksudnya tetap di posisi yang bisa kulihat.”

            Aku langsung terdiam dan melongo begitu saja. Ucapannya sangat memungkinkan untuk membuatku salah paham.

“Makasih untuk obrolan sore yang bikin aku semakin semangat ….”

            “Semangat untuk apa?”

            “Semangat nyelesein kuliah dan semangat untuk mengenalmu.” Kak Alex berdiri dari duduknya kemudian melambaikan tangan ke arahku. Dia berjalan mundur sambil terus tersenyum. Bohong kalau aku tidak menyukainya. Sebagai wanita biasa, aku suka dengannya. Perlakuannya sangat lembut dan manis. Banyak mahasiswi yang secara terang-teranganya menyukainya. Namun, dia tidak memedulikan semua. Dia malah sering seperti ini, langsung menghampiriku saat bertemu. Percakapan kami memang berlangsung singkat, tapi efeknya yang seperti diberi formalin. Tahan lama!

Secara fisik dia sangat tampan. Hidung mancung dan bola mata kecokelatannya bisa untuk memperbaiki keturunan. Tubuhnya yang tinggi bak model sangat pas dengan wajahnya. Tapi, aku juga cukup tahu diri. Siapa aku yang bisa ada di lingkungannya? Dia berada di jajaran borjuis yang nggak akan pusing mikirin UKT meski kuliahnya sampe semester empat belas sekali pun. Meski begitu, sesekali aku membayangkan bisa bersamanya. Aku tidak salah, kan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 53 - Memulai Kisah Baru

    “Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 52 - Janji Berdua

    Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 51 - Kehilangan

    Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 50 - Berita Buruk

    Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 49 - Duel

    Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 48 - Pillow Talk

    Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status