Meski kukatakan tidak ingin menemui, tapi pada akhirnya aku di sini. Berdiri di depan gerbang rumah yang bertulis nama Abimayu di sudutnya.
“Cepat ke sini, saya akan ganti uang transporasi. Segera!” titah dari Pak Abi memintaku untuk langsung menuju ke perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku menekan bel yang ada di ujung pagar sebanyak dua kali sampai ada seorang wanita yang membukanya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan memintaku untuk mengikutinya.
Aku langsung mematung seketika saat kulihat ada seonggok manusia menghampiriku. Rasanya tidak sopan menyebut dosen dengan sapaan seonggok. Tapi, memang itu kenyataannya. Dengan jelas aku bisa melihat tubuhnya yang terlihat sangat kokoh dan … atletis. Astagfirullah! Ini nggak boleh Una. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
Pak Abi tidak telanjang dada, hanya kaus putihnya yang agak transparan itu membuat mataku leluasa melihat bayangan-bayangannya. Gejolak di dalam diriku malah sibuk menebak bagaimana bentuk seutuhnya yang ada di sana. Ah, sial!
Baru kali ini aku melihat Pak Abi dengan pakaian rumahan. Dia terlihat jauh lebih muda jika tidak memakai kemeja. Celana kolor di atas lutut dan kaus oblongnya benar-benar mengubah segalanya.
“Dia nggak mau keluar kamar,” ucap Pak Abi ketika kami sudah sampai di pintu kamar Aksa. Tujuanku dipaksa ke sini adalah untuk membujuk anak lima tahun ini keluar kamar.
“Kenapa dia nggak mau keluar kamar? Maksudnya … pasti ada alasan dia melakukan itu, Pak.”
“Dia meminta saya untuk menemuimu, tapi saya abaikan,” jawabnya tanpa melihatku.
Pak Abi menggaruk-garuk kepalanya yang seperti sedang kutuan. Dia terlihat sangat cemas dengan keadaan anaknya. Eh, aku tidak tahu itu anaknya sungguhan atau tidak.
“Saya sudah bujuk sejak tadi sore untuk keluar, tapi sama sekali nggak mau menjawab. Saya khawatir banget.” Sosok Pak Abi yang biasa terlihat tenang dan berwibawa sudah tidak ada. Hanya tersisa Pak Abi yang seperti tidak punya harapan hidup lagi.
Aku mengetuk kamar Aksa sebanyak tiga kali. “Halo Anak Baik, Tante Una di sini, nih.”
Cukup lama aku dan Pak Abi sama-sama diam untuk menunggu respons dari anak di balik pintu ini. Namun, suasana di dalam benar-benar terasa senyap tanpa suara.
“Seperti nggak ada orang ya, Pak?”
“Makanya saya khawatir banget. Kalau kamu tidak berhasil membujuk dengan cara lembut, cara terakhir yang bisa saya lakukan adalah mendobrak paksa pintu ini.”
Aku mencoba mengulangi langkah lagi. “Aksa, yakin nggak mau ketemu Tante? Kalau enggak Tante pulang aja, ya?”
Suasana menjadi sangat hening. Embusan napas saja ditahan oleh Pak Abi. Andai detak jantung dan kedipan mata bisa dikontrol sesuka hati, aku yakin Pak Abi akan melakukannya. Kalau begini aku juga ikut khawatir dan menduga yang tidak-tidak.
Perlahan tapi pasti, aku bisa mendengar ada suara kunci pintu yang bersentuhan dengan lubangnya, kemudian disusul dengan engsel yang bergerak. Pak Abi langsung bersandar ke dinding dan memejamkan matanya. Kelegaan tergambar jelas pada wajah pria itu.
Aksa langsung menangis saat bertatapan mata denganku. Dia menangis sangat kencang dan mengubah suasana hening di rumah ini menjadi riuh. Kutopang tubuhku dengan lutut. Aku memeluk dan berusaha menenangkannya semampuku. Aku tidak pernah punya adik atau pun berurusan dengan anak kecil. Aku sangat bodoh untuk urusan anak. Namun, sekarang seperti ada yang menggerankkan seluruh persendian tubuhku. Dengan mudahnya aku memeluk serta mengusap punggung dan kepala Aksa. Dia menangis sangat lama di pelukanku. Entah kenapa, aku juga ikut menangis. Diriku seperti ikut terlempar ke satu tahun lalu di saat tangisanku yang paling dahsyat keluar. Aku menangis sejadinya ketika Ayah dinyatakan tiada. Aku seperti tidak punya harapan hidup lagi. Sosok panutan yang selalu ingin kubanggakan sudah tidak mungkin kembali. Sekarang, di sinilah titikku berada, mengikuti ke mana pun angin berembus dan tak tahu tujuan akhir mana yang akan membawaku.
“Kenapa mau ketemu sama Tante?” Aku bertanya saat Aksa mulai tenang.
“Ikut.”
“Ikut ke mana?”
“Ikut sama Tante. Nggak mau di sini. Mau sama Mama aja.”
Aku langsung terdiam. Pak Abi yang sedari tadi diam juga ikut memandangku penuh tanya. Aku tidak tahu cara menjelaskannya. Yang jelas, ini semua sangat rumit. Aku tidak tahu kenapa anak ini terus menyebutkan kata ‘Mama’ di depanku. Aku juga tidak tahu kenapa dia ingin ikut denganku. Tapi, aku juga tidak bisa menolak. Tatapan matanya begitu polos dan jernih. Dia tidak sedang berbohong atau berakting.
Pak Abi ikut berjogkok dan menyejajarkan padangan dengan kami. Namun, Aksa menghindarinya. Dia malah semakin mendekat ke arahku dan kembali memelukku lagi. Kalau sudah begini aku harus bagaimana?
***
“Dia keponakan saya. Orang tuanya meninggal dan saya yang merawatnya sekarang,” kata Pak Abi.
Aksa sudah tidur sejak sekitar sepuluh menit yang lalu. Kini aku sedang duduk di ruang tengah bersama Pak Abi. Jam dinding di atas televisi menunjukkan kalau sekarang sudah pukul sembilan malam.
“Dia masih terlalu kecil untuk memahami arti meninggal. Baru sekitar tiga bulan dia di sini. Sebelumnya dia tinggal bersama orang tua saya di Bogor. Saya dan keluarga berharap dia bisa melupakan mamanya ketika mendapat suasana baru. Saya sengaja mendaftarkannya ke berbagai kegiatan agar dia sibuk. Namun, nggak ada yang berhasil. Dia malah semakin sering mengamuk dan membuat saya bingung.”
“Dia rindu sosok mama, Pak. Wajar, anak sekecil itu memang paling dekat dengan mamanya.”
“Iya. Dia memang lengket banget sama mamanya.”
“Bapak nikah aja. Barangkali istri Bapak nanti bisa menjadi mama baru untuk Aksa.”
Kumanfaatkan situasi ini untuk terang-terangan menyuruhnya menikah. Dengan begitu, Pak Abi bisa mempermudah skripsku, kan? Dia nggak akan jadi dosen menyebalkan yang kekurangan masalah lagi. Lubna Khairunnisa memang pintar! Aku perlu membanggakan ini ketika bertemu Sherin dan Wawa. Mereka sahabatku.
Pak Abi masih diam. Namun, diamnya ini bukan yang benar-benar diam. Dia malah menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Ini bukan sorotan kemarahan seperti saat bimbingan skripsi. Aku … sama sekali tidak bisa memahaminya.
“Dengan siapa?” tanyanya.
Kok malah ditanya dengan siapa. Ya, aku tidak tahu. “Dengan calon istri Bapak.”
“Siapa?”
“Siapa?” Aku mengulang pertanyaan Pak Abi karena tidak paham pembicaraan ini mau ke arah mana. “Saya nggak tahu Bapak mau nikah sama siapa,” gumamku pelan.
“Dia bukan anak yang mudah akrab dengan orang baru.”
“Kalau begitu dengan orang yang sudah dikenalnya,” jawabku.
Dia tidak menjawab. Bibirnya masih terkatup rapat. Matanya seperti menelisikku dari berbagai sisi. Aku seperti sedang diawasi. Mata Pak Abi ini membahayakan. “Lupakan! Ini sudah malam dan kamu harus segera pulang. Sudah tahu di mana pintu keluarnya, kan? Saya nggak perlu mengantarmu.” Pak Abi langsung berdiri dari duduknya. Dia meninggalaku sendiri di sini. Di ruang tamu yang ada televisi, AC, dan beberapa perabotan lain. Apa dia tidak takut aku mencuri sesuatu? Pak Abi nggak tahu saja kalau aku sedang sangat butuh uang. Ah, iya, uang bensinku belum diganti!
Nikah. Nikah. Nikah. Kata itu masih memenuhi otakkau sampai sekarang. Kira-kira orang yang berlalu lalang di depanku ini sudah memikirkan pernikahan belum, ya? Mereka tampak asyik bercanda, apalagi segerombolan mahasiswa baru yang percakapannya baru sebatas ‘Nanti main ke kos siapa?’. Saat ini aku sedang duduk di taman kampus sambil menikmati sekotak susu. Hari mulai senja dan aku masih setia di sini. Dua sahabatku yang paling cantik jelita masih berada di kelas bersama adik tingkat. Mereka mengulang mata kuliah Riset Komunikasi Strategis di semester lima karena ketahuan menyontek waktu ujuan. Dua manusia itu memang sekali-kali perlu diberi efek seperti ini biar jera. Dari sekian orang yang melewatiku, ada satu pria yang langsung menuju ke arahku ketika kami bertatapan. Senyumannya yang selalu cerah bersatu dengan cahaya jingga senja. “Sendirian aja, nggak takut diculik?” ucap Kak Alex sambil duduk di sampingku.
Aku baru saja pulang setelah nonton film bersama Sherin dan Wawa di bioskop. Bagi kaum jomlo, nonton bersama sahabat adalah momen yang lebih bahagia daripada kencan. Mau kencan sama siapa, kan, nggak punya pacar? Pukul sepuluh malam aku baru sampai di rumah. Bertepatan aku masuk, si manusia kalong alias Mbak Tasya baru keluar kamar. Kadang aku kesal dengan Ibu, apa pun yang dilakukan Mbak Tasya tidak akan diprotes olehnya. Ibu rela menjaga toko dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan sembari menabung membayar utang Mbak Tasya, sedangkan anaknya hanya leha-leha nggak jelas. Lalu, aku? Aku malah disuruh nikah. Mbak Tasya dulu bekerja di biro travel umroh dan haji. Bayangkan saja, cewek yang hobinya buka-bukaan kayak Mbak Tasya kerja di lingkungan yang mengharuskan memakai pakaian tertutup dan sopan. Dia nggak betah dan sering membuat kesalahan, akhirnya dipecat. Sejak tiga bulan lalu sampai sekarang dia belum kerja lagi. “Sesekali hidup kayak manusia normal, Mbak.
Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Selama ini aku menjadi Hamba yang baik. Kenapa Allah mengujiku bertubi-tubi? Katanya setiap masalah ada hikmahnya. Dari peristiwa ini, hikmah apa yang bisa kuambil? Hikmah kalau keluargaku adalah orang yang menjualku? Aku sudah melajukan motor sekuat yang kumampu. Aku tidak peduli dengan klakson yang mengingatkanku untuk tidak ugal-ugalan. Sudah tak terhitung berapa kali aku ngerem mendadak atau hampir serempetan dengan kendaraan lain. Aku benar-benar tak peduli dengan semuanya. Mungkin malam ini juga aku akan mati konyol di jalanan. Yang penting aku sudah memakai helem. Selebihnya biar takdir yang bekerja. Ayah, katamu aku harus menurut ke Ibu. Tapi, apakah perintahnya ini patut kuturuti? Apa Ayah nggak marah kalau aku dipaksa menikah demi utang? Siapa manusia di bumi ini yang benar-benar menyayangiku seperti Ayah? Pandanganku semakin kabur karena tertutup lapisan bening yang sama sekali tidak mau berhen
Aku meringis ketika cairan infus membersihkan lukaku. Perihnya langsung membuatku tersadar kalau aku baru saja membuat repot Pak Abi. Aku tidak tahu kecelakaan tadi di mana dan kenapa Pak Abi bisa mengenaliku yang mengenakan helem. Selama perawat melakukan tugasnya, otakku malah berpikir bahwa aku baru saja menumpuk utang. Uang lagi, uang lagi! Pak Abi masuk ketika perawat sudah selesai. “Kamu hapal nomor orang tuamu?” Aku menggeleng. Bukan karena tidak hapal, tapi aku tidak mau berhubungan dengan Ibu dulu. “Setelah ini saya langsung antar kamu pulang.” Aku menggeleng lagi. “Saya berantem sama Ibu saya.” “Kalau gitu kamu harus minta maaf. Gara-gara kamu berantem dengan ibumu, kamu kecelakaan, motor rusak, dan badanmu luka.” Ingin sekali kuplester mulut Pak Abi. Dia berbicara asal yang membuatku kembali terpancing emosi. Aku mengatur napas sejenak, kemudian mendongak ke Pak Abi yang berdiri di dep
Jalanan Kota Jakarta masih saja ramai di jam yang sudah dini hari. Aku menatap ingar bingat jalanan itu dari balik jendela mobil. Kendaraan yang berlalu lalang, gedung yang gemerlap, dan orang-orang dengan kesibukannya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan di jam selarut ini. Apa mereka sama sepertiku? Apa kami sama-sama menjadi makhluk bumi yang sedang merasakan sakitnya pengkhianatan? Aku merebahkan kepala di sandaran mobil. Kucari posisi ternyaman dengan tatapan yang tak teralih dengan pemandangan di luar. Otak, hati, dan fisikku semuanya kelelahan. Badanku seperti baru saja digebuki warga saking pegalnya. Hatiku lelah karena baru mendapakan serangan dadakan. Otakku rasanya seperti baru diforsir berpikir selama 24 jam untuk mengerjakan ujian tanpa jeda. Mataku yang sedari tadi menangis juga sudah sembab dan terasa sangat berat. Suasana mobil yang tenang membuatku seperti dininabobokkan. Aku memejamkan mata sejenak selama perjalanan. Rasa lelah ini sudah tidak bis
Aku tak peduli dengan pernikahan. Aku tak peduli dengan Pak Abi. Aku tak peduli setelah ini bagaimana. Yang jelas, aku suka dipeluk begini. Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun, kenapa pelukannya seperti begitu pas untukku? Apa tubuhku dan tubuhnya dirancang seperti lego yang saling mengikat? Aku baru saja memberikan anggukan untuk permintaan mama Pak Abi. Aku tahu ini salah. Ini nggak benar. Ini bahkan lebih menjijikan dari pernikahan dengan Mas Harun yang demi uang. Aku juga paham ini akan menimbulkan banyak kejutan ke depannya. Namun, tidak salah kalau aku begitu mendamba pelukan ini, kan? Sekarang aku bisa lupa dengan tamparan Ibu dan Mbak Tasya. Aku bahkan tidak merasakan sakitanya kulitku yang baru tergores aspal tadi. Ini … ini sangat nyaman. Air mataku luruh begitu saja. Ini bukan air mata kebagiaan setelah lamaran absurd tadi. Ini air mata karena aku sangat begitu rindu. Aku tidak pernah dipeluk Ibu. Kalau ada yang mau men
"Saya nggak tahu ini dosa atau enggak. Saya nggak tahu pernikahan ini benar atau enggak. Saya nggak peduli. Untuk sekarang, saya hanya perlu rumah. Rumah yang sungguhan definisi rumah. Malam itu saya bener-bener memilih untuk mati saja. Andai Bapak nggak membantu saya, pasti saya memilih untuk dipenjara. Uluran tangan mama Pak Abi membuat saya silau. Saya mau itu. Terserah setelah ini mau bagaimana. Yang jelas, izinkan saya sebentar saja bisa mengerti arti keluarga. Agar saya bisa mengingatnya dan dengan begitu bisa perlahan pergi," ucapaku. Ini pertama kalinya kami mendapatkan momen berdua. Aku dan Pak Abi baru dari KUA untuk mendaftarkan pernikahan yang akan dilangsungkan di kediaman orang tuanya, yaitu Bogor. "Kamu nggak akan suka dengan apa itu keluarga. Saya malah ingin hidup sendiri tanpa ada yang peduli sepertimu.” Tatapan matanya masih awas di kemudi mobil. "Tapi, kalau itu maumu. Baiklah. Supaya saya memiliki teman menderita tentang busuknya keluarga." Aku terdiam begitu saj
“Hamil duluan, ya?” Satu pertanyaan itu membuatku sadar kalau aku masih mengenakan kebaya berwarna putih. Aku masih di sini. Di tempat di mana aku baru melakukan sesuatu yang sakral dan mengikat. Suara itu terdengar dari seseorang yang tak kukenal. Entah itu pegawai KUA atau salah satu keluarga Pak Abi. “Enggak,” jawabku jujur. “Kok nikahnya buru-buru dan diam-diam?” Sebenarnya aku malas sekali menanggapi pertanyaan itu yang terus berulang. Rasanya lelah saja. Apa perlu aku membawa berkas bukti dari dokter yang menunjukkan selaput daraku masih utuh? Mulutku ini lagi kaku dan tidak selera berbicara panjang lebar. Kenapa, ya, orang-orang itu senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan ada yang merangkul. Ketika kumendongak ke kanan, ternyata Pak Abi. “Nggak usah cari bahan gosip,” selorohnya kepada wanita paruh baya itu. Kemudian dia menuntuntku untuk keluar KUA. Dia hanya berjalan dan