Share

BAB 3 - Berkunjung ke Rumah Dosen

Meski kukatakan tidak ingin menemui, tapi pada akhirnya aku di sini. Berdiri di depan gerbang rumah yang bertulis nama Abimayu di sudutnya.

“Cepat ke sini, saya akan ganti uang transporasi. Segera!” titah dari Pak Abi memintaku untuk langsung menuju ke perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku menekan bel yang ada di ujung pagar sebanyak dua kali sampai ada seorang wanita yang membukanya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan memintaku untuk mengikutinya.

Aku langsung mematung seketika saat kulihat ada seonggok manusia menghampiriku. Rasanya tidak sopan menyebut dosen dengan sapaan seonggok. Tapi, memang itu kenyataannya. Dengan jelas aku bisa melihat tubuhnya yang terlihat sangat kokoh dan … atletis. Astagfirullah! Ini nggak boleh Una. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke arah lain.

Pak Abi tidak telanjang dada, hanya kaus putihnya yang agak transparan itu membuat mataku leluasa melihat bayangan-bayangannya. Gejolak di dalam diriku malah sibuk menebak bagaimana bentuk seutuhnya yang ada di sana. Ah, sial!

Baru kali ini aku melihat Pak Abi dengan pakaian rumahan. Dia terlihat jauh lebih muda jika tidak memakai kemeja. Celana kolor di atas lutut dan kaus oblongnya benar-benar mengubah segalanya.

“Dia nggak mau keluar kamar,” ucap Pak Abi ketika kami sudah sampai di pintu kamar Aksa. Tujuanku dipaksa ke sini adalah untuk membujuk anak lima tahun ini keluar kamar.

“Kenapa dia nggak mau keluar kamar? Maksudnya … pasti ada alasan dia melakukan itu, Pak.”

“Dia meminta saya untuk menemuimu, tapi saya abaikan,” jawabnya tanpa melihatku.

Pak Abi menggaruk-garuk kepalanya yang seperti sedang kutuan. Dia terlihat sangat cemas dengan keadaan anaknya. Eh, aku tidak tahu itu anaknya sungguhan atau tidak.

“Saya sudah bujuk sejak tadi sore untuk keluar, tapi sama sekali nggak mau menjawab. Saya khawatir banget.” Sosok Pak Abi yang biasa terlihat tenang dan berwibawa sudah tidak ada. Hanya tersisa Pak Abi yang seperti tidak punya harapan hidup lagi.

Aku mengetuk kamar Aksa sebanyak tiga kali.  “Halo Anak Baik, Tante Una di sini, nih.”

Cukup lama aku dan Pak Abi sama-sama diam untuk menunggu respons dari anak di balik pintu ini. Namun, suasana di dalam benar-benar terasa senyap tanpa suara.

“Seperti nggak ada orang ya, Pak?”

“Makanya saya khawatir banget. Kalau kamu tidak berhasil membujuk dengan cara lembut, cara terakhir yang bisa saya lakukan adalah mendobrak paksa pintu ini.”

Aku mencoba mengulangi langkah lagi. “Aksa, yakin nggak mau ketemu Tante? Kalau enggak Tante pulang aja, ya?”

Suasana menjadi sangat hening. Embusan napas saja ditahan oleh Pak Abi. Andai detak jantung dan kedipan mata bisa dikontrol sesuka hati, aku yakin Pak Abi akan melakukannya. Kalau begini aku juga ikut khawatir dan menduga yang tidak-tidak.

Perlahan tapi pasti, aku bisa mendengar ada suara kunci pintu yang bersentuhan dengan lubangnya, kemudian disusul dengan engsel yang bergerak. Pak Abi langsung bersandar ke dinding dan memejamkan matanya. Kelegaan tergambar jelas pada wajah pria itu.

Aksa langsung menangis saat bertatapan mata denganku. Dia menangis sangat kencang dan mengubah suasana hening di rumah ini menjadi riuh. Kutopang tubuhku dengan lutut. Aku memeluk dan berusaha menenangkannya semampuku. Aku tidak pernah punya adik atau pun berurusan dengan anak kecil. Aku sangat bodoh untuk urusan anak. Namun, sekarang seperti ada yang menggerankkan seluruh persendian tubuhku. Dengan mudahnya aku memeluk serta mengusap punggung dan kepala Aksa. Dia menangis sangat lama di pelukanku. Entah kenapa, aku juga ikut menangis. Diriku seperti ikut terlempar ke satu tahun lalu di saat tangisanku yang paling dahsyat keluar. Aku menangis sejadinya ketika Ayah dinyatakan tiada. Aku seperti tidak punya harapan hidup lagi. Sosok panutan yang selalu ingin kubanggakan sudah tidak mungkin kembali. Sekarang, di sinilah titikku berada, mengikuti ke mana pun angin berembus dan tak tahu tujuan akhir mana yang akan membawaku.

“Kenapa mau ketemu sama Tante?” Aku bertanya saat Aksa mulai tenang.

“Ikut.”

“Ikut ke mana?”

“Ikut sama Tante. Nggak mau di sini. Mau sama Mama aja.”

Aku langsung terdiam. Pak Abi yang sedari tadi diam juga ikut memandangku penuh tanya. Aku tidak tahu cara menjelaskannya. Yang jelas, ini semua sangat rumit. Aku tidak tahu kenapa anak ini terus menyebutkan kata ‘Mama’ di depanku. Aku juga tidak tahu kenapa dia ingin ikut denganku. Tapi, aku juga tidak bisa menolak. Tatapan matanya begitu polos dan jernih. Dia tidak sedang berbohong atau berakting.

Pak Abi ikut berjogkok dan menyejajarkan padangan dengan kami. Namun, Aksa menghindarinya. Dia malah semakin mendekat ke arahku dan kembali memelukku lagi. Kalau sudah begini aku harus bagaimana?

***

“Dia keponakan saya. Orang tuanya meninggal dan saya yang merawatnya sekarang,” kata Pak Abi.

Aksa sudah tidur sejak sekitar sepuluh menit yang lalu. Kini aku sedang duduk di ruang tengah bersama Pak Abi. Jam dinding di atas televisi menunjukkan kalau sekarang sudah pukul sembilan malam.

“Dia masih terlalu kecil untuk memahami arti meninggal. Baru sekitar tiga bulan dia di sini. Sebelumnya dia tinggal bersama orang tua saya di Bogor. Saya dan keluarga berharap dia bisa melupakan mamanya ketika mendapat suasana baru. Saya sengaja mendaftarkannya ke berbagai kegiatan agar dia sibuk. Namun, nggak ada yang berhasil. Dia malah semakin sering mengamuk dan membuat saya bingung.”

“Dia rindu sosok mama, Pak. Wajar,  anak sekecil itu memang paling dekat dengan mamanya.”

“Iya. Dia memang lengket banget sama mamanya.”

“Bapak nikah aja. Barangkali istri Bapak nanti bisa menjadi mama baru untuk Aksa.”

Kumanfaatkan situasi ini untuk terang-terangan menyuruhnya menikah. Dengan begitu, Pak Abi bisa mempermudah skripsku, kan? Dia nggak akan jadi dosen menyebalkan yang kekurangan masalah lagi. Lubna Khairunnisa memang pintar! Aku perlu membanggakan ini ketika bertemu Sherin dan Wawa. Mereka sahabatku.

Pak Abi masih diam. Namun, diamnya ini bukan yang benar-benar diam. Dia malah menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Ini bukan sorotan kemarahan seperti saat bimbingan skripsi. Aku … sama sekali tidak bisa memahaminya.

“Dengan siapa?” tanyanya.

Kok malah ditanya dengan siapa. Ya, aku tidak tahu. “Dengan calon istri Bapak.”

“Siapa?”

“Siapa?” Aku mengulang pertanyaan Pak Abi karena tidak paham pembicaraan ini mau ke arah mana. “Saya nggak tahu Bapak mau nikah sama siapa,” gumamku pelan.

“Dia bukan anak yang mudah akrab dengan orang baru.”

“Kalau begitu dengan orang yang sudah dikenalnya,” jawabku.

Dia tidak menjawab. Bibirnya masih terkatup rapat. Matanya seperti menelisikku dari berbagai sisi. Aku seperti sedang diawasi. Mata Pak Abi ini membahayakan. “Lupakan! Ini sudah malam dan kamu harus segera pulang. Sudah tahu di mana pintu keluarnya, kan? Saya nggak perlu mengantarmu.” Pak Abi langsung berdiri dari duduknya. Dia meninggalaku sendiri di sini. Di ruang tamu yang ada televisi, AC, dan beberapa perabotan lain. Apa dia tidak takut aku mencuri sesuatu? Pak Abi nggak tahu saja kalau aku sedang sangat butuh uang. Ah, iya, uang bensinku belum diganti!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status