Home / Romansa / Mendadak Jadi Istri Dosen / BAB 3 - Berkunjung ke Rumah Dosen

Share

BAB 3 - Berkunjung ke Rumah Dosen

Author: Alina Lin
last update Last Updated: 2022-05-13 16:59:28

Meski kukatakan tidak ingin menemui, tapi pada akhirnya aku di sini. Berdiri di depan gerbang rumah yang bertulis nama Abimayu di sudutnya.

“Cepat ke sini, saya akan ganti uang transporasi. Segera!” titah dari Pak Abi memintaku untuk langsung menuju ke perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku menekan bel yang ada di ujung pagar sebanyak dua kali sampai ada seorang wanita yang membukanya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan memintaku untuk mengikutinya.

Aku langsung mematung seketika saat kulihat ada seonggok manusia menghampiriku. Rasanya tidak sopan menyebut dosen dengan sapaan seonggok. Tapi, memang itu kenyataannya. Dengan jelas aku bisa melihat tubuhnya yang terlihat sangat kokoh dan … atletis. Astagfirullah! Ini nggak boleh Una. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke arah lain.

Pak Abi tidak telanjang dada, hanya kaus putihnya yang agak transparan itu membuat mataku leluasa melihat bayangan-bayangannya. Gejolak di dalam diriku malah sibuk menebak bagaimana bentuk seutuhnya yang ada di sana. Ah, sial!

Baru kali ini aku melihat Pak Abi dengan pakaian rumahan. Dia terlihat jauh lebih muda jika tidak memakai kemeja. Celana kolor di atas lutut dan kaus oblongnya benar-benar mengubah segalanya.

“Dia nggak mau keluar kamar,” ucap Pak Abi ketika kami sudah sampai di pintu kamar Aksa. Tujuanku dipaksa ke sini adalah untuk membujuk anak lima tahun ini keluar kamar.

“Kenapa dia nggak mau keluar kamar? Maksudnya … pasti ada alasan dia melakukan itu, Pak.”

“Dia meminta saya untuk menemuimu, tapi saya abaikan,” jawabnya tanpa melihatku.

Pak Abi menggaruk-garuk kepalanya yang seperti sedang kutuan. Dia terlihat sangat cemas dengan keadaan anaknya. Eh, aku tidak tahu itu anaknya sungguhan atau tidak.

“Saya sudah bujuk sejak tadi sore untuk keluar, tapi sama sekali nggak mau menjawab. Saya khawatir banget.” Sosok Pak Abi yang biasa terlihat tenang dan berwibawa sudah tidak ada. Hanya tersisa Pak Abi yang seperti tidak punya harapan hidup lagi.

Aku mengetuk kamar Aksa sebanyak tiga kali.  “Halo Anak Baik, Tante Una di sini, nih.”

Cukup lama aku dan Pak Abi sama-sama diam untuk menunggu respons dari anak di balik pintu ini. Namun, suasana di dalam benar-benar terasa senyap tanpa suara.

“Seperti nggak ada orang ya, Pak?”

“Makanya saya khawatir banget. Kalau kamu tidak berhasil membujuk dengan cara lembut, cara terakhir yang bisa saya lakukan adalah mendobrak paksa pintu ini.”

Aku mencoba mengulangi langkah lagi. “Aksa, yakin nggak mau ketemu Tante? Kalau enggak Tante pulang aja, ya?”

Suasana menjadi sangat hening. Embusan napas saja ditahan oleh Pak Abi. Andai detak jantung dan kedipan mata bisa dikontrol sesuka hati, aku yakin Pak Abi akan melakukannya. Kalau begini aku juga ikut khawatir dan menduga yang tidak-tidak.

Perlahan tapi pasti, aku bisa mendengar ada suara kunci pintu yang bersentuhan dengan lubangnya, kemudian disusul dengan engsel yang bergerak. Pak Abi langsung bersandar ke dinding dan memejamkan matanya. Kelegaan tergambar jelas pada wajah pria itu.

Aksa langsung menangis saat bertatapan mata denganku. Dia menangis sangat kencang dan mengubah suasana hening di rumah ini menjadi riuh. Kutopang tubuhku dengan lutut. Aku memeluk dan berusaha menenangkannya semampuku. Aku tidak pernah punya adik atau pun berurusan dengan anak kecil. Aku sangat bodoh untuk urusan anak. Namun, sekarang seperti ada yang menggerankkan seluruh persendian tubuhku. Dengan mudahnya aku memeluk serta mengusap punggung dan kepala Aksa. Dia menangis sangat lama di pelukanku. Entah kenapa, aku juga ikut menangis. Diriku seperti ikut terlempar ke satu tahun lalu di saat tangisanku yang paling dahsyat keluar. Aku menangis sejadinya ketika Ayah dinyatakan tiada. Aku seperti tidak punya harapan hidup lagi. Sosok panutan yang selalu ingin kubanggakan sudah tidak mungkin kembali. Sekarang, di sinilah titikku berada, mengikuti ke mana pun angin berembus dan tak tahu tujuan akhir mana yang akan membawaku.

“Kenapa mau ketemu sama Tante?” Aku bertanya saat Aksa mulai tenang.

“Ikut.”

“Ikut ke mana?”

“Ikut sama Tante. Nggak mau di sini. Mau sama Mama aja.”

Aku langsung terdiam. Pak Abi yang sedari tadi diam juga ikut memandangku penuh tanya. Aku tidak tahu cara menjelaskannya. Yang jelas, ini semua sangat rumit. Aku tidak tahu kenapa anak ini terus menyebutkan kata ‘Mama’ di depanku. Aku juga tidak tahu kenapa dia ingin ikut denganku. Tapi, aku juga tidak bisa menolak. Tatapan matanya begitu polos dan jernih. Dia tidak sedang berbohong atau berakting.

Pak Abi ikut berjogkok dan menyejajarkan padangan dengan kami. Namun, Aksa menghindarinya. Dia malah semakin mendekat ke arahku dan kembali memelukku lagi. Kalau sudah begini aku harus bagaimana?

***

“Dia keponakan saya. Orang tuanya meninggal dan saya yang merawatnya sekarang,” kata Pak Abi.

Aksa sudah tidur sejak sekitar sepuluh menit yang lalu. Kini aku sedang duduk di ruang tengah bersama Pak Abi. Jam dinding di atas televisi menunjukkan kalau sekarang sudah pukul sembilan malam.

“Dia masih terlalu kecil untuk memahami arti meninggal. Baru sekitar tiga bulan dia di sini. Sebelumnya dia tinggal bersama orang tua saya di Bogor. Saya dan keluarga berharap dia bisa melupakan mamanya ketika mendapat suasana baru. Saya sengaja mendaftarkannya ke berbagai kegiatan agar dia sibuk. Namun, nggak ada yang berhasil. Dia malah semakin sering mengamuk dan membuat saya bingung.”

“Dia rindu sosok mama, Pak. Wajar,  anak sekecil itu memang paling dekat dengan mamanya.”

“Iya. Dia memang lengket banget sama mamanya.”

“Bapak nikah aja. Barangkali istri Bapak nanti bisa menjadi mama baru untuk Aksa.”

Kumanfaatkan situasi ini untuk terang-terangan menyuruhnya menikah. Dengan begitu, Pak Abi bisa mempermudah skripsku, kan? Dia nggak akan jadi dosen menyebalkan yang kekurangan masalah lagi. Lubna Khairunnisa memang pintar! Aku perlu membanggakan ini ketika bertemu Sherin dan Wawa. Mereka sahabatku.

Pak Abi masih diam. Namun, diamnya ini bukan yang benar-benar diam. Dia malah menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Ini bukan sorotan kemarahan seperti saat bimbingan skripsi. Aku … sama sekali tidak bisa memahaminya.

“Dengan siapa?” tanyanya.

Kok malah ditanya dengan siapa. Ya, aku tidak tahu. “Dengan calon istri Bapak.”

“Siapa?”

“Siapa?” Aku mengulang pertanyaan Pak Abi karena tidak paham pembicaraan ini mau ke arah mana. “Saya nggak tahu Bapak mau nikah sama siapa,” gumamku pelan.

“Dia bukan anak yang mudah akrab dengan orang baru.”

“Kalau begitu dengan orang yang sudah dikenalnya,” jawabku.

Dia tidak menjawab. Bibirnya masih terkatup rapat. Matanya seperti menelisikku dari berbagai sisi. Aku seperti sedang diawasi. Mata Pak Abi ini membahayakan. “Lupakan! Ini sudah malam dan kamu harus segera pulang. Sudah tahu di mana pintu keluarnya, kan? Saya nggak perlu mengantarmu.” Pak Abi langsung berdiri dari duduknya. Dia meninggalaku sendiri di sini. Di ruang tamu yang ada televisi, AC, dan beberapa perabotan lain. Apa dia tidak takut aku mencuri sesuatu? Pak Abi nggak tahu saja kalau aku sedang sangat butuh uang. Ah, iya, uang bensinku belum diganti!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 53 - Memulai Kisah Baru

    “Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 52 - Janji Berdua

    Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 51 - Kehilangan

    Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 50 - Berita Buruk

    Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 49 - Duel

    Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka

  • Mendadak Jadi Istri Dosen   BAB 48 - Pillow Talk

    Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status