Share

BAB 5 - Hanya Diri Sendiri

Aku baru saja pulang setelah nonton film bersama Sherin dan Wawa di bioskop. Bagi kaum jomlo, nonton bersama sahabat adalah momen yang lebih bahagia daripada kencan. Mau kencan sama siapa, kan, nggak punya pacar?

Pukul sepuluh malam aku baru sampai di rumah. Bertepatan aku masuk, si manusia kalong alias Mbak Tasya baru keluar kamar. Kadang aku kesal dengan Ibu, apa pun yang dilakukan Mbak Tasya tidak akan diprotes olehnya. Ibu rela menjaga toko dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan sembari menabung membayar utang Mbak Tasya, sedangkan anaknya hanya leha-leha nggak jelas. Lalu, aku? Aku malah disuruh nikah.

Mbak Tasya dulu bekerja di biro travel umroh dan haji. Bayangkan saja, cewek yang hobinya buka-bukaan kayak Mbak Tasya kerja di lingkungan yang mengharuskan memakai pakaian tertutup dan sopan. Dia nggak betah dan sering membuat kesalahan, akhirnya dipecat. Sejak tiga bulan lalu sampai sekarang dia belum kerja lagi.

            “Sesekali hidup kayak manusia normal, Mbak. Ntar nggak bisa bedain siang dan malam,” ucapku menyindir sambil melewati Mbak Tasya.

            “Berisik!”

            “Una,” panggul Ibu sambil menghampiriku. Aku melihat di kening sisi kanan dan kirinya sudah ada koyo. Badan Ibu berbau minyak kayu putih. Ini pertanda kalau Ibu sedang masuk angin. “Akhir minggu ini kosongin waktu, keluarga Harun mau silaturahmi ke sini.”

            Aku langsung menangkap arah pembicaraan ini.

            “Aku nggak mau nikah, Bu,” selaku.

            “Dengarkan dulu. Ibu tau keinginanmu. Ibu tahu kamu pengin jadi dosen, kan? Pengin dapat beasiswa kuliah ke luar negeri? Tapi kita nggak punya uang untuk bayar semestermu. Jangankan untuk itu, buat mutar uang di toko aja kayaknya sulit banget, Na. Ibu sudah bilang semua itu ke Harun waktu pertama datang ke rumah dan mau melamarmu. Dia menyetujui. Dia nggak ngelarang. Dia janji akan mendukungmu seratus persen.”

            “Ibu kayak nggak kenal keluarga Mas Harun. Mbak Ifah yang dulunya sudah S2, setelah nikah sama Mas Hakim, kakaknya Mas Harun, sekarang cuma boleh di rumah aja. Bukan tentang keluarganya aja. Ada banyak hal yang aku nggak bisa sepaham sama Mas Harun, Bu. Aku janji untuk biaya kuliah Ibu nggak usah mikir. Aku bisa usahain itu. Entah part time atau pinjam uang ke temenku, yang jelas aku nggak mau nikah dalam waktu dekat.”

            Ibu memijat keningnya sambil mengembuskan napas berat “Una … sekali ini turutin Ibu. Ibu nggak tahu umur Ibu sampai kapan. Kalau Ibu meninggal, seenggaknya Ibu sudah memastikan kamu bersama pria baik.”

            “Aku bisa cari pria baik itu sendiri, Bu. Aku bisa menemukannya, tapi nggak sekarang,” ucapku tegas. Keputusanku sudah bulat, aku nggak mau nikah. Aku harus lulus kuliah dulu.

             “Ibu punya utang sama rentenir untuk bayar pinjaman Tasya. Pihak pinjaman online terus neror Ibu setiap jam, terpaksa Ibu pinjam ke Bu Subagyo untuk menutupi itu.”

            “Ibu minjam ke sana?” Tanpa sadar aku berteriak karena kaget bukan main. Bu Subagyo ini rentenir di daerah sini yang dikenal kejam dan jahat. Bunga yang dikasih nggak main-main. Kalau sudah nagih, anak buahnya bakal lebih kejam dari algojo.

            “Kalau itu nggak dilunasin secepatnya, bunganya bakal makin gede,” ucap Ibu. Dia menatapku penuh harap. “Kamu harus nikah sama Harun.” Pancaran matanya begitu memohon kepadaku.

            Apa hubungannya menikah dengan Mas Harun dan utang di Bu Subagyo? Jangan bilang … Ibu sengaja memaksaku karena membutuhkan uang lamaran untuk melunasi utangnya?

            Aku menjauh dan menatapnya tak percaya. Aku takut dugaanku ini benar.

            “Dia kaya, anak pemilik pesantren, anak juragan tanah. Kita bakal hidup enak lagi, nggak perlu utang. Wajah cantikmu jangan dianggurin, harusnya dipake buat narik cowok ganteng dan kaya raya. Yang pinter gitu, lho.” Mbak Tasya ikut bersuara.

            Aku tersenyum getir sesaat. Rasanya ada sembilu yang menyayat hatiku. Sakit sekali. Aku belum pernah merasakan sesakit ini. Meninggalnya Ayah saja sudah membuatku ingin mengakhiri hidup. Namun, ini lebih dahsyat dari itu. Aku tidak hanya ingin menghilang dari bumi, aku juga ingin tidak dikenal oleh siapa pun di sini.

            Dengan tubuh yang mulai bergetar karena menahan tangis, aku berupaya mengutarakan kalimat menyakitkan yang harus segera kuluruskan. “Terus, kalian  paksa aku nikah sama Mas Harun demi uang?”

            “Iya.” Mbak Tasya menjawab. “Keluarganya Harun janjiin tanah di ujung gang sama bakal besarin toko.”

            Sungguh, lidahku benar-benar hampir mati rasa.

“Kalian hebat banget. Pura-pura membuatnya seolah peduli sama aku. Membahas tentang kuliah, masa depan, dan lain sebagainya. Eh, ujung-ujungnya demi alasan lain. Kalau begini, apa bedanya aku sama pelacur? Aku sama-sama dijual demi uang. Bedanya ini dengan pernikahan. Gitu, kan?”

            “Jaga mulutmu, Una!” Ibu memperingatkan. Dia memang tidak suka dengan kata ‘pelacur’ karena anak kandungnya sering dikatai seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Mbak Tasya.

            “Kenapa? Kenapa harus aku yang berkorban? Ini semua ulah Mbak Tasya. Suruh aja dia yang nikah sama Mas Harun supaya dapat warisanuang yang banyak. Oh, iya, Mas Harun dari keluarga yang islami banget. Mereka nggak akan mau punya menantu yang kelakuannya murahan. Suruh aja Mbak Tasya jual diri, Bu, biar cepet dapat uang banyak! Simpanan Om-om juga bisa. Nggak perlu pintar, nggak perlu cantik, yang penting atraktif di ranjang, kan?”

            Ada sesuatu yang menghantam pipiku. Rasanya cukup menyakitkan. Ah, ini lebih dari cukup. Ini sangat menyakitkan. Aliran energinya bisa sampai ke ulu hati. Aku sempat tak bisa berkata apa-apa ketika berani mengakui kalau Ibu baru menamparku. Ini sangat memalukan, apalagi dilihat oleh wanita murahan yang menjadi biang masalah.

            Aku lap air mata di pipiku. Aku sendiri di sini. Hanya aku yang bisa mempertahankan diriku sendiri. Nggak ada Bunda, nggak ada Ayah. Ibu yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku malah memperlakukanku sangat tidak adil.

            “Aku tahu, aku bukan anak kandung Ibu. Tapi, selama ini aku sudah anggap Ibu sama seperti Bunda. Ayah selalu berpesan untuk jangan membahas Bunda di depan Ibu. Aku hormat dan menurut dengan Ibu. Aku menyayangi Ibu dengan tulus. Sering aku sakit hati saat perlakuan Ibu beda antara aku dan Mbak Tasya, tapi aku diam. Aku sama sekali nggak masalah. Tapi, kali ini keterlaluan!

“Selama dua belas tahun aku kurang apa, Bu? Aku selalu ngalah kok sama Mbak Tasya. Aku dengerin Ibu. Aku jadi anak penurut. Aku jadi siswa berprestasi terus di sekolah. Aku kuliah juga sekarang sudah nyusun skripsi. Tapi, aku sama sekali nggak mau dipaksa untuk menikah. Aku nggak mau sisa hidupku menderita. Aku cuma punya diriku sendiri dan aku nggak akan menjualnya. Aku nggak akan mengalah apalagi berkorban untuk wanita beban keluarga seperti dia!” Aku menunjuk wajah Mbak Tasya dengan jari terlunjuk.

“Eh, jaga mulutmu!” Mbak Tasya yang tak terima juga ikut menamparku. Sungguh, harga diriku benar-benar hancur di depan dua manusia ini.

“Aku bodoh banget. Harusnya aku sadar sejak satu tahun lalu. Meninggalnya Ayah itu sama dengan aku sudah sebatang kara!”

Apa itu keluarga?

Hanyalah hubungan formalitas yang pada akhirnya menuntut keuntungan satu sama lain.

Bullshit!

Aku nggak butuh mereka. Aku bisa hidup sendiri tanpa keluarga!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status