Pintu ruang aula terbuka. Kalula merasa gugup karena banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berjalan masuk menuju pada keluarganya, di depan sudah ada papa, mama dan juga kedua calon mempelai.
Mereka semua tengah meatap Kalula dengan tatapan tidak suka, terutama Kiara. 'Wah.. dia cantik sekali! Bagaimana bisa pria itu menyia-nyiakan gadis secantik dia dan lebih memilih saudara tirinya itu.' 'Iya ya anda benar sekali. Sangat rugi menyiakan gadis seperti dia.' 'Wow... Bagaimana bisa ada gadis secantik ini?! Bahkan dia terlihat begitu anggun daripada calon mempelai wanitanya.' Terdengar banyak pujian pada Kalula. Tetapi, tidak sedikit juga yang menatapnya tidak suka dan membicarakan hal buruk tentangnya. 'Bukankah itu mantan dari mempelai pria?' 'Iya, anda benar. Pasti dia sengaja ingin mengacaukan pernikahan saudara nya.' Sepanjang dia berjalan menuju depan, telinganya terus mendengar bisikan-bisikan yang di lontarkan oleh beberapa tamu ketika melihat Kalula saat ini. Namun, gadis itu memilih untuk diam saja dan mengabaikannya. Dari arah depan, Kiara berjalan menghampiri Kalula, “Ha ha ha... Gue pikir lo gak bakalan dateng ke pernikahan gue, ternyata nyali lo cukup berani juga, ya.” Seru Kiara. “Kenapa aku harus tidak datang? Ini kan pernikahan saudara ku‒ tentu saja aku harus datang.” Ucap Kalula dengan santai. Gadis itu berusaha untuk tidak terlihat lemah di hadapan keluarganya dan mantan kekasihnya. “Selamat, ya. Semoga pernikahan kalian bisa langgeng, dan jagain suami kamu biar gak suka ganggu kehidupan aku lagi.” Ucap Kalula lagi seraya melirik ke arah Mario yang juga tengah menatapnya. “Ha ha ha... Mana mungkin Mario kaya gitu, lo gak usah halu dan terlalu percaya diri deh.” Kiara menertawakan Kalula, kedua tangannya di lipat di depan dada. “Terserah mau kamu percaya atau enggak, karena pria yang tukang selingkuh akan selamanya menjadi tukang selingkuh dan tidak akan pernah berubah.” Kalula mengingatkan. “Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian.” Setelah mengatakan itu, Kalula memutar badannya hendak pergi dari sana. Namun, belum sempat gadis itu berhasil melangkahkan kakinya, terdengar suara bariton dari seorang pria paruh baya yang sangat tidak asing di telinganya. Kalula memejamkan kedua matanya. Tangannya meremas kedua sisi gaunnya. Gadis itu mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menghadapi pria paruh baya tersebut. Di saat Kalula berbalik badan, dia sangat terkejut ketika pipi nya langsung mendapat tamparan dari pria paruh baya itu sampai membuat tubuhnya memutar ke samping karena sangking kerasnya tamparan itu, hingga menimbulkan rasa panas yang menjalar di pipi kirinya. “Salah Kalula apa, pa? Kenapa tiba-tiba Kalula di tampar?” tanya gadis itu dengan nada rendah. “Kamu pantas mendapatkan tamparan itu, karena sudah berani bicara kurang ajar pada Kiara!” ujar Teo. “Pa... dimana lagi letak kesalahan, Kalula?! Kalula hanya mengatakan yang sebenarnya! Kenapa sih papa selalu menganggap Kalula ini salah? Sedikit pun papa gak pernah menganggap Kalula ini benar.” Seru gadis itu. Air matanya tidak bisa di bendung lagi. Cairan bening dari kedua matanya saling berjatuhan satu persatu membasahi wajahnya yang sudah terpoles dengan riasan itu. “Di mata saya, kamu itu selalu salah, Kalula! Dasar anak pembawa sial dan selalu bikin malu keluarga!” Ujar pria paruh baya itu. Bugh! Tubuh Kalula didorong oleh seorang wanita paru baya yang tidak lain adalah mama tirinya, membuat Kalula tersungkur di hadapan semua para tamu undangan yang datang. Jelas saja kejadian itu menjadi buah bibir mereka semua, kembali mereka mulai berbisik-bisik. “Pergi dari sini! Kau ini datang hanya untuk menghancurkan saja acara pernikahan anak saya!” bentak wanita paru baya itu‒ Astrid, mama tirinya. Kalula segera berdiri, menatap kedua orang tuanya bergantian dengan sorot mata marah. “Sudah, om Teo. Malu di lihat sama para tamu.” Ucap Mario. Pria itu berjalan menghampiri pria paru baya itu dan berdiri di sampingnya. Sementara Kalula yang melirik mantan kekasihnya itu, sangat muak sekali melihat Mario dengan berlagak sok baik di depan semua orang. “Kamu juga, Kalula. Udah dong jangan bikin masalah lagi di acara pernikahan aku.” Kini Mario berganti menatap Kalula, “Kalau tahu kamu akan membuat masalah kaya gini, lebih baik kemarin aku gak usah undang kamu aja.” Sambungnya lagi. “Lagi pula kamu sendiri kan yang udah ninggalin aku dan selingkuh sama pria lain, kenapa sekarang kamu gak seneng ngeliat aku menikah dengan Kiara?” Mario memasang wajahnya seakan dialah yang paling tersakiti disini. Mendengar ucapan Mario, membuat Kalula mengerutkan keningnya, ‘Astaga... Kenapa bisa ada manusia semanipulatif ini? Benar-benar membuatku sangat jijik mendengar ucapannya.’ “Berhenti bicara omong kosong dan merasa paling tersakiti, Mario! Jelas-jelas kamu yang selingkuh dengan saudara tiriku, dan bahkan sekarang dia tengah hamil anak kamu!” ujar Kalula membuat Mario sedikit terkejut dan menoleh sebentar pada Kiara yang ada di belakangnya seraya memberikan kode melalui matanya. “Lo ngomong apasih, Kal?! Siapa yang lagi hamil?” tanya Kiara. Mereka semua memang sangat pandai sekali bersandiwara. Kalula benar-benar tidak habis pikir. “Kamu sendiri yang memberitahu ku kemarin, Kiara. Kenapa sekarang kamu malah bertanya seperti itu.” “Lo jangan fitnah dong. Gue gak pernah tuh bilang kalau lagi hamil.” “Enggak, pa. Kiara gak lagi hamil kok. Dia aja emang yang iri dan gak suka melihat aku bahagia sama Mario.” Ucap Kiara pada Teo, “Kalula itu cuma malu aja mengakui kalau dia udah selingkuh dari Mario, makanya sekarang dia berusaha buat bikin malu aku di depan semua orang.” “Iya, nak. Papa percaya sama kamu, udah ya gak perlu sedih‒ hari ini kan pernikahan kamu, jadi gak boleh sedih.” Ucap pria paru baya itu seraya mengusap kepala Kiara dengan penuh kasih sayang. Kali ini Kiara menang lagi. Wanita itu tersenyum puas ke arah Kalula. Perlakuan Teo pada Kiara sangat berbanding terbalik dengan perlakuan yang di berikan pada Kalula yang notabenya adalah anak kandungnya sendiri. Tiba-tiba para tamu undangan riuh seraya melihat ke arah layar yang ada di depan. Karena penasaran, Teo pun berbalik badan dan melihat apa yang membuat semua orang riuh. Tangannya mengepal dengan sorot kedua matanya memperlihatkan amarah yang sangat memuncak. Lalu pria paru baya itu kembali berbalik badan dan lagi-lagi tangannya mendarat dengan keras di pipi Kalula hingga menimbulkan bekas kemerahan. “Lihat! Apalagi ini, Kalula!” bentak Teo seraya menuntun kepala Kalula untuk melihat ke arah layar, “Dasar anak sialan kamu!” “Tidak ada hentinya kamu mempermalukan keluarga saya!” “Jadi itu pria selingkuhanmu?!” “Bukan, pa. Kalula beneran gak selingkuh, seperti apa yang di katakan oleh Mario.” Ucap Kalula. “Percaya sama Kalula‒ Kalula beneran gak selingkuh.” Kalula berusaha untuk membela diri. Meskipun dia tahu akan sia-sia saja, karena yang ada di dalam foto itu memanglah dirinya dengan seorang pria yang tengah merangkul pinggang nya. Mungkinkah yang mengambil foto dirinya itu adalah Mario? “Mau ngelak apa lagi kamu, hah?! Bukti sudah sangat jelas!” ujar Mario. “Astaga, Kalula. Gue gak nyangka banget, ternyata lo diem-diem pemain juga ya.” Sahut Kiara berjalan ke arah Kalula. Teo sudah sangat naik pitam, dia langsung mengambil ancang-ancang untuk menampar Kalula. Namun, sebelum tangannya mendarat di pipi gadis itu, suara seseorang terlebih dulu menghentikan. “Jauhkan tangan kotormu itu dari milikku!” suara bariton yang terkesan berat namun begitu dingin dan mengintimidasi menggema di ruangan itu. Penasaran, semua orang menoleh ke arah sumber suara‒ menatap seorang pria tampan tengah berdiri di ambang pintu masuk sembari memasukkan kedua tangan pada saku celananya.Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p