Rama mengajak Kalula masuk ke dalam mobilnya, membuka pintu dengan gestur yang sopan, "Ayo, kita pergi ke suatu tempat," katanya. Senyumnya lebar dan penuh semangat. Kalula merasa sedikit canggung, tapi rasa senangnya mengalahkan perasaan itu. Dia melangkah masuk ke dalam mobil, menatap interior yang rapi dan modern.
Setelah mereka melaju, suasana di dalam mobil terasa hangat. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol banyak hal‒ mengenai sekolah, teman-teman lama, dan pengalaman Rama selama tinggal di luar negeri, "Kamu tidak akan percaya, aku sudah mencoba makanan dari berbagai negara. Tapi satu yang paling bikin kangen adalah‒ bakso!" kata Rama sambil tertawa, mengingat kenangan masa kecil mereka yang sering makan bakso bersama. Kalula tertawa, teringat betapa mereka berdua selalu menghabiskan uang saku untuk membeli bakso di pojok jalan, "Jadi kamu benar-benar merindukan bakso kita yang biasa dibeli di warung itu?" tanyanya, matanya berbinar.Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s