“Sudah, Kak. Aku tidak mau lagi.”
Alana menyingkirkan gelas dari hadapan dengan dorongan pelan. Tangannya gemetar, matanya memohon pengertian, tetapi tidak ada sedikit pun rasa iba dari wanita di hadapannya. “Kamu tahu kita butuh uang, Alana.” Jenni, kakak tirinya kembali menggeser gelas itu ke hadapan Alana. “Minum saja. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghargai undangan temanku.” Alana menatap cairan bening dalam gelas, lalu ke arah wanita yang sejak tadi tersenyum tipis. Alana menyerah, kemudian menenggak isi gelas itu sambil menahan napas. Saat ini, Alana sedang mendatangi sebuah pesta yang diadakan teman dari Jenni. Alana tidak menyukai pesta, tetapi Jenni mengatakan jika mereka datang dan menikmati pesta ini, mereka akan mendapatkan uang dari temannya Jenni itu. Demi ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit, Alana terpaksa datang ke pesta ini. Jenni mengamati Alana yang mulai limbung setelah meminum bergelas-gelas. Sudut bibirnya terangkat sinis. “Cepat juga pengaruhnya,” gumamnya pelan tidak terdengar oleh Alana, namun dengan kekhawatiran yang dibuat-buat Jenni langsung menopang tubuh Alana. “Sebaiknya kamu ke kamar dulu saja.” Alana mendongak menatap Jenni. “Aku ke kamar ya, Kak?” pamitnya, lalu berbalik dan berjalan dengan susah payah ke lift untuk menuju kamarnya di lantai dua hotel itu. Sedang mulut Jenni semakin terangkat senang melihat kepergian Alana. Kemudian Jenni berbalik pada pria bertubuh kekar yang berdiri tak jauh darinya. “Kamar 204. Gunakan sesukamu.” Pria itu menyeringai menerima access card yang disodorkan. Tanpa suara, ia melangkah pergi. Sementara itu, Alana berdiri dengan kesadaran yang mulai menipis di dalam lift. Pintu lift terbuka di lantai dua, langkahnya mulai limbung saat berjalan keluar lift. Tubuhnya terhuyung, namun sebelum sempat menyentuh lantai, sepasang tangan kokoh menahannya dengan sigap. “Kamu baik-baik saja?” Suara itu dalam dan tenang. Alana mengerjap, mencoba fokus menatap seseorang di hadapannya dengan pandangan kabur. Ia mengangguk pelan. “Maaf,” gumamnya, berusaha menegakkan tubuh. Lelaki itu hanya diam, matanya tak lepas dari wajah Alana. Saat pandangannya perlahan mulai jelas, dahi Alana berkerut menatap pria itu. Namun, fokusnya kembali hilang. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah pergi. Sepanjang koridor, tubuhnya oleng, tangannya menelusuri tembok lorong demi menjaga keseimbangan. “Kenapa tidak terbuka?” desis Alana pelan. “Karena itu bukan kamarmu.” Suara bariton tadi kembali terdengar. Alana menoleh bingung. Laki-laki itu sudah berada di belakangnya, lalu menempelkan kartunya ke pintu. Pintu pun terbuka. “Oh.” Alana terkekeh ringan. “Salah, ya?” Setelah itu tanpa ragu, ia masuk ke dalam kamar dan melepas sepatu hak tingginya di depan pintu. Langkahnya kembali tak terarah. Pria itu menyusul masuk. Diam-diam, ia menyingkirkan sepatu Alana dari jalur kakinya, lalu menutup pintu. Gerakannya tenang, nyaris tak bersuara. Tubuh Alana kembali goyah. Pria itu refleks menangkapnya. “Kamu minum berapa banyak?” Tatapan Alana kabur, tetapi wajah pria itu kembali terlintas. Kini bibirnya menyunggingkan senyum kecil. “Kamu … mirip seseorang.” Jari-jarinya menyentuh wajah pria itu perlahan. Tetapi, tangannya panas, dan napasnya memburu. “Panas,” gumamnya, menarik tangannya dan meremas ujung bajunya sendiri. Pria itu kemudian menyalakan pendingin ruangan, namun ketika berbalik, ia melihat Alana mulai membuka pakaiannya. “Panas sekali,” ulangnya lirih. Tatapan pria itu berubah tajam, tetapi ekspresi wajahnya tidak tertebak. Ia melangkah mendekat. “Sepertinya kamu sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.” Alana hanya memejam, tidak bisa mencerna ucapan pria itu. Tubuh Alana mulai bergetar karena efek minuman dan sesuatu yang lain. “Tolong aku,” pintanya. Matanya sayu penuh harap. Tubuhnya bergerak untuk menghilangkan panas yang menyerang tubuhnya, namun gerakannya justru jadi semakin memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggoda. Pria itu menatapnya lama. Tidak berkata apa-apa, seperti sedang menimbang sesuatu. Sekilas, rahangnya mengeras. Lalu, perlahan, ia menarik napas, menunduk, dan mendekatkan wajahnya ke Alana. “Aku mohon, tolong aku.” Ucapan terakhir Alana sebelum pria itu mulai mencium bibir Alana. Setelah itu, di dalam kamar temaram itu desahan berat pria dan erangan wanita menggema. **** Alana mengerjap pelan. Kepalanya berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa pegal. Saat mencoba bangkit, ia menyadari sesuatu yang aneh. Tersadar, Alana langsung mengangkat selimut yang menutupi tubuhnya dan pikirannya langsung kosong. Tubuhnya menegang. Dia menunduk pelan, lalu… Mata Alana membelalak. Napasnya mulai memburu saat kepalanya menoleh ke samping. Seorang pria tengah tertidur di sebelahnya. Dada bidang dan wajah tampan pria itu langsung membuat jantung Alana berdegup kacau. Rambut hitam sedikit berantakan, alis tebal, rahang tajam, dan ... tubuhnya yang telanjang di balik selimut?! Alana menahan napas. Kepanikan mulai naik ke ubun-ubun. Astaga. Astaga. Astaga. Dia mencengkeram kepala. “Apa yang terjadi tadi malam?!” Karena pergerakan Alana, pria itu terbangun. Matanya terbuka pelan. Tatapannya datar dan dalam. Tidak ada ekspresi terkejut, tidak juga bersalah. Dia hanya menatap lurus pada Alana, seperti tak ada yang luar biasa terjadi. “Sudah sadar?” tanyanya, suaranya berat dan dalam. Alana menelan ludah. “K-kita... semalam...?” Pria itu tidak menjawab. Ia hanya bangkit dari ranjang, mengambil kemeja yang tergantung di kursi, lalu mengenakannya santai. “Aku... aku tidak ingat apa-apa!” seru Alana. Pria itu menghentikan gerakan kancingnya. Sekilas, sudut bibirnya terangkat. “Tentu saja.” Kalimat itu terdengar ambigu. Seolah ia tahu sesuatu yang Alana tidak tahu. “Katakan padaku apa yang terjadi?” Jantung Alina berdegup kencang. Tangan Alana bergetar, mempererat genggaman selimut di dadanya. “Bukannya ini hal yang biasa untukmu?” Tatapan pria itu tajam, namun suaranya begitu tenang. “Apa maksudmu?” Nada suara Alina menjadi sedikit tinggi. Tidak mengerti dengan ucapan pria di hadapannya ini. Pria itu hanya berjalan mendekat, lalu menatapnya dari dekat. Alana terdiam. Napasnya terhenti saat merasakan wangi tubuh pria itu menyeruak di antara jarak mereka yang hampir tak ada. “Kamu masih tidak berubah rupanya, Alana.” Satu sudut bibir pria itu terangkat tipis. Tatapan matanya kini merendahkan Alana. Alana tercenung ketika pria itu memanggil namanya. Namun, sebelum Alana sempat bertanya lagi, pria itu lebih dulu berbalik membuka pintu kamar dan melangkah keluar, meninggalkan Alana yang masih linglung di atas kasur. Alana menatap pintu yang tertutup rapat di depannya, lalu bergumam pelan, “Aku ... pernah kenal dia?”Bab 6“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen.Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk. “Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung.Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana.Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu. “Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal? Tempat ini kurang cocok untukmu?”Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave.“Nikmati saja hidup denganku,” ucap Dave dingin.Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya. Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini.Dave segera mendu
“Apa?!” Alana membelalak ketika mendengar apa yang diinginkan oleh pria di depannya. Tubuhnya menegang, nyaris kehilangan kendali.Pria itu justru hanya diam saja melihat Alana yang terkejut. Seolah tak terganggu sama sekali dengan yang Alana lakukan.Pembicaraan ini tampaknya sudah mengarah serius. Alana tidak mau sampai emosinya meluap lagi dan menjadikannya pusat perhatian orang-orang. Akhirnya ia menarik pria itu menjauh.“Kenapa kamu mengajak aku menikah?” Alana berusaha untuk tetap tenang, walaupun saat ini perasaannya campur aduk.Pria itu tampak masih tenang. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatap Alana dengan santai. Seolah topik pernikahan yang baru saja dibahasnya ini bukan hal besar. “Bukankah ada harga yang harus dibayar?”Alana masih tidak habis pikir dengan yang diminta pria itu. “Iya, tapi dengan pernikahan?” tanyanya.Pria itu hanya mengangguk singkat dan satu alisnya terangkat tipis.Wah, Alina tidak bisa percaya dengan yang dia lihat. Pria ini gil
Pandangan Alana tertuju pada pria tegap dengan balutan jas mahal yang sedang berjalan ke arahnya. Ia tidak menghindar. Justru diam membeku di tempatnya berpijak. Tepat di depannya sekarang, pria itu berhenti. Menatap dengan tajam. Tanpa bicara apa-apa.Kenapa dirinya harus bertemu pria ini? Masih segar di ingatan Alana bagaimana tadi pagi ia menemukan dirinya tanpa pakaian berada di kamar dengan pria ini. Kejadian semalam benar-benar membuatnya enggan bertemu dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, ia sedang sibuk memikirkan biaya rumah sakit sang ayah.Namun, yang paling jelas Alana ingat adalah ketika tuduhan keji yang dilemparkan padanya. Seolah-olah ia adalah wanita yang suka tidur dengan sembarang orang.Alana merasa pria di depannya ini datang di waktu yang tidak tepat.Masih menjadi pertanyaan juga di kepalanya, untuk apa pria di depannya itu berada di tempat yang sama dengannya?Namun, melihat dominasi pria di depannya yang begitu kuat, membuat tubuh Alana menegang. Ke
Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya.Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya. “Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!” Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan uang puluhan juta dengan mudah.Beberapa kali Alana mencoba menghubungi saudara untuk meminta bantuan, tapi tak ada satu pun yang mau membantu. “Harusnya kamu mengikuti apa yang diminta Jenny. Jadi sekarang kita bisa dapat uang.” Arini menatap tajam, kesabarannya sudah habis. Apa yang dilakukan Alana sangat merugikannya. Apa Arini tidak tahu semalam Alan
Alana berusaha untuk mengingat siapa pria yang baru saja tidur dengannya itu. Sayangnya, ia tidak ingat siapa pria itu.“Dia kenal aku, tapi kenapa aku tidak ingat siapa dia?”Semakin Alana berusaha untuk memikirkan siapa pria barusan, kepalanya semakin pusing.“Aku pusing sekali.” Perlahan Alana mengangkat tangannya.Tubuhnya yang ikut bergerak saat tangannya diangkat, membuatnya merasakan sakit di bagian intimnya.“Aucchh ....” Alana meringis kesakitan.Alana hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika merasakan rasa sakit itu. Ini adalah kali pertamanya melakukan hubungan intim. Pantas jika sakit.Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk merasakan sakit.Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau.Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering.Perlahan Alana turun dari tempat t
“Sudah, Kak. Aku tidak mau lagi.”Alana menyingkirkan gelas dari hadapan dengan dorongan pelan. Tangannya gemetar, matanya memohon pengertian, tetapi tidak ada sedikit pun rasa iba dari wanita di hadapannya.“Kamu tahu kita butuh uang, Alana.” Jenni, kakak tirinya kembali menggeser gelas itu ke hadapan Alana. “Minum saja. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghargai undangan temanku.” Alana menatap cairan bening dalam gelas, lalu ke arah wanita yang sejak tadi tersenyum tipis. Alana menyerah, kemudian menenggak isi gelas itu sambil menahan napas.Saat ini, Alana sedang mendatangi sebuah pesta yang diadakan teman dari Jenni. Alana tidak menyukai pesta, tetapi Jenni mengatakan jika mereka datang dan menikmati pesta ini, mereka akan mendapatkan uang dari temannya Jenni itu.Demi ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit, Alana terpaksa datang ke pesta ini.Jenni mengamati Alana yang mulai limbung setelah meminum bergelas-gelas. Sudut bibirnya terangkat sinis. “Cepat juga pengaruhnya,”