Pagi ini, Dave bangun lebih awal. Ia sudah rapi, meskipun hari ini adalah hari libur. Wajahnya pun tampak semringah. Alana yang menyadari itu merasa aneh dengan sikap suaminya itu. “Kamu kenapa, Sayang? Sepertinya hari ini kamu tampak senang sekali?” Alana menatap lekat wajah sang suami. “Nanti kamu juga akan tahu.” Dave tersenyum penuh arti. Dahi Alana berkerut dalam. “Apa? Kenapa kamu membuat aku penasaran?” Sayangnya, Dave justru hanya tersenyum saja. Alana menekuk bibirnya. Namun, saat sedang memerhatikan sang suami. Ia melihat sang suami sudah rapi sekali. “Bukankah hari ini libur, kenapa kamu rapi sekali, Sayang?” Dave menghampiri Alana. “Aku mau mengajakmu pergi.” Alana menatap penuh curiga. “Ke mana?” tanyanya. “Sudahlah, nanti kamu akan tahu. Jadi bersiaplah saja.” Dave tersenyum. Alana sangat kesal dengan suaminya yang bermain rahasia-rahasia itu. Namun, dari pada ia terus penasaran, alangkah lebih baik dia segera bersiap. Agar tahu ke mana sang suami akan membawan
Hari-hari Alana setelah resmi berhenti bekerja dari kantor terasa aneh. Hidupnya yang dulu dipenuhi dengan deadline pekerjaan, kini berganti dengan keheningan rumah. Tidak ada rapat dadakan. Tidak ada lagi telepon dari atasan yang bahkan mengusiknya kapan saja. Semua terasa hening. Alana mencoba untuk menguatkan dirinya. Ia yakin semua hanya soal waktu dan hanya butuh adaptasi. Untuk mengisi waktu, Alana tetap melanjutkan hobi menggambar desain baju. Dengan tablet miliknya, ia menggambar desain sesuai dengan imajinasinya. Kali ini ia membuat tanpa tema apa pun seperti biasa perusahaannya minta. Ia hanya menggambar sesuai dengan keinginan hati saja. Namun, tak hanya menggambar, ia mencoba hal-hal baru. Salah satunya adalah memasak. Ia belajar langsung dari chef keluarga Tanuwijaya.Chef dengan sabar mengajarkan berbagai resep makanan, mulai dari tradisional sampai modern. Seperti kali ini, chef mengajarkan Alana membuat steak daging. Dengan penuh semangat ia mengikuti semua araha
Hari-hari Alana terasa begitu melelahkan. Sejak menikah ia diberikan tanggung jawab untuk mengurus rumah Tanuwijaya. Memastikan semua berjalan dengan benar. Alana pikir pekerjaan itu akan mudah dikerjakan, tetapi ternyata cukup sulit. Ia masih bersyukur karena Viona masih membantunya dalam beberapa hal. Yang awalnya mereka tidak akur, karena saling membutuhkan, mereka kini justru semakin dekat. Sayangnya, mengerjakan pekerjaan mengatur rumah dibarengi dengan bekerja memang tidak mudah. Belakangan ini juga pekerjaanya cukup banyak. Jadi Alana harus membagi waktu dengan baik. Sampai-sampai, saat di rumah, Alana masih harus mengerjakan pekerjaan kantornya. Seperti malam ini, Alana mengerjakan pekerjaanya di kamar. Ia sibuk menggambar desain yang akan diserahkan ke perusahaan. Alana sampai menggunakan meja kerja Dave untuk mengerjakan pekerjaanya. Dave yang melihat istrinya sangat sibuk membawakan secangkir coklat. Berharap dapat menemani sang istri yang sedang bekerja. “Minumlah,
Pagi ini, Alana bersiap untuk ke rumah orang tuanya. Hari ini Jenny akan pergi ke luar kota. Jadi Alana ingin mengantarkan kakaknya itu. Saat tiba di rumah, sudah ada koper besar di ruang tamu. Jenny duduk di samping koper dengan wajah sedih. Alana tahu, jika selama ini Jenny tidak pernah tinggal jauh dari keluarga. Segala kebutuhan pun selalu dipenuhi oleh mamanya. Jenny hanya tinggal duduk manis di rumah. Di samping Jenny ada Arini yang tampak jauh lebih sedih. Sulit baginya melepaskan putrinya tinggal jauh, tapi ia harus melakukannya demi masa depan anaknya itu. “Jenny, nanti kamu di sana jaga diri baik-baik. Makan tepat waktu.” Jenny mengangguk, lalu menunduk. “Iya, Ma, aku akan jaga diri baik-baik dan makan tepat waktu.Arini memeluk Jenny. Alana yang duduk di samping sang ayah, melihat ibu dan anak yang tampak begitu bersedih. Sejujurnya ia pun merasa begitu sedih juga. Namun, memberikan ruang bagi ibu dan anak itu lebih dulu. “Kak, aku akan antar Kakak ke bandara dengan
Suasana ruang kerja Dave siang itu begitu hening. Meja kayu besar dengan berkas-berkas rapi di atasnya memberi kesan tegas dan disiplin. Di kursinya, Dave duduk dengan punggung tegak. Tatapannya fokus pada satu nama di daftar karyawan milik Jenny yang tadi dimintanya dari pihak HRD. Dave mengerti bahwa Alana berada dalam posisi sulit. Ia tidak ingin membuat istrinya terbebani, tapi juga tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan yang menyangkut perusahaan.“Baiklah,” gumam Dave lirih. “Kita lihat seberapa serius Jenny dalam tanggung jawabnya.” Dave segera meraih gagang telepon dan menghubungi asistennya. “Tolong panggilkan Jenny ke ruangku.”Tak lama, pintu diketuk pelan. Jenny masuk dengan wajah sedikit gugup. Ia memang sudah menunggu panggilan ini sejak Alana berjanji menyampaikan permintaannya.“Silakan duduk,” ucap Dave singkat, memberi isyarat pada kursi di hadapannya.Jenny duduk, berusaha menampilkan sikap percaya diri. “Terima kasih sudah memanggil saya, Pak Dave.”Dave me
[Alana, bisakah kita bertemu saat jam makan siang?]Pesan itu berasal dari Jenny. Alana terdiam sejenak, mencoba menebak alasan Jenny tiba-tiba ingin bertemu. [Baiklah, kita bertemu di restoran biasa.]Ia menaruh kembali ponsel di meja setelah membalas pesan dari kakaknya itu. Kemuydian ia bangkit. Baru saja ia hendak melangkah ke arah pintu, suara berat terdengar. “Apa kamu sudah siap?” tanya Dave.Alana menoleh, menemukan suaminya yang tampak gagah dengan setelan kerja rapi. Wajahnya terlihat lebih segar pagi itu. Alana tersenyum kecil lalu menghampirinya, tangannya otomatis merapikan dasi Dave yang sedikit miring.“Aku sudah siap,” jawabnya pelan. Hari ini adalah hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti menikah dan bulan madu. Ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya. Kini ia sudah menyandang ‘istri Dave’.Sesampainya di kantor, Alana langsung menjadi pusat perhatian. Rekan-rekan kerjanya menyambutnya dengan senyum ramah, sebagian besar menanyakan tentang pernikahan dan