LOGINMereka saling beradu pandang.
Menatap wajah Dave dari jarak sedekat ini membuat Alana tertegun.
“Sebaiknya kamu lebih hati-hati,” ucapnya.
“Maaf, spreinya terlalu tinggi. Jadi aku tidak bisa mencapainya,” jawab Alana membela diri.
Ia buru-buru menegakkan tubuhnya. Kali ini lebih hati-hati agar tidak terjatuh untuk ketiga kalinya.
Sayangnya, tangan Dave yang masih berada di pinggangnya.
“Bisakah kamu melepaskan aku?” tanya Alana kikuk. Dave masih tidak melepaskannya untuk beberapa saat.
Mendapati pertanyaan itu, Dave buru-buru melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang Alana. Kemudian mengambilkan sprei di lemari paling atas.
“Ini,” ujarnya seraya memberikan sprei pada Alana, namun pandangannya tidak tertuju pada Alana.
Alana tercenung sesaat. “Terima kasih.” Lalu menerima sprei itu dan mengganti sprei lama dengan dengan yang baru.
Sekarang apartemen sudah bersih. Sudah nyaman untuk ditempati.
Dave memerhatikan apartemen yang telah bersih juga kasur yang telah berubah spreinya. Ia mengamati setiap sudut dengan seksama, seolah mencari sebuah kesalahan. Hingga tatapannya beralih pada Alana. Ada kilat keterkejutan yang singkat di matanya sebelum kembali dingin.
“Dave, kasur ini tidak muat jika kita pakai tidur bersama,” kata Alana menatap Dave.
Dave mengalihkan pandangannya ke tempat tidur. “Siapa bilang kita akan tidur bersama?”
Dahi Alana berkerut dalam. Bingung dengan yang dikatakan Dave.
“Lalu?”
Dave tidak menjawab, langkahnya diayunkan sambil mengangkat kursi yang didudukinya. Membawanya ke depan lemari. Ia naik di atas kursi dan membuka lemari paling atas. Sebuah kasur lipat diambilnya dari dalam sana. Kemudian membawanya ke samping tempat tidur.
“Kamu akan tidur di lantai?” tanya Alana.
“Kamu yang tidur di lantai.”
Bola mata Alana membulat. Kemudian ia mengembuskan napasnya panjang. Berusaha untuk menahan amarahnya yang nyaris meledak. Setelah tadi disuruh membersihkan apartemen, sekarang dia disuruh untuk tidur di lantai pula.
“Kenapa tidak kamu saja yang tidur di lantai? Kenapa harus aku?” tanyanya dengan nada kesal.
Sebagai seorang pria, harusnya Dave lebih mengalah pada wanita. Memberikan kenyamanan pada wanita. Tapi, justru meminta Alana tidur di lantai tanpa merasa bersalah sama sekali.
Dave mulai merebahkan dirinya di kasur. Kedua tangannya ia tekuk dan dijadikan sebagai bantal. Dengan mata terpejam, Dave berkata, “Ingat, aku sudah membayar biaya rumah sakit ayahmu. Jadi, kurasa aku berhak atas tempat tidur yang lebih nyaman.” Nada suara Dave begitu ringan tetapi menusuk.
Rahang Alana mengeras. Ancaman itu lagi.
Satu kebaikan yang dilakukan Dave, terus saja diungkit. Padahal tidak perlu diingatkan Alana tahu betul jika tanpa Dave, biaya rumah sakit tidak akan terbayar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Alana mengambil kasur lipat di samping tidur dengan kasar. Lalu, ia bentangkan kasur di lantai yang cukup dingin itu.
Malam ini Alana akan tidur di kasur lipat. Tak ada kenyamanan yang didapatkannya, seperti yang didapatkan Dave saat tidur di atas kasur empuk.
***
Saat cahaya pagi mulai menerobos masuk, Alana terbangun. Ia mencoba duduk, namun ringisan pelan lolos dari bibirnya saat punggung dan bahunya memprotes dengan rasa pegal yang menyiksa.
Tidur di kasur lipat ini tidak ada bedanya dengan tidur langsung di lantai yang keras.
Pandangan Alana kemudian tertuju pada Dave yang tampak nyaman di atas tempat tidur. Dave terlelap dengan nyaman, napasnya teratur, tubuhnya tenggelam dalam selimut tebal dan kasur empuk yang tampak begitu nyaman.
Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya. Tak mau membuang waktunya untuk iri pada Dave. Ada yang harus Alana lakukan. Yaitu ke rumah sakit. Hari ini ayahnya akan operasi. Jadi ia ingin menemani.
Tanpa berpamitan pada Dave, ia segera berangkat.
Di rumah sakit, Arini tampak sudah menunggu. Tatapan wanita itu begitu tajam. Berbeda dengan biasanya ada kemarahan yang terselip
“Tidur di mana kamu semalam? Jenny bilang kamu tidak pulang?” tanya Arini tanpa basa-basi.
Alana sedikit terkejut. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang.
Semalam ia tidur di apartemen Dave. Itu sesuatu yang tidak bisa dijelaskan Alana, mengingat ia ingin menyembunyikan pernikahannya.
“Aku di rumah teman, Ma.”
Arini memicingkan matanya. Menelisik ucapan Alana. Mencari kebohongan dari sorot mata Alana.
Berusaha untuk mengalihkan perhatian, Alana buru-buru bertanya, “Jam berapa ayah akan operasi?”
“Jam sepuluh.” Arini masih menatap Alana curiga.
Tepat jam sepuluh pagi, perawat mendorong ranjang ayah Alana ke ruang operasi.
Alana setia menemani sang ayah. Sayangnya, langkahnya harus terhenti di depan ruang operasi.
Operasi diperkirakan akan berlangsung dua jam. Alana dan Arini menunggu di kursi tunggu dengan cemas. Berdoa agar semua berjalan dengan lancar.
Setelah dua jam, pintu ruang operasi dibuka. Seorang dokter keluar dan memberitahu jika operasi berhasil dan keadaan pasien stabil.
Alana lega karena akhirnya operasi berhasil. Air matanya pun mengalir. Ini bukan tangis kesedihan, tapi tangis kebahagiaan.
Sekarang Alana tinggal menunggu sang ayah pulih kembali.
Tak lama setelah ayahnya dipindahkan ke ruangan, Jenni datang. Ia tampak tergesa-gesa menemui ibunya dan Alana.
“Bagaimana keadaan ayah?” tanya Jenny pada sang mama.
“Operasinya berhasil.”
Jenni mengangguk-anggukkan kepalanya. Pandangannya beralih pada Alana yang berada di sana juga. Tanpa sengaja pandangan mereka saling bertautan.
Mereka masuk ke ruang perawatan untuk melihat keadaan sang ayah, tetapi Jenni tiba-tiba meraih tangan Alana dan menariknya.
Alana menoleh ke arah kakaknya, tapi tidak bisa menolak. Hanya pasrah.
“Ada apa, Kak?” tanyanya.
“Dari mana kamu dapat uang untuk biaya rumah sakit ayah?” Jenny menatap tajam. Suaranya rendah, tapi mendesak.
Alana terdiam sejenak. Pikirannya berpacu detik itu juga. Mencari alasan tepat agar kakaknya tidak curiga dengan pernikahannya.
“Dari temanku SMA-ku,” jawabnya berusaha untuk tetap tenang. “Aku mau lihat ayah dulu.” Alana memilih untuk menghindari situasi tidak nyaman ini. Langkahnya segera diayunkan ke kamar perawatan sang ayah.
Jenni menatap punggung Alana yang pergi. Ia tidak percaya dengan yang dikatakan adiknya itu.
Mereka menunggu Alvin yang belum juga sadar. Dokter bilang butuh waktu untuk menunggu pasien pasca operasi sadar.
“Kapan kamu bekerja? Walaupun kamu sudah mendapatkan biaya untuk operasi ayahmu, tapi kita butuh biaya untuk hidup ayahmu!” Suara Arini memecah keheningan di dalam ruang perawatan.
Alana yang sedari tadi duduk di samping sang ayah, mengalihkan pandangannya pada sang mama. “Aku sedang melamar pekerjaan sebagai desainer pemula di perusahaan fashion, Ma.”
“Baguslah jika begitu. Paling tidak kamu bisa menghasilkan,” ucap Arini dengan bibir menekuk sinis.
Ucapan itu mungkin terdengar kasar bagi orang lain, tapi bagi Alana yang sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh ibu tirinya, bukan sesuatu yang besar baginya.
“Karena jarak kantor itu cukup jauh, jadi sementara aku akan tinggal di rumah temanku.”
Alana mencoba menyelipkan kebohongan. Alasan itu masuk akal untuk menjelaskan kenapa nanti dia tidak akan pulang ke rumah orang tuanya.
“Terserah kamu mau tinggal di mana. Yang penting aku mau kamu berikan uang untuk ayahmu.”
Ucapan itu terasa menusuk.
Bagi Arini, keberadaanya memang tidak berarti. Yang dibutuhkan memang hanya uang saja.
Ketika ayahnya sadar dan keadaan mulai stabil, barulah Alana pulang. Tempat yang dituju adalah apartemen Dave. Ke depannya, apartemen itu akan menjadi rumahnya.
Jari Alana berhenti sesaat di atas papan kunci digital sebelum akhirnya menekan kombinasi angka yang tadi dia minta pada Dave. Sebuah bunyi ‘bip’ pelan terdengar, diikuti suara kunci yang terbuka.
Pintu terbuka tanpa suara, Alana melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Di bawah sorot lampu baca, Dave duduk di sebuah kursi. Kakinya bersilang dengan santai, sebuah buku bersampul terbuka di tangannya. Kacamata bening berbingkai tipis bertengger di hidungnya, menambah kesan intelektual pada wajahnya yang tegas.
Dave tampak tenggelam dalam bacaannya, seolah tidak menyadari kehadiran Alana.
Alana meletakkan tasnya di atas meja terdekat, gerakannya kaku. Keheningan masih menyelimuti mereka. “Kamu kerja di mana sekarang?” Akhirnya Alana mengisi keheningan. Lagi pula ia juga penasaran. Sejak lama ia tidak tahu Dave bekerja di mana.
Dave tidak langsung menjawab. Ia menyelesaikan satu paragraf, sebelum akhirnya membalas tanpa mengangkat kepala dari bukunya. “Di perusahaan Tanu Karya.”
Alana terkejut. Alana tahu perusahaan itu. Tanu Karya adalah perusahaan bergerak di bidang kontraktor. Membangun jalan-jalan di negeri ini.
“Sebagai apa? Karyawan lapangan atau karyawan pusat? Atau jangan-jangan manajer?” tanya Alana semangat. Ia mau memperbaiki keadaan dan mencoba membangun jembatan di antara mereka.
Kali ini, Dave berhenti membaca. Ia menurunkan bukunya perlahan, menatap Alana dari atas bingkai kacamatanya. Tatapannya tajam dan tak terbaca. “Bukan,” jawabnya, datar.
“Lalu sebagai apa?” Alana mencondongkan tubuhnya sedikit, semakin penasaran.
Dave menutup bukunya, meletakkannya dengan rapi di meja samping. Ia menatap Alana lurus-lurus, ekspresinya tetap tenang.
“Aku hanya supir.”
Alana hanya bisa menatapnya, terpaku. Kata-kata itu menggema di kepalanya, bertabrakan dengan citra pria berkuasa yang ia temui di restoran kemarin.
Sopir, katanya? Pria ini bilang … seorang sopir?
Suasana di ruang bersalin penuh ketegangan. Dave berulang kali merasa hatinya perih melihat Alana berjuang keras. Perjuangan sang istri benar-benar besar sekali. Dave tidak akan melupakan hal besar ini. “Dorong terus, Bu. Kepalanya sudah mulai kelihatan.” Dokter kembali memberikan intruksi. “Sayang, sedikit lagi, kamu pasti bisa.” Dave mendaratkan kecupan di dahi sang istri. Alana menggenggam tangannya lebih erat, seakan menarik kekuatan dari suaminya.Hingga akhirnya, saat yang ditunggu tiba. Dengan dorongan terakhir yang penuh tenaga, suara tangis nyaring pecah memenuhi ruangan.Dave terperangah. Matanya langsung berkaca-kaca. Bayi mungil itu diangkat oleh dokter, tubuhnya masih basah, wajahnya merah, tapi tangisnya begitu lantang.“Anak Bapak dan Ibu laki-laki,” ucap dokter sambil tersenyum lelah namun bahagia.Air mata jatuh di pipi Dave tanpa bisa ditahan. Ia menatap Alana, yang terbaring lemah namun tersenyum lega.“Anak kita laki-laki.” Dave memeluk Alana erat. Tangis Alana
Tidak terasa usia kandungan Alana sudah sembilan bulan. Kehamilan Alana tanpa drama sama sekali. Semua berjalan dengan baik. Selama kehamilan pun ia tidak ngidam apa pun. Justru Dave yang ngidam dan menginginkan sesuatu selama kehamilan Alana. Menginjak usia kandungan sembilan bulan, persiapan sudah disiapkan Dave dengan baik. Mulai dengan kamar bayi, perlengkapan bayi, sampai sudah memesan kamar VVIP untuk persalinan nanti. “Apa ada yang kurang?” Dave melihat ke sekeliling kamar anak. Melihat kebutuhan anaknya yang dibutuhkan. “Sepertinya tidak. Aku sudah mencatat semua yang dibutuhkan, dan semua sudah kita beli.” Alana menjawab sambil melipat baju-baju bayi yang akan dibawa jika tiba-tiba nanti ia akan melahirkan. “Baiklah jika begitu.” Dave menghampiri Alana yang duduk di ranjang. Kamar bayi berisi satu ranjang besar untuk tidur Alana dan Dave saat nanti menjaga anak mereka. Kemudian satu box bayi khusus yang dipesan Dave untuk anak mereka. Dave membelai perut Alana. “Sayang
Sejak Alana menebak ngidam yang dilakukan Dave, beberapa kali Dave mengingikan makanan sesuatu secara tiba-tiba. Seperti malam ini, tiba-tiba saja ia terbangun di tengah malam. Tiba-tiba saja ia menginginkan makanan yang segar. “Sayang, aku ingin makan buah yang asam.” Alana membulatkan matanya. Sekarang sudah jam sebelas malam. Tentu saja ia bingung mencari makanan yang diinginkan suaminya itu malam-malam. Ia tahu persis jika di rumah tidak ada buah asam. Di rumah lebih banyak buah yang manis. “Ayo kita ke dapur. Siapa tahu ada buah asam.” Alana menyibak selimutnya. Bangkit dari tempat tidur. Dave ikut menyibak selimut. Kemudian turun dari tempat tidur. Mereka berdua keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Saat menuruni anak tangga, mereka melihat lampu di lantai bawah masih menyala. Mereka yakin jika ada yang masih belum tidur.“Kak Dave, Kak Alana.” Areksa terkejut ketika melihat Dave dan Alana. “Kamu belum tidur, Reksa?” tanya Alana. “Belum, masih belum mengantuk.”
Semua orang terkejut mendengar kabar itu. Mereka masih berusaha mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh Dave. “Alana, kamu benar-benar hamil?” Alvin menatap putrinya. Memastikan apa yang dikatakan menantunya baru saja. “Iya, Yah. Aku hamil.” Alana mengangguk sambil tersenyum. “Akhirnya aku akan punya cicit.” Mahesa tertawa meluapkan kebahagiaanya. Alana hanya tersenyum melihat kakek Dave itu begitu bahagia. “Kak Alana, selamat atas kehamilanmu.” Areksa menatap Alana, ikut memberikan selamat juga. “Terima kasih, Areksa.” Alana tersenyum. “Selamat, Alana. Jaga dirimu baik-baik.” Suara Arini terdengar menyahut setelah pembicaraan Alana dan Areksa. “Iya, Ma. Aku akan menjaga diri baik-baik.” Alana mengangguk pasti. “Selamat Alana. Jika butuh apa-apa. Kamu bisa bilang padaku.” Viona ikut menimpali obrolan ibu dan anak itu. “Terima kasih, Bu Viona.” Alaa kembali mengangguk. Semua keluarga begitu bahagia dengan kabar kehamilan Alana. Tawa bahagia terdengar di ruang makan.
Sejenak Alana diam. Berusaha untuk mencerna apa yang dikatakan oleh dokter padanya. Ia berusaha meyakini jika yang baru saja didengarnya tidaklah salah. Jika ternyata ia positif hamil. “Sayang.” Dave meraih tangan Alana dan mendaratkan kecupan di punggung tangan istrinya itu. Apa yang dilakukan Dave itu membuat Alana tersadar. Ia menatap sang suami dengan lekat. “Apa aku benar-benar hamil?” tanyanya memastikan. Tatapannya masih begitu terasa kosong. “Iya, Sayang. Kamu hamil.” Dave tersenyum. Suaranya terdengar meyakinkan. Matanya langsung berkaca-kaca mendengar apa yang baru saja dikatakan suaminya. Ia sangat terharu mengetahui jika dirinya hamil. Dave mengeratkan genggaman tangannya. Menguatkan istrinya agar tidak menangis. Sesaat kemudian, ia beralih pada dokter yang berada di depan mereka. “Berapa usia kandungan anak kami, Dok?” tanyanya. “Untuk informasi lebih lanjut, akan dijelaskan oleh dokter kandungan, Pak. Saya akan merujuk Bu Alana pada dokter kandungan di rumah sak
Menjelang sore, ketika keramaian mulai mereda, Alana baru bisa duduk manis di ruangannya. Melihat sisa keramaian dari CCTV. “Aku masih merasa seperti mimpi.” Alana menatap Dave. “Semua bukan mimpi, Sayang. Semua ini nyata.” Dave mencubit pipi Alana lembut. Alana langsung tertawa. “Iya, ini bukan mimpi.” “Setelah ini, kamu harus berusaha lebih keras lagi. Tunjukan pada dunia karyamu.” Dave membelai lembut wajah Alana. Alana mengangguk. Ia akan membuktikan dengan karyanya. Ia ingin dunia tahu karyanya. ****Beberapa bulan setelah butik resmi dibuka, Alana semakin sibuk. Hampir setiap hari Alana ke butik. Ia berada di sana sejak pagi sampai sore. Mendesain baju, mengawasi penjualan, dan berinteraksi dengan pelanggan. Dave akan menjemput sang istri setelah ia pulang kerja. Kemudian mereka akan pulang bersama. Bertambahnya kegiatan belakangan ini, membuat tubuh Alana sedikit kelelahan. Setiap bagun pagi, ia merasa mual menyerang. “Huek … huek ….” Seperti pagi ini, ia buru-buru ba







