“Apa?!” Alana membelalak ketika mendengar apa yang diinginkan oleh pria di depannya. Tubuhnya menegang, nyaris kehilangan kendali.
Pria itu justru hanya diam saja melihat Alana yang terkejut. Seolah tak terganggu sama sekali dengan yang Alana lakukan. Pembicaraan ini tampaknya sudah mengarah serius. Alana tidak mau sampai emosinya meluap lagi dan menjadikannya pusat perhatian orang-orang. Akhirnya ia menarik pria itu menjauh. “Kenapa kamu mengajak aku menikah?” Alana berusaha untuk tetap tenang, walaupun saat ini perasaannya campur aduk. Pria itu tampak masih tenang. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatap Alana dengan santai. Seolah topik pernikahan yang baru saja dibahasnya ini bukan hal besar. “Bukankah ada harga yang harus dibayar?” Alana masih tidak habis pikir dengan yang diminta pria itu. “Iya, tapi dengan pernikahan?” tanyanya. Pria itu hanya mengangguk singkat dan satu alisnya terangkat tipis. Wah, Alina tidak bisa percaya dengan yang dia lihat. Pria ini gila. “Kamu pikir pernikahan itu permainan? Aku saja tidak mengenalmu. Bagaimana bisa aku menikah denganmu?!” Alana sedikit tersentak menyadari perubahan raut wajah pria di hadapannya setiap Alana mengatakan bahwa dia tidak mengenal pria itu. Mengapa pria itu terlihat marah dengan kenyataan bahwa Alana memang tidak mengenalnya? “Aku tidak mau menikah denganmu!” kata Alana lagi, menatap pria itu dengan tajam. “Menolak permintaanku, berarti kamu menolak bantuanku.” Pria itu mengangkat kedua bahunya santai dengan satu dengusan kecil. “Tidak masalah untukku, tapi …” Tiba-tiba Alana menahan napas ketika pria itu dengan langkah pelan mendekatinya. Tubuh Alana juga seperti membeku ketika pria itu dengan santai melanjutkan ucapannya tepat di samping telinga Alana. “Semalam aku tidak menggunakan pengaman. Jadi, seharusnya kamu tahu kemungkinan apa yang akan terjadi.” Melihat pria itu menarik tubuhnya dan tersenyum menyeringai ke arahnya, Alana baru tersadar. Apa yang dikatakan pria di depannya itu jelas seperti pukulan yang menghantam dadanya. Wajahnya seketika pucat. Jantungnya berdegup dengan kencang. Pikirannya tidak karuan. Jika pria itu tidak menggunakan pengaman, berarti … “Jangan bercanda kamu!” Alana berusaha menyangkal semua. Pria itu mempertahankan senyumnya dan kedua alisnya terangkat. “Apa aku terlihat bercanda?” Kepanikan melanda Alana. Tidak. Tidak mungkin! Tidak mungkin benih pria itu ada di rahimnya sekarang! Iya, itu tidak … akh–bagaimana ini? Jika sampai benar ada benih di rahimnya sekarang, kelak anak itu akan lahir tanpa ayah jika sekarang ia menolak menikah. Alana bingung. Alana memejamkan mata dan mencoba bernapas dengan baik. Ia harus berpikir jernih untuk mengambil keputusan. Akh—tidak. Sekelebat pikiran tentang sang ayah muncul. Lalu, Alana membuka matanya, menatap pria di hadapannya ini dengan keraguan dan keyakinan yang saling bertabrakan di hatinya. Hingga, “Aku mau.” Akhirnya itu jawaban yang diberikan Alana. Pria itu tersenyum puas dengan jawaban yang diberikan Alana. Lalu sebelum berbalik, pria itu berkata, “Ikut denganku. Kita menikah sekarang.” *** Pandangan Alana kosong melihat buku nikah yang dipegangnya. Alana masih tidak percaya kini dia sudah menjadi seorang istri. Pernikahan seperti mimpi karena berlangsung begitu cepat seolah semua sudah disiapkan. Keterkejutan demi keterkejutan membuat Alana hanya bisa termangu. Terlebih lagi saat proses pernikahan. Pertama kali dia mendengar nama pria yang kini jadi suaminya. Davendra Putra Tanuwijaya. Nama yang terdengar familiar. Namun, Alana lupa di mana ia mendengar nama itu. Sekarang Dave mengajak Alana untuk pergi dengan menaiki mobil miliknya. Alana tidak tahu ke mana Dave akan membawanya. Ia hanya mengikuti saja. Di dalam mobil, Alana terus memikirkan nama Dave yang familiar di telinganya itu. Untuk tahu, ia memutuskan untuk bertanya pada Dave. Sayangnya, sebelum dia bertanya, suara pesan ponsel Alana terdengar. Alana segera mengecek pesan itu untuk tahu dari siapa. [Dari mana kamu dapat uang untuk membayar semua biaya rumah sakit?] Satu pesan dari mamanya itu, Alana langsung tahu jika biaya rumah sakit sudah dibayar oleh Dave. Ada perasaan lega menghampiri hati Alana ketika biaya rumah sakit sudah bisa dipenuhi. Tinggal nanti ayahnya akan melakukan operasi dengan lancar. Tak masalah bagi Alana jika harga yang dibayarnya cukup mahal yaitu pernikahan. Yang terpenting ayahnya bisa sehat. Mengingat mama tirinya, Alana teringat jika pernikahan ini akan menimbulkan masalah jika mamanya tahu. Karena itu dia berniat merahasiakan semua. “Bisakah pernikahan ini dirahasiakan dari keluargaku dulu?” pinta Alana, menatap Dave yang sibuk menatap jalanan yang dilalui. “Kenapa?” Dave bertanya tanpa menoleh ke arah Alana. “Ini terlalu mendadak. Aku takut menimbulkan masalah. Keluargaku sedang sibuk dengan Ayah yang akan operasi. Jadi, aku mau konsentrasi ke sana dulu.” Dave tampak menimbang. “Baiklah.” Alana bersyukur Dave mau menurutinya. Paling tidak, Alana tidak pusing memikirkan masalah yang akan timbul dari pernikahan ini. Sampai akhirnya mobil berhenti di sebuah komplek apartemen. Alana memandang komplek apartemen yang terlihat tidak terlalu mewah sambil menutup pintu mobil di sampingnya. Alana tidak tahu kenapa Dave mengajaknya ke sini. Siapa yang akan dikunjungi? Namun, sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Alana melihat Dave memandangnya lekat. Sadar bahwa Dave sedang menunggunya, Alana buru-buru mengikuti langkah Dave dari belakang, hingga mereka tiba di depan sebuah unit apartemen. Dave menekan kode akses pintu, lalu membuka pintu apartemen sambil berkata, “Kita akan tinggal di sini.” “Apa?! Kita akan tinggal di sini?”Bab 6“Iya.” Dave melebarkan pintu dan segera masuk ke apartemen.Apartemen tampak sederhana, tetapi cukup fungsional. Di dalamnya terdapat satu tempat tidur ukuran single yang bersebelahan dengan meja kerja dan lemari. Sementara itu, terdapat dapur kecil yang berada tepat di sisi pintu masuk, menjadi area pertama yang dilihat ketika masuk. “Apa ini tidak terlalu kecil untuk kita berdua tempati?” Alana menatap Dave dengan tatapan bingung.Dave mendengus kecil. Ia mengenal Alana.Wanita itu terbiasa hidup mewah. Apartemen ini jelas tak layak untuk ditinggali seorang Alana Shanara. Jadi, pasti Alana akan protes seperti itu. “Lalu menurutmu di mana seharusnya kita tinggal? Tempat ini kurang cocok untukmu?”Alana diam. Tak menjawab ucapan Dave.“Nikmati saja hidup denganku,” ucap Dave dingin.Apartemen sudah sesuai keinginan Dave. Asistennya benar-benar mencarikan apartemen yang kecil untuknya. Ada alasan mengapa Dave membawa Alana tinggal bersamanya di apartemen ini.Dave segera mendu
“Apa?!” Alana membelalak ketika mendengar apa yang diinginkan oleh pria di depannya. Tubuhnya menegang, nyaris kehilangan kendali.Pria itu justru hanya diam saja melihat Alana yang terkejut. Seolah tak terganggu sama sekali dengan yang Alana lakukan.Pembicaraan ini tampaknya sudah mengarah serius. Alana tidak mau sampai emosinya meluap lagi dan menjadikannya pusat perhatian orang-orang. Akhirnya ia menarik pria itu menjauh.“Kenapa kamu mengajak aku menikah?” Alana berusaha untuk tetap tenang, walaupun saat ini perasaannya campur aduk.Pria itu tampak masih tenang. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatap Alana dengan santai. Seolah topik pernikahan yang baru saja dibahasnya ini bukan hal besar. “Bukankah ada harga yang harus dibayar?”Alana masih tidak habis pikir dengan yang diminta pria itu. “Iya, tapi dengan pernikahan?” tanyanya.Pria itu hanya mengangguk singkat dan satu alisnya terangkat tipis.Wah, Alina tidak bisa percaya dengan yang dia lihat. Pria ini gil
Pandangan Alana tertuju pada pria tegap dengan balutan jas mahal yang sedang berjalan ke arahnya. Ia tidak menghindar. Justru diam membeku di tempatnya berpijak. Tepat di depannya sekarang, pria itu berhenti. Menatap dengan tajam. Tanpa bicara apa-apa.Kenapa dirinya harus bertemu pria ini? Masih segar di ingatan Alana bagaimana tadi pagi ia menemukan dirinya tanpa pakaian berada di kamar dengan pria ini. Kejadian semalam benar-benar membuatnya enggan bertemu dengan pria di depannya ini. Terlebih lagi, ia sedang sibuk memikirkan biaya rumah sakit sang ayah.Namun, yang paling jelas Alana ingat adalah ketika tuduhan keji yang dilemparkan padanya. Seolah-olah ia adalah wanita yang suka tidur dengan sembarang orang.Alana merasa pria di depannya ini datang di waktu yang tidak tepat.Masih menjadi pertanyaan juga di kepalanya, untuk apa pria di depannya itu berada di tempat yang sama dengannya?Namun, melihat dominasi pria di depannya yang begitu kuat, membuat tubuh Alana menegang. Ke
Alana memegangi bekas cengkeraman Arini. Berharap dapat meredakan rasa sakit. Tetapi, rasa sakit di hatinya lebih perih karena ucapan Arini tentang ayahnya.Hanya saja, saat ini Alana sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. “Aku akan segera mencari uang untuk biaya rumah sakit, Ma. Tenang saja,” ucapnya meyakinkan. Pikirannya saat ini hanya dipenuhi tentang ayahnya.Arini mendengus kesal. Tatapannya penuh cibiran pada ucapan Alana. Seolah tak percaya. “Mencari-mencari! Kamu pikir akan mudah mencari uang dalam semalam!” Alana tahu, jika tidak akan mudah mendapatkan uang dalam waktu singkat. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan uang puluhan juta dengan mudah.Beberapa kali Alana mencoba menghubungi saudara untuk meminta bantuan, tapi tak ada satu pun yang mau membantu. “Harusnya kamu mengikuti apa yang diminta Jenny. Jadi sekarang kita bisa dapat uang.” Arini menatap tajam, kesabarannya sudah habis. Apa yang dilakukan Alana sangat merugikannya. Apa Arini tidak tahu semalam Alan
Alana berusaha untuk mengingat siapa pria yang baru saja tidur dengannya itu. Sayangnya, ia tidak ingat siapa pria itu.“Dia kenal aku, tapi kenapa aku tidak ingat siapa dia?”Semakin Alana berusaha untuk memikirkan siapa pria barusan, kepalanya semakin pusing.“Aku pusing sekali.” Perlahan Alana mengangkat tangannya.Tubuhnya yang ikut bergerak saat tangannya diangkat, membuatnya merasakan sakit di bagian intimnya.“Aucchh ....” Alana meringis kesakitan.Alana hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika merasakan rasa sakit itu. Ini adalah kali pertamanya melakukan hubungan intim. Pantas jika sakit.Dering ponsel yang terdengar tiba-tiba, mengalihkan perhatian Alana. Dering ponsel itu terus terdengar, seolah tak memberikan ruang Alana untuk merasakan sakit.Untuk saat ini sejujurnya Alana tidak ingin bicara dengan siapa pun. Perasaannya masih kacau.Sayangnya, Alana harus menyingkirkan perasaannya untuk segera mencari ponselnya yang terus berdering.Perlahan Alana turun dari tempat t
“Sudah, Kak. Aku tidak mau lagi.”Alana menyingkirkan gelas dari hadapan dengan dorongan pelan. Tangannya gemetar, matanya memohon pengertian, tetapi tidak ada sedikit pun rasa iba dari wanita di hadapannya.“Kamu tahu kita butuh uang, Alana.” Jenni, kakak tirinya kembali menggeser gelas itu ke hadapan Alana. “Minum saja. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghargai undangan temanku.” Alana menatap cairan bening dalam gelas, lalu ke arah wanita yang sejak tadi tersenyum tipis. Alana menyerah, kemudian menenggak isi gelas itu sambil menahan napas.Saat ini, Alana sedang mendatangi sebuah pesta yang diadakan teman dari Jenni. Alana tidak menyukai pesta, tetapi Jenni mengatakan jika mereka datang dan menikmati pesta ini, mereka akan mendapatkan uang dari temannya Jenni itu.Demi ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit, Alana terpaksa datang ke pesta ini.Jenni mengamati Alana yang mulai limbung setelah meminum bergelas-gelas. Sudut bibirnya terangkat sinis. “Cepat juga pengaruhnya,”