Alana membulatkan matanya. Ia tidak mengerti maksud dari perkataan Dave barusan. Jika bukan dengan uang, lalu bagaimana ia harus membayar?“Maksudmu … bagaimana?” tanyanya hati-hati, suaranya terdengar nyaris bergetar.Dave menoleh sekilas, bibirnya terangkat tipis. “Habiskan waktumu denganku.”Kalimat sederhana itu justru membuat Alana menelan ludah. Kepalanya seketika dipenuhi berbagai pikiran. Menghabiskan waktu? Apakah maksud Dave sama seperti yang ia pikirkan? Apa pria itu ingin… melakukan sesuatu yang lebih jauh?Pipi Alana memanas hanya karena membayangkannya. Ia tahu sebagai istri, hal itu adalah kewajibannya. Tapi, dirinya belum siap, terlalu tiba-tiba, terlalu mendadak. Ia bingung harus menjawab apa.“Bagaimana?” desak Dave, kali ini dengan tatapan lurus yang sulit terbaca.Alana mengangguk kecil, ragu-ragu. “B-baiklah.”Dave tersenyum, lalu kembali menekan pedal gas. Mobil melaju stabil, sementara hati Alana tidak tenang.Sepanjang perjalanan, pikirannya tak berhenti berput
Kedua bola mata Alana membulat sempurna. Lagi dan lagi, Dave membantunya. Padahal sudah banyak Dave membantunya. Alana sampai tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Dave itu. Andai Alana punya uang sendiri, mungkin ia tidak perlu meminta tolong pada DaveNamun, ia tidak punya uang. Apalagi sebanyak tiga puluh juta. Dave menghela napas pelan lalu merogoh ponselnya dari saku celana. “Berikan nomor rekening kalian,” ucapnya tenang namun tegasSalah seorang pria penagih hutang segera menyodorkan secarik kertas. Gerakannya tergesa, seolah khawatir Dave akan berubah pikiran. Dave menerimanya, menunduk sejenak, lalu jemarinya lincah menari di layar ponsel. Hanya dalam hitungan detik, ia menekan tombol terakhir“Aku sudah mengirimnya.” Tatapannya lurus, tajam, penuh wibawa pada pria di depannyaPenagih itu segera mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi bank dengan wajah penuh harap. Begitu melihat saldo yang bertambah, bibirnya terangkat lebar.“Bagus, sudah masuk,” ujarnya puas. Sen
Alvin menaik napas. Berusaha untuk memberanikan diri untuk memberitahu anaknya. “Mereka adalah debt collector pinjaman online yang datang menagih hutang mamamu.” Alvin mengembuskan napasnya kasar. Alana membulatkan matanya. Lagi-lagi mamanya membuat masalah dengan berhutang. Padahal belum lama mamanya meminjam Dave. Itu pun Alana masih mencicil pada Dave. Kini mamanya meminjam pada pinjaman online lagi. “Ayah terkejut tadi. Sampai dada Ayah terasa sakit. Karena itu Ayah ke kamar dan minum obat.” Alvin memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Alana menangis lagi. Ia memegangi dada ayahnya. Tak tega melihat ayahnya yang merasa sakit seperti sekarang. “Ayah tidak perlu pikirkan masalah ini. Alana akan selesaikan semuanya.” Alana menatap ayahnya dengan mantap. Seperti biasanya, ia selalu berusaha meyakinkan ayahnya. Alvin menangis. Tak tega melihat anaknya yang selalu jadi tumpuan. Selalu menanggung semua yang terjadi di keluarga. “Kamu sudah banyak membantu. Ayah merasa malu de
“Aku juga sama.” Alana menatap lekat wajah Dave. Kata-katanya tulus dari dalam hatinya yang dalam. Sejak mengakhiri hubungan dengan Dave, Alana tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Ia menutup hati untuk orang lain. Lagi pula, ia tidak sempat menjalin hubungan dengan pria. Ia terlalu sibuk mengurus ayahnya. Tak punya waktu untuk berpacaran. Dave tersenyum. Ia bahagia mendengar jawaban Alana itu. Ternyata ia tidak sendiri. “Selain balas dendam, aku sengaja menikahimu agar kamu tidak pergi lagi. Aku pernah kehilanganmu dan tak mau itu terulang lagi.” Belaian lembut dia berikan pada Alana. “Aku akan tetap di sini. Bersamamu.” Suara Alana lolos begitu saja dari mulutnya. Sorot matanya begitu dalam. Jawaban itu menghangatkan hati Dave. Ia benar-benar bahagia. Akhirnya, ia tidak akan kehilangan Alana lagi. Ia mengikis jarak. Mendaratkan kecupan di dahi Alana. Mata Alana terpejam. Ciuman itu terasa menenangkan hatinya. Suara dering ponsel yang berbunyi, membuat mereka terk
Alana sampai harus memiringkan tubuhnya untuk menatap Dave lebih dekat. Matanya tak berpaling sedikit pun dari Dave. Ia ingin menemukan kebenaran di balik sorot mata Dave. “Aku memang penerus Tanu Karya,” jawab Dave. Suaranya renyah, diselipi senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Dahi Alana langsung berkerut dalam. Ucapan Dave itu berputar di kepalanya. Penerus Tanu Karya. Alana ingat betul jika di masa lalu, Dave begitu sangat sederhana. Berangkat sekolah dengan angkot. Pakaian tidak bermerk. Bahkan ia sering menolak ajakan teman untuk makan karena tidak punya uang saku. Dulu Alana sering beralasan membagi bekal karena terlalu banyak membawanya. Padahal ia sengaja membawa makanan lebih banyak agar Dave bisa makan. “Bagaimana bisa?” Bibir Alana gemetar menahan kebingungan. Dave tampak tenang di saat Alana kebingungan. “Kalau kamu penerus, seharusnya dulu kamu hidup mewah, penuh fasilitas. Tapi, dulu ….” Alana menggantung ucapanya. “Hidup sederhana?” Dave melanjutkan ucapa
Tangan Dave menyentuh wajah Alana dengan lembut. Jemarinya bergeser ke dagu dan menariknya perlahan. Ia memiringkan kepalanya hingga jarak di antara mereka semakin menyempit. Tatapannya terkunci pada mata Alana sebelum akhirnya ia menunduk, mendaratkan bibirnya di bibir Alana. Hangat dan lembut, terasa begitu nyata. Lumatan kecil yang begitu lembut diberikan begitu penuh hasrat. Seakan ia memastikan jika Alana gejolak yang dirasakan di dada. Tangannya yang mulai turun perlahan, beralih pada pinggang ramping Alana. Menariknya agar semakin lebih dekat. Alana sempat terperanjat. Tubuhnya tiba-tiba kaku dengan apa yang dilakukan Dave. Ia membiarkan Dave melakukannya tanpa ada balasan.Gerakan yang begitu lembut itu menumbuhkan hasrat yang tiba-tiba menggebu. Hingga mengantarkannya membalas lumatan demi lumatan. Tangan Alana yang bergerak ke atas, melingkar di leher Dave. Tarikan lembutnya justru mengantarkan ciuman itu lebih dalam. Keduanya larut. Suara kecapan pertukaran dua sali