Jenny menatap adiknya bingung. Kenapa adiknya itu justru menutup kembali pintu, padahal orang di dalam mau membukanya. “Kak, aku akan jelaskan nanti. Sebaiknya Kak Jenny pulang saja dulu,” pinta Alana dengan tatapan memohon. Jenny menatap Alana sinis. Ia semakin curiga jika Alana menyembunyikan sesuatu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu. Cepat katakan!”“Aku akan jelaskan, Kak, tapi nanti. Bukan sekarang.” Alana terus memegangi gagang pintu. Terasa gagang pintu hendak dibuka dari dalam dan ia yakin Dave sedang berusaha membukanya. “Aku tidak akan pergi sebelum mengetahui semuanya.” Jenny mendorong tubuh Alana agar menyingkir dari pintu. Alana bertahan. Tak mau sampai Jenny masuk dan menemukan Dave di dalam. Untuk saat ini, Alana belum siap jika Jenny tahu. Jika Jenny tahu, ia pasti akan memberitahu ayahnya dan ini tidak baik untuk jantung ayahnya. Alana terus mempertahankan pintu yang dipegangnya, sedangkan Jenny berusaha menyingkirkan tubuh Alana. Sayangnya, kekuatan Jenny
Dave mengantarkan Alana ke restoran untuk bertemu dengan kakeknya. Sepanjang jalan, Dave tampak tenang. Tampak begitu percaya diri mengantarkan Alana. Saat sampai di restoran, Mahesa belum datang. Mereka harus menunggu lebih dulu. Sekitar lima belas menit barulah Mahesa datang. “Maaf aku terlambat.” Mahesa mengulurkan tangannya. “Tidak apa-apa, Pak. Kami belum lama.” Alana menerima uluran tangan Mahesa, menjabat tangan itu seraya tersenyum. Dave yang berada di sebelah Alana pun juga ikut menjabat tangan Mahesa. Mereka duduk bersama. Memesan minuman hangat untuk menemani mereka mengobrol. “Ada apa kamu meminta aku ke sini? Apa ada yang kalian ingin bicarakan?” Mahesa menatap Alana dan juga Dave. Alana menatap Dave. Seolah meminta izin pada suaminya itu. Anggukan Dave pun mengantarkan Alana bersuara. “Saya ingin bertanya, apa Anda membantu Dave mendaftarkan ayah saya untuk melakukan pemeriksaan dengan dokter terbaik di rumah sakit?” Alana menatap lekat-lekat wajah Mahesa. Mah
Dave mengalihkan pandangannya pada Alana. Wajahnya tampak begitu tenang ketika istrinya tampak menggebu-gebu saat bertanya. “Kamu tahu bukan jika dokter profesor itu mahal? Dan lagi, bagaimana bisa kamu dapat akses begitu cepat untuk melakukan pemeriksaan. Padahal antriannya tadi begitu banyak sekali?” Alana begitu menggebu-gebu saat bicara. “Jika kamu memberondong pertanyaan sebanyak itu, bagaimana aku menjawabnya?” Pandangan Dave lurus ke jalanan yang dilaluinya. Alana seketika diam. Ia terlalu menggebu-gebu sampai tak terkontrol. Dave mengalihkan pandangannya ke arah Alana. “Aku akan jawab dan jawabannya hanya satu. Pemilik rumah sakit itu adalah kenalan dari Pak Mahesa. Jadi aku dapat kemudahan itu.” Amarah yang tadi menggebu perlahan mulai mereda. Jika Mahesa yang membantu Dave, memang mungkin saja jika kemudahan itu didapatkan. Namun, Alana tidak yakin. Wajah Alana itu dibaca oleh Dave. Ia menebak jika Alana tidak percaya dengan apa yang dikatakan. “Kalau kamu tidak perc
Mata Alana memicing. “Apa yang aneh, Yah?” tanyanya penasaran. Alvin diam sejenak. Menimbang apa yang harus dikatakan pada anaknya. Setelah siang, akhirnya ia mulai berbicara dengan perlahan. “Jadi waktu di rumah sakit, ayah tidak mengantri. Padahal biasanya ayah harus lama mengantri.” Dahi Alana berkerut dalam. Sedikit bingung dengan penjelasan ayahnya. “Mungkin sedang sepi, Yah,” ucapnya menatap “Tidak, Alana. Justru antriannya banyak sekali.” Dave tidak pernah cerita seperti ini pada Alana. Dia hanya menceritakan keadaan ayahnya baik. Jika antriannya banyak, lalu bagaimana bisa ayahnya masuk lebih dulu dibanding pasien lain. Alana jelas bingung dalam hal ini. “Ayah juga beralih dokter. Ayah sekarang ditangani oleh profesor spesialis jantung di sana. Bukan dokter yang kemarin.” Seketika wajah Alana berubah semakin terkejut. Matanya yang awalnya menyipit seketika membulat sempurna. Ia tahu persis jika dokter profesor seperti itu mahal. Dulu Alana sengaja memeriksakan pada d
Belum selesai Alana bicara, tiba-tiba suara seseorang terdengar menyela ucapannya. Alana buru-buru mengalihkan pandangannya untuk melihat pemilik suara. Benar dugaanya, pemilik suara itu adalah Dave. Dengan langkah tenang, Dave menghampiri Alana dan Akram. Alana mengembuskan napasnya. Belum selesai urusan Alana dengan Akram, tiba-tiba saja Dave datang. Masalah pastinya akan semakin rumit jika Dave tahu. “Apa yang terjadi sebenarnya?” Dave menatap Alana sambil mengendikkan dagunya. Alana gugup. Bingung harus bagaimana menjelaskan pada Dave. “Apa yang kamu ganti ke Akram?” Dave menatap tajam pada Alana yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.Alana menelan salivanya. Tatapan Dave terasa begitu menakutkan. Tidak ada pilihan selain menjelaskan. “Kakakku meminjam uang pada Akram. Dia mengira Akram adalah kamu.” Alana menjelaskan sambil mengembuskan napasnya kesal mengingat apa yang dilakukan kakaknya. Dave langsung mengalihkan pandangan tajam pada Akram. Sorot matanya terlihat ti
Alana menatap kakaknya yang tampak terkejut melihat kedatangannya. Tadi, Alana melihat kakaknya ketika mobil yang ditumpangi hendak keluar dari kantor. Ia buru-buru meminta Dave berhenti. Kemudian turun untuk menemui kakaknya. Ia sangat penasaran sekali dengan kehadiran kakaknya itu. Karena ini kali pertama melihat kakaknya ke kantor. Jenny panik. Wajahnya seketika pucat. Seperti maling yang baru saja ketahuan.“Kak.” Alana menatap kakaknya sambil menepuk bahu kakaknya lagi. Meminta jawaban dari kakaknya itu. “Aku sedang melihat-lihat kantormu.” Suara Jenny tampak tenang.Sayangnya, tetap saja Alana curiga. Ia menatap mata kakaknya dalam-dalam untuk mencari kebohongan di dalamnya. “Aku tadi lewat sini. Karena itu, aku mampir. Aku mau tahu kantormu seperti apa,” jelas Jenny lagi. Alana masih menatap kakaknya penuh curiga. Ia tidak percaya begitu saja. “Kalau begitu aku pergi dulu.” Jenny segera berlalu pergi. Apa yang dilakukan kakaknya itu semakin membuat Alana curiga. Ia pun a