Share

Mendadak Jadi Pengantin Kekasih Sahabatku
Mendadak Jadi Pengantin Kekasih Sahabatku
Author: Tifa Nurfa

Bab 1. Dikatai Perawan Tua

Bab 1. Dikatai Perawan Tua

"Kapan kamu akan menikah, Mir?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Baru saja Ibu masuk ke rumah dengan wajah masam setelah membeli sayur di pedagang sayur keliling yang berhenti di depan rumah. Setelah mengempaskan dirinya di atas sofa ruang tamu, beliau langsung menanyakan hal tersebut.

"Itu lagi," keluku, tidak berminat menjawab pertanyaan tersebut.

"Ya iyalah!" Ibu langsung menyahut ketus.

"Kamu itu sudah 27 tahun, sebentar lagi menginjak kepala tiga! Apa kamu nggak pengin nikah?!"

Meskipun Ibu tampak menggebu-gebu, aku tetap menanggapinya dengan santai.

"Belum ada jodohnya, Bu," jawabku.

"Jodoh, gundulmu! Kamunya aja yang nggak niat!" sergah Ibu, akhirnya mengamuk.

"Kamu itu! Dijodohkan sama anaknya Pak Lurah nggak mau, sama tentara anak Pak Mandor juga kamu tolak! Padahal mereka itu kan ganteng, mapan, kamunya aja yang selalu saja banyak alasan!"

Aku diam saja dimarahi, hingga akhirnya Ibu melanjutkan dengan pertanyaan, "Kamu ini ... normal, kan?"

Tatapan memincing serta nada bicara Ibu membuatku terbelalak.

"Astaghfirullah, Ibu!" balasku kesal.

"Ngomong apaan sih? Ya tentu aku normal lah! Tega banget Ibu nanyanya gitu!"

"Ya habisnya! Kamu seperti nggak ada rasa tertarik sama–"

"Assalamualaikum! Bu Salma!" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang kukenali sebagai Bu Inneke, tetangga yang hobi bergosip di lingkungan ini masuk tanpa dipersilakan terlebih dahulu sembari menenteng bungkusan plastik putih.

"Ini udang belanjaan Bu Salma ketinggalan!"

"Oh." Ibu buru-buru memasang senyum dan ekspresi ramah.

"Makasih ya, Bu Inneke."

"Sama-sama, Bu. Katanya tadi sudah dihitung," ucap Bu Inneke lagi. Lalu ia beradu pandang denganku yang masih mengenakan baju rumahan.

"Eh, ada Amira, nggak kerja, Mir?"

Nadanya genit sekali, seakan sedang menggodaku dengan jail.

"Kerja, Bu. Berangkat jam sembilan." Aku tetap membalas dengan sopan, meskipun enggan mengobrol lebih lama.

Di lingkungan ini, Bu Inneke terkenal suka kepo dengan urusan orang lain juga. Mungkin untuk bahan gosipnya.

"Owh ya, Kalau kafe milik sendiri mah enak ya, berangkat kapan saja bebas," tanggap Bu Inneke.

"Mau datang mau nggak terserah kita, wong punya sendiri. Semua dikerjain karyawannya."

Aku hanya tersenyum tipis dan berniat masuk ke kamar lagi untuk bersiap-siap.

"Hebat ya kamu, Mir. Masih muda sudah sukses, punya usaha sendiri," ucap Bu Inneke lagi.

"Tapi jangan terlalu sibuk lho. Nanti lupa cari pasangan hidup. Masa sudah tua kok masih asyik sendiri aja. Kasihan bapak ibumu, pasti sudah mau nimang cucu."

Seketika aku merasa tak nyaman dengan ucapan Bu Inneke. Mungkin inilah yang membuat mood Ibu rusak pagi-pagi dan menagihku soal pernikahan. Beliau pasti kepikiran dengan omongan Bu Inneke.

Sementara itu, Bu Inneke masih melanjutkan, "Lihat tuh, teman-teman seusia kamu. Sudah pada punya anak. Sudah ada yang dua, tiga. Lha kamu, kapan?"

"Bu," sahutku pada akhirnya. Lama-lama gerah juga. .

"Menikah itu bukan ajang perlombaan. Jadi bukan perkara siapa yang duluan, siapa yang belakangan, tapi karena semua datang dengan waktunya sendiri-sendiri."

Bu Inneke berdecak. "Halah! Alasan klasik itu, Mir!" balasnya.

"Kamu itu jangan terlalu pemilih lah. Kamu itu mau cari yang kayak gimana lagi? Mau jadi perawan tua? Siapa yang mau, Mir!"

“Aduh, Bu. Kan, bukan masalah Ibu juga,” jawabku sembari menekan perasaan dongkol di hati.

"Yang menikah nanti kan saya, bukan Ibu. Bu Inneke kan sudah nikah dua kali, masa mau lagi."

Bu Inneke terperangah mendengar jawabanku. Wajahnya yang bulat tampak geram dan merah, tidak terima.

"Kamu–"

"Saya permisi dulu ya, Bu. Mau siap-siap," ucapku buru-buru. "Mau urus kafe, biar sukses dan nggak numpang sama suami saya nanti."

Tanpa mendengar respons tetangga satu itu, aku masuk kamar. Aku tidak peduli kalau-kalau nanti aku dimarahi Ibu atau Ayah.

Geram rasanya jika wanita paruh baya itu datang bertandang ke rumah. Pasti ujung-ujungnya bikin aku kesal.

"Nggak sopan kamu, Mir! Orang tua kasih petuah baik kok malah dikatain!" Meski begitu, aku bisa mendengar omelannya dari dalam kamar.

"Bu Salma, lihat nih anakmu! Pantas dia nggak laku! begini kelakuannya! Dasar perawan tua!"

Mataku terpejam, mencoba mengendalikan kekesalan dan kemarahanku atas kata-kata si tetangga yang pastinya tidak hanya menyakiti hatiku, melainkan hati kedua orang tuaku yang mendengarnya.

Apalagi Ibu. Beliau pasti langsung kepikiran. Selalu seperti itu, Ibu terlalu baper jika ada orang lain atau tetangga yang mulai membahas masalah jodoh untukku.

Bukannya aku tak ingin menikah, tapi belum ketemu yang cocok.

Masa iya aku mau asal nikah aja? Pernikahan adalah hal yang sakral dan aku ingin menikah dengan orang yang benar-benar tepat, berharap bisa menikah sekali seumur hidup, dan bersama-sama mengarungi rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.

Apa itu salah?

Meskipun aku perempuan, apa aku juga tak boleh memilih?

Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera berangkat ke kafe. Sore nanti juga aku harus berangkat ke acara kondangan pernikahan sahabatku. Aku tidak mungkin melewatkannya.

Toh, calon suami tidak akan tiba-tiba muncul kalau aku cuma galau begini.

Atau begitulah yang kupikirkan.

*

'Pengantin wanitanya tidak ada! Dia hilang!"

Suasana ricuh langsung menyambutku begitu aku sampai di area rias pengantin, di belakang gedung.

Seharusnya ruangan ini adalah tempat berkumpul keluarga inti sahabatku, Evita, untuk dirias dan di mana Evita sedang menunggu pengiring pengantinnya menuju pelaminan.

Namun, yang ada di sini adalah ketegangan. Bahkan ibu sahabatku itu kulihat sedang tergeletak di bangku panjang–pingsan.

Belum saja aku sempat bertanya, salah seorang sepupu Evita berdiri di sampingku dengan wajah panik, sibuk mencoba menelepon seseorang.

"Duh, gimana sih ini Evita! Angkat dong!” gerutunya. Ia tampak gusar, meskipun wajahnya pucat.

"Kamu di mana sih!?"

"Ada apa ini!?"

Tiba-tiba perhatian semua orang terarah pada sesosok pria paruh baya yang baru saja datang. Pandangannya tajam menyapu kepanikan keluarga Evita di dalam ruangan–yang makin menjadi karena suaranya menggelegar.

Di belakang pria itu, tampak dua sosok yang kukenali.

"Ayah? Ibu?" gumamku terkejut. Mereka sempat mengatakan kalau sore ini akan menghadiri acara pernikahan putra sahabat dekat mereka.

Apakah ini acaranya? Jadi putra sahabat orang tuaku akan menikahi sahabatku … yang saat ini entah di mana?

Astaga!

"Amira!" Tidak hanya aku, Ibu dan Ayah juga sama terkejutnya. Mereka berbisik hati-hati, tampak tegang dan langsung menarikku mendekati mereka.

"Apa yang–"

"Apa maksud kalian pengantin wanitanya tidak ada!?" bentak pria yang tadi menambah ketegangan di ruangan ini, yang kukenali sebagai sahabat Ayah dan ibu. Beliau sedang berdiri berhadapan dengan ayah Evita.

"Bagaimana bisa dia kabur!? Kalian berniat mempermalukan kami ya!"

Aku ikut tegang. Tidak berani bersuara maupun bergerak sedikit pun.

Aduh, Evita. Masalah apa yang kamu sebabkan….

"Ma-maaf, Besan," ucap sosok yang kukenali sebagai ayah Evita.

"Kami–"

Sahabat ayahku mengibaskan tangannya, tidak mau dengar dan langsung berbalik pada ayah dan ibuku.

Aku memperhatikan pria itu sempat tertegun saat melihatku dan bertanya, "Siapa ini?"

"Ini putriku, Ful," ucap ayahku pada kawannya yang belakangan kuketahui bernama Saiful itu.

"Namanya Amira."

Pak Saiful melihatku dalam waktu yang cukup lama. Keningnya berkerut, seperti sedang berpikir.

Hingga akhirnya, tiba-tiba ia bertanya, "Anakmu sudah menikah?"

Ayahku tampak heran. "Belum. Dia–"

Pak Saiful mengangguk.

Pria paruh baya itu menatap ayahku dengan pandangan lurus dan penuh tekad.

"Mustafa, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" ucap Pak Saiful.

"Izinkan putrimu untuk menikah dengan putraku."

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status