Bab 2. Pernikahan Dadakan si Pengantin Pengganti
"Izinkan putrimu menikah dengan putraku!"Tubuhku bagai tersambar petir ketika mendengar pria paruh baya yang tadinya menjadi calon mertua sahabatku itu tiba-tiba menawarkan pernikahan kepada ayahku.Tidak hanya itu, ayahku langsung mengangguk."Ayah!" Aku langsung memprotes.Niatku datang ke sini hanyalah menghadiri pernikahan sahabat lama, bukan menggantikan sahabatku menikah!Dan lagi, bagaimana bisa aku menikahi calon suami dari Evita, sahabatku sendiri!?Aku tidak mau!Namun, sebelum aku bisa menyuarakan penolakan, Ibu langsung menggenggam kedua tanganku dan menatapku penuh harap."Amira … Nak." Ibuku berbisik lembut."Sepertinya ini jalan dari Tuhan buat kamu. Mau ya, Mir."Aku menggeleng, membuat genggaman ibuku makin erat."Kamu itu sudah dewasa. Apa lagi yang kamu tunggu? Ayah dan Ibu ingin melihat kamu segera menikah." Ibu kembali berkata."Kalau nunggu yang sempurna, tidak akan ada, Mir. Selama ini kamu sibuk merintis usaha, sampai kamu lupa untuk segera cari pasangan. Ibu tidak mau putri Ibu yang cantik ini dijuluki perawan tua oleh tetangga. Sakit hati Ibu, Mir."Kugigit bibirku, tidak tahu harus membalas apa.Selama ini aku mencoba menanggapi cemooh tetangga dengan santai, karena aku tidak mau terlalu terbawa perasaan.Namun, tampaknya tidak cukup. Ada perasaan lain yang harus kujaga selain perasaanku sendiri. Yaitu perasaan Ibu dan Ayah.Aku hanya tak ingin kembali tersakiti, aku yang pernah merasakan trauma karena dikhianati oleh orang yang sangat kusayangi.Ya, aku pernah sangat mencintai laki-laki saat kuliah dulu, dan kami sudah sama-sama komitmen untuk menghalalkan hubungan kami saat lulus kuliah nanti. Tapi, ternyata secara tiba-tiba Dia menikah dengan wanita lain, tak ada masalah apapun diantara kami, tiba-tiba dia menikah dengan perempuan lain di saat aku sudah menaruh harapan besar padanya. Sakit. Sangat sakit.Sejak itu aku memutuskan untuk tidak sembarang memilih laki-laki. Terbukti laki-laki yang dianggap baik, ternyata tega menyakitiku.Akan tetapi, dari usahaku yang memilih pria dengan hati-hati sebagai pendamping hidupku itu, kini aku justru akan menikah tiba-tiba dengan pria yang sama sekali tidak aku kenal.Sungguh ironis, bukan?"Nggak apa-apa. Ayah sama Ibu kenal baik sama keluarga suamimu." Ibuku kembali berucap saat aku sudah memakai kebaya putih dan mengenakan rias pengantin.Tampaknya aku tidak bisa mundur lagi.Pandanganku nanar saat aku dibimbing ke pelaminan oleh orang tuaku. Sama sekali tidak terpikir olehku bagaimana para tamu dan keluarga Evita menyikapi pergantian pengantin yang mendadak ini.Ah–dan mempelai pria itu."Apakah Evita sudah datang, Ayah?" Kudengar seseorang bertanya sesaat sebelum aku keluar.Pak Saiful menggeleng."Tapi kamu akan tetap menikah," lanjutnya tepat saat aku muncul di hadapan."Ini Amira. Calon istrimu."Aku bisa melihat bagaimana ekspresi kekecewaan di wajah pria yang dikatakan sebagai calon suamiku itu mendadak berubah keras. Ia tampak terkejut dan netra kami sempat bertemu.Ada ekspresi kekecewaan, kemarahan, serta penolakan di sana.Pernikahan ini pasti tidak akan mudah."Aku–""Sudah!" sergah Pak Saiful, berbisik kasar pada putranya."Jangan bikin malu keluarga, Raka. Ini semua juga karena calon kamu yang tidak benar itu!"Sang putra tertegun, tidak mampu menjawab kata-kata ayahnya.Pak Saiful kemudian mengelus pelan bahu lebar laki-laki itu."Ayo. Penghulunya sudah menunggu sejak tadi."*Acara pernikahan berlangsung dengan cepat–atau setidaknya demikian bagiku karena aku masih mencoba mencerna apa yang terjadi.Ikrar ijab qabul atas namaku tadi terdengar lancar meski Raka mengatakannya dengan suara bergetar.Lalu aku mencium tangan pria itu.Aku akan terus mengingat wajahnya yang pucat, bahkan bisa kulihat netra itu berkaca-kaca menatapku. Memancarkan luka yang teramat dalam tergores di sana.Ah, sudah pasti ia terluka, ditinggal pergi oleh kekasihnya di hari di mana seharusnya mereka berbahagia."Sekali lagi kami pihak keluarga mohon maaf atas semuanya Pak!" Ayah Evita memohon maaf pada pihak keluarga Raka selepas acara selesai.Baru ketika ini aku tahu bahwa keluarga Evita tetap mengikuti rangkaian upacara pernikahan hingga selesai, meskipun anak mereka tidak jadi menikah dan entah di mana.Kudengar, hingga sekarang pun Evita masih saja tidak ada kabar."Saya benar-benar kecewa!" tegas Pak Saiful. Ia masih saja marah."Kalau memang anak Bapak tidak ingin menikah dengan Raka, kenapa tidak disampaikan sejak kemarin-kemarin? Untung saja ada sahabat saya hadir di sini bersama putrinya, kalau tidak, mau ditaruh di mana muka saya!?""Kami benar-benar minta maaf, Pak. Saya sendiri juga tidak tahu ke mana perginya Evi–""Halah sudahlah! Memang dasarnya anak situ nggak punya pendirian! Bikin malu saja!" sentak Pak Saiful lagi."Sudah, sudah, sebaiknya kita pulang.” Bu Rita–istri Pak Saiful sekaligus ibu mertuaku sekarang, melerai."Yang penting kan sekarang kita tidak jadi malu. Malah bisa besanan dengan sahabat Papa, kan?"Aku hanya saling pandang dengan Ibu dan Ayah selama perdebatan itu terjadi.Akhirnya kami kembali pulang ke rumah.Ayah dan ibu meminta untuk pulang ke rumah kami saja, karena bagaimanapun aku pihak perempuan, dan ayah ingin besok pagi digelar acara tasyakuran walimah di rumah kami, dengan mengundang para tetangga serta saudara kami, untuk mengabarkan bahwa aku telah menikah.Keluarga Raka pun setuju mereka ikut serta menginap di rumah kami.Malam semakin merangkak naik, keluargaku dan keluarga Raka, bercengkrama bersama di ruang tengah.Tak lupa Ibu menghubungi beberapa orang tetangga yang biasa di sambat untuk rewang, agar datang ke rumah besok, Ayah juga mengabari ustaz untuk mengisi pengajian besok di acara walimah."Pengantin baru, ayo masuk kamar," ucap Ayah tba-tiba."Istirahat. Sana."Aku mengangguk, mencoba tidak memikirkan kejadian tidak terduga ini. Raka sendiri sejak tadi hanya terlihat diam, di saat semua anggota keluarga begitu terlihat bahagia, ia justru seakan sibuk dengan dunianya sendiri.Tapi aku paham. Ia pasti masih kecewa dengan kenyataan yang ada sekarang.Aku pun sama, ragaku memang ada di rumah ini bersama keluarga, tapi pikiranku melalang buana entah ke mana.Semuanya benar-benar seperti mimpi!Di dalam kamar, tak sepatah katapun keluar dari mulut laki-laki yang beberapa jam lalu sah menjadi suamiku, canggung sangat terlihat diantara kami.Aku pergi ke kamar mandi sebentar untuk berganti baju, dan membersihkan diri, namun saat aku kembali ke kamar, Raka sudah terlelap di ranjangku."Heh bangun! Ini ranjangku, Nih selimut, silakan kamu tidur di sofa!" pintaku seraya menyenggol punggungnya. Enak saja ia yang tidur di kasur, aku yang di sofa.Tak ada sahutan apa pun, artinya Raka memang sudah terlelap. Aku cemberut, berniat membangunkannya lagi.Namun, tiba-tiba terdengar suara Raka seperti memanggil nama seseorang yang tak asing bagiku."Vita! Jangan pergi … Vita….”Nada suaranya terdengar memilukan, hingga aku tidak tahan."Raka! Heh, bangun! Kamu mimpi buruk?"Tidak ada sahutan berarti, hanya gumaman-gumaman menyayat hati yang tidak terlalu terdengar jelas."Raka!" sentakku.Pria itu terlonjak bangun, kemudian menatapku dengan bingung sebelum kemudian membuang muka.Setelahnya, pria yang mendadak menjadi suamiku itu berkata, “Aku akan mencari Evita.”Bersambung.Aku mengabaikan apa yang ia katakan tadi. Terserah dia kalau memang mau cari Evita. Alhamdulillah kalau bisa ketemu dan aku terbebas dari pernikahan ini. Aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan, tanpa merespon apa yang di katakan Raka.Terlihat ia bangun dari sofa, meraih jaket dan kunci mobilnya, lalu keluar kamar.Ah, malah bagus dia tak ada, aku bisa tidur nyenyak, gumamku. Dan mulai memejamkan mata.Baru saja aku hampir terlelap, di luar kamar terdengar keributan."Ada apalagi sih! Mau tidur aja susah banget, ada saja gangguannya," gerutuku.Sayup-sayup bisa kudengar suara Tante Rita."Masuk! Mama bilang, masuk! Buat apa kamu cari perempuan itu lagi! Sudah bagus keluarga ini mau menolong kita, kalau tidak keluarga kita sudah di buat malu sama perempuan itu!""Ma, biar Aku cari Evita malam ini Ma.""Enggak! Jangan bikin gara-gara lagi kamu Ka! Jangan bikin malu Mama sama Papa di depan keluarganya Pak Mustafa! Mereka sudah sangat baik mau membantu kita!" Aku menempelkan satu
"Bagaimana?"Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?"Oke."Aku pun membubuhkan tanda tangan di bawah, lalu memberikannya kembali surat itu pada Raka.Ia mengangguk."Ini, simpanlah. Dan mulai sekarang kau bisa menempati kamar depan ini, dan aku di kamar itu, ucapnya sambil menunjuk dua kamar yang masih tertutup pintunya. Aku mengangguk. Kemudian bangkit seraya menarik koperku.Raka pun bangkit dan masuk ke kamarnya. Tatapan Raka sejak kemarin masih tak berubah, jangankan tersenyum, melihatku rasanya enggan. Ia hanya bicara seperlunya saja seperti tadi saat memberikan surat perjanjian itu.Aku mengerti, saat ini pasti hatinya tidak baik-baik saja.Aku memperhatikan ruangan yang akan menjadi kamarku ini. Sebuah ruangan yang tidak lebih besar dari kamarku di rumah, dengan nuansa serba putih dan dua jendela berukuran sedang.
Tak membuang waktu lama, aku langsung mengambil laptop dan beberapa barang-barangku yang tertinggal. Aku melirik jam di pergelangan tanganku sudah jam delapan malam, aku harus cepat kembali ke rumah Raka, sebelum hari semakin malam."Amira pamit pulang dulu ya Bu, Yah!" pamitku pada ayah dan ibu, yang masih ada di ruang tengah. Kulihat Mas Faisal juga sudah bersiap, dengan satu koper miliknya teronggok di dekatnya, sepertinya Mas Faisal pun akan pulang ke Bandung malam ini."Nggak makan dulu, Mir?" tanya ibu saat aku mencium punggung tangannya."Nggak usah, nanti di rumah aja, Ma. Keburu kemalaman soalnya." "Cie! Yang sudah jadi istri, nggak berani pulang larut malam lagi deh sekarang! Hahaha!" Mas Faisal kembali meledekku. Aku hanya memutar bola mataku, jengah.Padahal, mau aku pulang malam atau pulang pagi sekalipun, Raka nggak akan komplain, karena jelas tertulis di surat perjanjian itu, kalau diantara kami tidak boleh ikut campur urusan masing-masing."Ya nggak gitu juga, sih. Da
Dua box berisi nasi dan ayam goreng krispi lengkap dengan saus sambal ada di meja makan. Aku langsung membuka satu box, toh juga tadi Raka sudah menawariku.Sekarang entah dia ada dimana, aku tak peduli. Karena perutku sudah sangat lapar, aku langsung melahap nasi milikku. Rasa kesal, emosi, juga hati ini yang belum menerima keadaan ini, tentu sangat menguras energi. Dan itu membuat nafsu makanku bertambah. Hanya beberapa menit saja makananku sudah habis tak tersisa. Tersisa satu box nasi milik Raka.Perutku masih terasa lapar, karena porsi nasinya sangat sedikit menurutku. Satu kepalan tangan. Aku mengusap perutku yang masih terasa lapar."Raka! Mau di makan nggak nasinya?" tanyaku setengah berteriak.Hening. Tak ada jawaban. Lagi ngapain sih tuh orang?"Raka! Kamu mau makan nggak? Kalau nggak di makan, aku yang makan ya!" teriakku lagi. Tapi masih tak ada jawaban.Daripada mubadzir 'kan? Mendingan aku makan, perutku masih lapar. Aku membuka lagi kotak nasi dan memakannya. Setelah h
"Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah."Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe."Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood."Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku."Mita, s
"Mama? Mama ngapain di sini?" tanya Raka begitu sampai di meja tempat kami duduk menunggunya. Sekilas kedua netra kami beradu."Ngapain? Main-main ke tempat usaha menantu Mama memang nggak boleh?" Raka hanya mengerutkan dahi. "Kamu pasti nggak tahu ya, kalau Amira ini ternyata pengusaha kuliner, nih lihat kafe-nya aja bagus, bersih, Dia sendiri lho yang merintisnya dari nol."Raka hanya diam, tak menanggapi apapun kata-kata mamanya. Melihat tak ada tanggapan apapun dari putranya, membuat menatap serius Wajah Raka.Raka yang merasa ditatap oleh mamanya langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini, dimana ada banyak pengunjung yang tengah menikmati makan siang, atau sekedar nongkrong di jam istirahat mereka.Kemudian ia tersenyum seraya mengangguk."Iya Mama benar. Mantu Mama memang hebat," ucap Raka yang aku yakini itu hanya pura-pura, tak lebih hanya untuk menghibur hati mamanya. Seulas senyum langsung terbit di wajah Mama Rita."Oh ya jelas! Sudah cantik, pinter us
"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
"Raka dan Amira pulang dulu ya Ma" ucap Raka membuat Mama tercenung."Ehm, nggak apa-apa kalau kita pulangnya nanti dulu, Mas." kataku saat melihat Mama Rita tak menjawab ucapan Raka."Ah, nggak apa-apa Mir, kalau kalian mau pulang sekarang, tidak apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mama nggak apa-apa." Mama Rita berkata seraya menyentuh lembut jemariku."Benar Mama nggak apa-apa? Apa perlu kita panggilkan dokter Ma?" tanyaku yang merasa khawatir akan kondisi kesehatan Mama. Tapi, Mama Rita menggeleng."Tidak perlu Mir. Mama hanya butuh istirahat saja." Akhirnya aku mengalah, kami berdua pamit. Raka lebih dulu keluar kamar Mama. "Amira, ingat ya, kalau Raka berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, bilang sama Mama," ucap Mama menatapku dalam. Aku pun mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Raka keluar rumah ini."Sebenarnya Mama Rita sakit apa, Raka?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Kondisi kesehatan Mama sedikit terganggu semenjak kecelakaan ya