"Oke, kita ketemu di tempat biasa. Aku langsung jalan sekarang kesana." Terdengar suara Raka berbicara di telepon dengan seseorang. Ia berbicara sambil berjalan ke dapur, mengambil air minum di meja makan kemudian berjalan melewatiku begitu saja.Aku membereskan meja makan, dan mencuci piring kotornya. Mengabaikan Raka yang sepertinya akan pergi keluar.Mau pergi kemana juga, itu bukan urusanku. Aku tetap dengan pekerjaanku. Setelah ini juga aku rencananya ingin keluar ketemu teman-temanku. Daripada weekend suntuk di rumah kan, lebih baik aku keluar bertemu teman-teman untuk shopping dan ke salon.Setelah membereskan dapur, aku pun bersiap dan langsung meluncur ke sebuah Mall, tempat aku janjian dengan teman-temanku."Hei, Yunia, Caca, maaf ya Gue telat, biasa tadi macet di jalan," ucapku begitu sampai di meja sebuah restoran dimana kedua temanku menunggu."Iya nggak apa-apa, santai aja, kita juga lagi makan dulu kok. Lo mau makan dulu?" tanya Yunia, aku menggeleng, karena tadi aku s
Aku sampai di rumah saat matahari sudah condong di ufuk barat.Lelah sih, tapi senang, aku bisa menghabiskan waktu bersama Yunia dan Caca, walaupun lebih sering kami berdebat dan saling meledek, tapi sebenarnya kami adalah geng yang kompak.Aku merasakan tubuhku juga segar setelah melakukan perawatan di salon.Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, hingga tiba-tiba ponselku berdering, aku langsung merogoh ponselku dari dalam tas. Tertera nama Mas Faisal di layar pipihku."Hallo Assalamualaikum Mas." "Wa'alaikumusalam. Apa kabar Dek?""Aku, baik. Alhamdulillah. Ada apa tumben nanyain?" cibirku, pasalnya dia sangat jarang sekali menanyakan kabarku. Paling-paling telpon jika ada satu hal yang penting."Ya Allah, ketus banget. Ya namanya seorang kakak, ya wajar dong nanyain kabar adiknya," sahutnya dari seberang sana."Ya. Wajar sih. Sekarang bilang, ada apa telpon Amira Mas?" tanyaku mulai serius pada kakak lelakiku ini."Kamu, di sana baik-baik aja kan?" Pertanyaan Mas Faisal tentu me
Aku bertanya pada Raka melalui gerakan tangan, sedang pendengaranku masih tetap fokus mendengarkan Mama Rita yang masih bicara di telepon. Raka pun paham, ia mengangguk dan mengacungkan jempol."Tap–tapi ini Amira lagi mau masak Ma, untuk makan malam," ucapku jujur, memang aku sedang menyiapkan sayur untuk di masak."Sudah mulai di masak, memangnya?""Ya, belum sih, lagi motong sayur, Ma." Aku melempar pandangan pada wortel yang masih belum selesai kupotong."Nah belum kan, masuk kulkas aja sayurnya Mir, kalian makan malam berdua keluar, please, anggap aja ini Hadian dari Mama untuk kalian." Lagi aku melirik Raka, ia mengangguk."Ya sudah oke Ma, nanti Raka dan Amira akan ke sana. Makasih banyak ya Ma. Mama sampai repot-repot booking tempat untuk kita makan malam, padahal Amira dan Raka juga bisa makan di rumah."Akhirnya aku pun menuruti permintaan Mama, sayur dan juga ayam yang tadi sudah ku keluarkan, aku masukkan kembali ke dalam kulkas."Bersiap-siap lah, kita akan jalan sekarang
"Amira, Amira! Bangun, ayo masuk!" Aku terkejut saat tiba-tiba Raka membangunkanku. Aku membuka mata dan menoleh sekeliling ternyata aku ketiduran di teras, masih di luar rumah dengan posisi duduk memeluk lutut, dan bersandar pada pintu."Raka.""Ayo masuk, tidur di dalam." Raka berkata sambil memutar anak kunci.Aku menatap tajam padanya, dadaku bergemuruh hebat, baru kali ini aku merasakan marah yang teramat sangat. Aku memang hanya jadi istri yang tak harapkan baginya. Tapi tak bisakah ia menghargaiku sebagai seorang perempuan? Dengan tidak meninggalkanku begitu saja di restoran.Kalau pun ia tak ingin pulang bersama denganku atau ada urusan lain, tak bisakah ia bicara padaku baik-baik agar aku tak sampai menunggu lama seperti orang bodo* di dalam restoran sana!"Ayo masuklah." Lagi Raka berkata tanpa menoleh padaku. Tak tahukah ia aku sedang sangat marah padanya.Aku melenggang masuk, dan langsung menuju ke kamar."Amira, maafkan aku, tadi aku ada urusan mendadak yang sangat pent
"Oke. Sekarang gini, kalau kamu tak bisa menghargaiku sebagai istrimu, minimal hargai aku sebagai teman, bisa kan? Kalau itu pun kau tak bisa, maka sebaiknya kita bercerai!" ucapku lantang langsung pada intinya.Semalaman aku berpikir, hati ini merasakan lelah, jadi mungkin kupikir akan lebih baik berpisah, jika bersama pun hanya ada rasa saling kecewa. Dengan berpisah, aku harap ia pun bisa bebas mencari keberadaan Evita, dan aku pun bebas dengan diriku sendiri.Ya, sepertinya itu akan lebih baik. Raka masih diam,, setelah beberapa saat aku menunggunya bicara. Ia tetap masih diam membisu.Oke, diamnya Raka kuanggap ia setuju. Mari kita bercerai saja.Aku melangkah hendak masuk ke kamar. Berniat untuk mengemasi barang-barangku. Saat nanti ayah dan ibu tanya, itu urusan belakang. Yang penting sekarang aku akan keluar dari rumah ini."Amira, tunggu. Amira!" Raka mengejarku yang baru saja memasuki pintu kamar, ia menerobos masuk dan langsung mencekal lenganku."Jangan sentuh aku! Stop!
"Selamat pagi Pak Raka." Seseorang menyambut kami saat kami baru saja memasuki area kantor yang merupakan cabang baru perusahaan Papa.Gedung ini terlihat mewah dengan bangunan baru yang gagah berdiri menjulang tinggi."Ya, Selamat pagi Pak Diki," jawab Raka seraya menerima uluran tangan seorang laki-laki kira-kira berusia 40 tahunan itu."Senang bertemu dengan Anda Pak Raka, apa ini ....""Ya, ini istri saya, Amira." Pak Diki tersenyum padaku aku pun mengangguk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada."Oke, mari saya antar ke dalam, Pak. Semuanya sudah siap, tinggal menunggu Bapak." Pak Diki mempersilahkan kami untuk masuk, kami berjalan bersama, beriringan.Aku berjalan di samping Raka, tak ada gandengan tangan layaknya pasangan suami istri lainnya. Ternyata di dalam sebuah ruangan yang cukup besar sudah ramai, semua karyawan berkumpul di sini, duduk di kursi-kursi yang berjejer rapi. Di depan sudah ada meja panjang, dimana para petinggi perusahaan dan para tamu unda
"Boleh saya duduk di sini?" tanyannya sopan, sambil melirik satu bangku lagi tak jauh dari tempatku duduk."Oh ya, silakan.""Saya Arya, salah satu manager di kantor pusat." Ia mengulurkan tangannya. Tapi aku hanya mengatupkan kedua telapak tanganku di dada. Ia pun mengerti dan tersenyum."Bagaimana ceritanya istri seorang Raka Ardiansyah calon pemimpin perusahaan, justru duduk sendiri di luar gedung begini Nona Amira?""Ehm, aku duduk di sini untuk cari udara segar, karena di dalam tadi cukup ramai, kurasa di sini, suasananya lebih nyaman."Lagi-lagi ia mengangguk tersenyum, wajahnya tak setampan Raka, tapi saat ia tersenyum ada daya tarik tersendiri. Astaghfirullah ingat Amira, kau sudah bersuami, tak pantas memuji laki-laki lain!Ah, meskipun status istri hanya sebatas status belaka, bukan istri sesungguhnya."Ehm, maaf sebaiknya saya permisi untuk kembali masuk ke dalam, khawatir Raka mencariku, permisi Pak Arya." Aku pamit dengan sopan pada laki-laki yang tengah duduk dengan sant
Aku melirik Raka yang masih terdiam, kami bersitatap beberapa detik, sepertinya ada masalah."Minum dulu teh-nya Pa," ucap Mama seraya mendaratkan bobotnya di sofa."Satu hal yang ingin Papa sampaikan pada kalian, terutama kamu Raka, ingat, pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, dimana janji yang kamu ucapkan di hadapan penghulu, bukan hanya di saksikan oleh manusia, tapi juga di saksikan oleh Allah dan malaikat. Jadi Papa minta, kamu jangan main-main!" Papa berkata dengan lugas, sampai membuatku tertunduk, sebab merasa pernikahan yang kujalani ini tak berjalan semestinya.Mengapa Papa bicara begitu? Apakah Papa mengetahui sesuatu tentang hubungan kami? Aku dan Raka."Kamu juga harus menghargai Amira, istrimu.""Iya Pa." Raka menjawab singkat, lalu meraih cangkir teh di depannya, dan menyesapnya pelan."Di minum dulu Mir, kamu pasti capek kan, tadi habis perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta." Seperti biasa, Mama Rita selalu hangat.Aku pun meminum teh, lalu memakan bolen pisang