Share

11. Bukan Pergi Ke Pantai

Perjalanan berlangsung sekitar dua jam setengah untuk sampai di tempat tujuan. Sebuah mobil mengantar mereka setelah turun dari persawat menuju sebuah hotel yang tentunya sudah dipesan oleh nenek sebagai tempat singgah bulan madu. Sheraton Resort menjadi pilihan yang cocok untuk mereka sebagai pasangan pengantin baru.

Disisi lain karena tempatnya yang mewah, Megan juga mengenal siapa pemilik hotel tersebut. Pernah juga ikut bergabung beberapa kali setiap ada perayaan tahunan di hotel tersebut.

Sampai di hotel, mereka langsung diantar oleh dua orang Bellboy menuju kamar yang sudah dipesan. Sepanjang berjalan menyusuri Lorong, Jesika tidak berhenti terkagum-kagum dengan horel ini. di depan dia sudah di manjakan dengan pemandangan yang indah, bangunan mewah, lalu masuk ke dalam disambut layaknya seorang tamu special, hingga sampai diantar ke kamar.

Jadi seperti inikah menginap di sebuah hotel?

Jesika menoleh ke belakang sebelum pintu kamar dengan nomor 106 terbuka. Beberapa pintu berderet rapat, apa semua berpenghuni?

“Tuan bisa panggil saya jika membutuhkan sesuatu,” ucap Bellboy tersebut. Sepertinya ini termasuk orang suruhan nenek.

Selepas dua orang itu pergi, Jesika masih terfokus memandangi Lorong panjang. Entah apa yang sedang dia pikirkan, sampai akhirnya Antonio berdehem.

“Oh, maaf.” Jesika menunduk, menyeret dua koper, membuntuti Antonio masuk ke dalam lebih dulu.

Oh! ini mewah sekali!

Jesika terbengong dengan dua mata membulat sempurna. Mulutnya terbuka, sementara dua tangan sudah melepas gagang koper. Badannya mulai bergerak seolah memutari ruangan ini. Jesika seolah tidak peduli dengan keberadaan Antonio di kamar ini. dia melepas tas selempangnya, melempar ke sisi lain, lalu berlari menuju jendal full kaca yang mengarahkan pemandangan ke pantai.

Jesika membuak jendela kaca tersebut, lalu keluar hingga sampai di tepi balkon. Wajahnya ebrbinar penuh kekaguman lalu merentangkan kedua tangan, wajah menengadah menikmati udara segar dengan angin sepoi-sepoi.

“Ya Tuhan, ini indah sekali!” serunya sampai badannya melompat-lompat. Sungguh dia tidak tahu ada sepasang mata yang mengawasi dengan tatapan aneh.

Sekampungan itukah dia sampai melompat-lompat kegirangan?

Antonio membiarkan Jesika di sana, sementara dirinya duduk di tepi ranjang. Niatnya ingin membaringkan tubuhnya yang lelah, tapi entah kenapa badannya seolah memilih untuk tetap duduk. Bukan tanpa alasan, akan tetapi karena tubuh setinggi seratus enam puluh lima senci meter di balkon mengundangnya untuk memandangi.

Diam-diam Antonio mengamati bagaimana tingkah Jesika di luar sana, hingga kemudian ponselnya mendadak berdering. Sebuah paggilan masuk dari nomor yang tidak asing.

“Ya, halo. Bagaimana? Kamu dapat info lain?”

“Iya, Tuan. Saya bicara di telpon atau bagaimana?”

“Saya di Bali, Kamu bisa bicara sekarang.”

“Baik, Tuan.”

Antonio mendekatkan ponselnya benar-benar menempel pada telinga, dia mendengarkan dengan bai kapa yang orang seberang katakana. Sementara mendengarkan, dua matanya tidak menjauh tatapan dari sosok yang masih berdiri di balkon. Raut wajah yang tenang, sedikit menunjukkan rasa terkejut ketika mendengar sebuah fakta yang dijelaskan oleh sipenelpon.

Antonio bergeser ke samping, meraih sebuah kertas di dalam tasnya lalu menuliskan sesuatu seperti sebuah alamat rumah dan juga nomor telepon. Sementara Jesika yang menyadari kalau dirinya tidak sendirian di sini, sudah menatap dari balik dinding kaca sambil gigit jadi.

“Astaga, aku lupa kalau aku tidak sendirian di sini. Apa tadi aku bertingkah berlebihan?”

Jesika mengingat-ingat kembali bagaimana ketika tadi pertama datang hingga masuk ke dalam sini. Terus diingat-ingat, Jesika sampai meringis geli sendiri. wajahnya juga sudah mencirut seperti kain diperas menyembunyikan rasa malu, padahal tidak ada siapapun yang melihatnya sekarang.

Jesika memeluk tubuhnya yang mulai dingin terkena aangin di luar sini, memilih masuk kembali ke kamar. Sambil mengusap-usap lengannya, langkah ia buat seperlahan mungkin supaya tidak mengganggu orang yang tengah bicara di telpon.

Sangat perlahan Jesika terus menapakkan kaki, menuju tasnya yang tadi ia lempar ke atas sofa. Namun, ketika tinggal sekitar dua langkah lagi, suara bariton mengejutkannya. Jesika berhenti segera dengan satu kaki sudah terbuka. Perlahan lehernya memutar, sampai bertemu tatap dengan Antonio.

Jesika menarik satu kakinya dengan cepat, lalu meringis sambil meliukkan badan. “Maaf, aku hanya tidak mau mengganggu.”

Antonio memasukkan kertas dan pulpen kedalam tasnya lagi sementara ponsel ia letakkan di atas tepi ranjang.

“Aku mau ke luar. Kamu mau tetap di sini atau ikut?”

Jesika berpikir sejenak sambil menggigit bibir. Pemandangan pantai di luar sana begitu indah dan sayang jika tidak dikunjungi. Jesika sempat melirik ke arah balkon dengan bibir cemeberut, lalu kembali pada tatapan awal.

“Apa boleh ikut?” tanyanya. “Anda mau ke mana?”

“Cari udara segar.”

Senyum Jesika langsung mengembang sampai gigi putihnya terlihat. “Oke, saya ikut.”

Antonio tahu resikonya jika keluar bersama Jesika. Di sini mungkin tidak akan aada wartawan yang mengejar-ngejarnya, tapi pasti ada saja yang berhasil mengambil gambarnya lalu menyebarkan diinternet dengan berbagai caption.

Antonio masih duduk, dengan alis mata menurun. Jesika yang sudah berdiri usai mengambil tasnya ikut menurunkan alisnya.

“Apa ada yang salah, Tuan?”

Antonio berdiri sambil memasukkan ponsel dan dompet ke dalam saku celana. “Tidak ada,” jawabnya singkat.

Wajah Jesika benar-benar sumringah sekarang. dia seperti anak remaja yang diajak pergi berlibur. Apalagi membayangkan bagaimana suasana pantai menjelang sore. Pasti indah dengan angin sepoi-sepoi.

Antonio berhenti di sebuah toko aksesoris. Dia melihat sebuah topi yang menggantung di rak bundar.

“Mau pakai juga tidak?”

Jesika mendekat lebih maju. Dia melihat sebuah topi bulat dengan pita yang mengelilinginya. “Boleh yang itu? sepertinya cocok untuk ke pantai?”

“Memang siapa yang mau ke pantai?”

“Ha?”

Jesika ternganga, setelahnya dia menarik dagu ke dalam. “Bukankah kita mau ke pantai?”

“Aku bilang mau cari makan.”

“Ta-tapi kan …”

Pupus sudah harapan Jesika sekarang. Bibirnya merengut, lalu tidak jadi berminat untuk membeli topi.

"Tidak jadi topinya?" tanya Antonio.

Jesika menggeleng.

"Jangan salahkan aku kalau wajahmu kena panas.”

Antonio meraih satu topi berwana abu-abu, lalu mebayarnya dengan lembaran uang dari dalam saku.

Huh! Orang seperti dia ternyata punya uang lembaran lima puluh ribuan juga.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri trotoar yang dihiasi tanaman bunga di pinggirannya. Beberapa orang juga melintas di sana, dan tentunya cukup ramai.

“Tunggu dulu!”

Secepat kilat Antonio menarik pinggang Jesika yang hendak menyeberang tanpa menoleh-noleh. Jesika sempat terkejut, tapi akhirnya terbengong begitu saja, menatap satu tangan kekar melingkar dipinggangnya. Wajah tampan pria ini begitu tenang dan serius menunggu mobil yang melintas kosong.

Jesika pikir tangan itu akan terlepas ketika hendak menyeberang, tapi nyatanya masih berada di pinggangnya bahkan ketika sudah berhasil menyeberang.

“Kamu masih hutang budi padaku. Enak saja mau mati.”

Gubrak!

Jesika meliukkan badan ketika mendadak kakinya seperti tak bertulang. Dia kemudian meringis getir.

Dasar brengsek! Apa yang aku harapkan dari pria ini, sialan!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status