Share

10. Nama Samaran

Sebagai cucu pemilik sebuah agensi, seharusnya Antonio tidak harus bersembunyi lama-lama mengenai kasusnya sekarang ini. Kalian tahu bagaimana uang bisa berkata segalanya. Uang akan menang, begitulah kata orang-orang. Namun, untuk saat ini Antonio belum bisa focus dengan kasusnya. Setelah menikah dengan gadis di dalam bagasi, seharusnya sekarang memang harus lebih focus untuk hal itu, apalagi nenek malah mendukung.

Dua koper besar sudah berada teras rumah. Jesika tidak tahu kapan dan siapa yang menatap semua barang-barang tersebut sampai masuk semua ke dalam koper. Bukan hanya baju dalam koper saja yang siap untuk dibawa, melainkan juga barang-barang lain seperti tas berisi perlatan wajah, ponsel dompet dan lain sebagainya.

“Jadi nenek membiarkan pelayan masuk ke ruang gantiku?” tanya Antonio dengan nada kesal.

Megan terlihat santai. “Kalau tidak begitu, kamu pasti akan sengaja mengulur waktu.”

Antonio berdecak sambil menyugar kasar rambutnya. Pria itu membuang muka lantas duduk di sofa mengabaikan neneknya. Sementara Jesika, dia sendiri sedang melipat selimut semalam.

“Lain kali jangan begitu,” ucap Antonio masih acuh.

Jesika dan Megan saling pandang. Sekarang Jesika mengerti kenapa Antonio meminta dirinya untuk selalu menyiapkan segala kebutuhannya di dalam kamar ini, ternyata karena memang pria itu tidak mau ada orang lain yang masuk ke dalam kamarnya lebih jauh.

“Bagaimana dengan Jesika? Aoa kamu juga melarangnya?”

Antonio memutar pandangan, tidak lama kemudian mendesah melihat Jesika. “Kalau dia terserah. Toh ia tinggal dikamar ini.”

Jesika meringis getir. Nada bicara yang terdengar tidak mengenakkan meski terdengar pelan.

“Sekarang kalian bersiap-siap. Oh ya Antonio …” Megan menunjuk Antonio dengan sorror mata. “Nenek tidak mau tahu. Kamu harus nikmati bulan madu di sana.  Kamu yang memilih Jesika, perlakukan dia dengan baik.”

Peringatan yang membuat Antonio menghela nafas pendek. Antonio tahu nenek belum tahu bagaimana dirinya bisa menikah dengan Jesika, tapi entah kenapa Wanita tua itu langsung cocok begitu saja.

“Siapkan baju untukku!” perintah Antonio selepas nenek pergi. “Kamu sudah melihat daftar bagaimana aku berpakain setiap hari kan?”

Jesika mengangguk. Dalam hati berkata, “Apa semua orang kaya begini? Selalu banyak aturan?”

Jesika melenggak menuju ruang pakaian. Dia memilih sebuah kemeja katun lengan pendek, lalu celana cargo pendek. Untuk alas kaki, Jesika mengambil sebuah sepatu sneaker warna putih.

Selepas menyiapkan pakaian untuk sang suami, sekarang giliran Jesika yang bingung memilih baju. Bulan mad uke bali, biasanya identic dengan pantai bukan? Kalau begitu baju mana yang cocok untuk dikenakan?

Jesika masih belum memegang ponsel untuk saat ini, jadi tidak bisa untuk browsing melihat recomnedasi yang cocok.

Di luar, Antonio sudah siap dengan tampilannya, tapi di ruang ganti Jesika masih sibuk berdiri di depan lemari sambil terbengong sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.

“Aku pakai baju apa ya?” gumamnya masih sambil memilah. Membuka beberapa kali dress yang menggantung dan juga yang berada di tumpukan.

“Aku tunggu di luar. Aku tidak suka orang yang bertele-tele.”

Jesika langsung menelan ludah mendengar itu. saat pintu kamar ditutup, dadanya jadi berdegup lebih cepat, lalu buru-buru menyambar pakaian asal. Setelah menemukan pakaian yangs ekiranya cocok, Jesika juga masih harus berdandan, kan?

Jesika berdiri di depan cermin panjang, melihat bagaimana tampilan dirinya sendiri yang begitu mewah. Bukan mewah yang glamour, melainkan begitu cantik dan elegan. Pakaian ini pas di badan. Floral dress sepertinya memang cocok menjadi pilihan disaat sedang buru-buru.

Dari pada terlalu khawatir karena Antonio sudah lebih dulu ke bawah, Jesika hanya menggulung rambutnya asal. Dia mengikat rambut menyisakan beberapa helai di bagian kening dan pelipis. Tanpa riasan lain, Jesika menambahkan liptint sebagai mwarna bibirnya saja.

“Cantik sekali cucu nenek!” Megan menyambut Jesika yang baru sampai di lantai satu.

Wanita tua itu memberi pelukan singkat yang membuat Jesika sedikit bersemangat. Meskipun merasa asing di sini, setidaknya ada satu orang yang menganggapnya ada. Jelas sekali, satu orang yang berada di ambang pintu sudah menatapnya sinis sekarang. siapa lagi kalau bukan ibu mertua.

Megan menggandeng tangan Jesika ketika melenggak keluar. Sekarang Antonio berdiri di samping badan mobil dengan pintu yang sudah terbuka. Mulanya dia sedang mengetik sesuatu di ponselnya, tapi ketika wajahnya yang menunduk melihat sebuah kaki berfalsshoes, jari-jari yang mengetik itu berhenti bergerak.

Mata Antonio sejenak berhenti di mata kaki yang terlihat itu, perlahan naik menemukan kaki jenjang karena rok yang tersingkap tertiup angin pagi. Sebuah kaki yang begitu bersih walau hanya melihat sekilas.

Wajah Antonio sudah sejajar lurus ke depan. Dia melihat Wanita cantik dengan wajah natural di hadapannya. Rasanya jadi kikuk ketika ditatap, karena Jesika merasa mungkin pakaian dan tampilannya saat ini kurang cocok.

“Bagaimana? Cantik, kan?” tanya Megan sambil menaikkan satu alis menatap Antonio.

“Hm.” Antonio langsung melengos masuk ke dalam mobil, lalu berkata, “Aku tidak suka orang terlambat.”

Wajah Jesika seketika datar. Dia tersenyum pada nenek sebelum ikut masuk ke dalam mobil. Tentunya setelah menjabat tangan berpamitan.

Sebelum kaca mobil dinaikkan, nenek membungkuk dan mendekat ke sana. Beliau meminta Antonio untuk sedikit bergeser lebih ke pinggir, untuk membisikkan sesuatu.

“Mungkin di sana akan banyak wartawan, seharusnya kamu bisa menjaga Jesika dengan baik. Kamu paham?”

Antonio hanya berdehem lirih lagi.

Kenapa yang dikhawatirkan malah Jesika? Yang cucunya itu siapa?

“Seharusnya kamu bisa memanfaatkan keadaan ini sebagai mengalihan isu yang ada.”

Terdiam sejenak, Antonio coba untuk memahami perkataan neneknya barusan. Sebenarnya, mau sembunyi di mana pun, yang Namanya seorang pablik figure pasti akan ditemukan oleh paparazzi. Seharusnya Antonio siap dengan hal itu. toh selama ini dia sudah hidup di dunia entertain yang di mana selalu dikelilingi wartawan.

“Ini.”

Jesika menoleh, menatap sebuah kotak persegi panjang yang diulurkan Antonio. “Apa ini?” tanyanya.

“Kamu buta? Terlihat jelas ini apa, kan?”

Jesika menelan saliva sampai kepalanya sedikit mengangguk. “Untukku?”

“Memang untuk siapa lagi? aku akan kesusahan menghubungi kamu kalau tidak ada ponsel. Dan juga … mungkin kamu bisa menelpon orang tuamu. Cih! Itu juga kalau mereka peduli.”

Tubuhnya membisu beberapa saat, meski tangannya berhasil meraih kotak tersebut. Jesika tidak berpikir kalau mungkin Antonio tahu tentangnya, tapi yang ada dipikirannya saat ini memang kedua orang tuanya yang dengan tega menjualnya pada seorang pria. Sedari kemarin, Jesika mencoba melupakan hal itu, tapi mendadak kembali teringat.

Bagaimana kalau mereka menemukanku? Apa mereka akan menyeretku?”

Jesika malah jadi kepikiran. Dia masih menunduk menatap gambar ponsel pada kardus tersebut sampai tidak terasa tangannya gemetaran.

“Tuan …”

Antonio yang baru melajukan mobilnya menoleh. “Ada apa?”

“Bagaimana jika aku bertemu mereka?”

“Mereka siapa?”

“Orang tuaku.”

“Tergantung. Kamu mau di sini atau ikut mereka?”

Apa yang Antonio maksud? Apa dia melepaskan Jesika begitu saja?

Jesika menggigit bibirnya, sampai tidak sadar tangannya sudah merepas kotak ponsel. Dia belum mengatakan semua tentang dirinya yang bisa masuk ke dalam bagasi, dan mungkin seharusnya memang tidak perlu bercerita.

“Aku bole minta sesuatu jika tetap berada di samping anda, kan?”

“Ya.”

“Bolehkan saya memakai nama samaran?”

Antonio refleks menoleh sampai membuat laju mobil melambat.

“A-aku hanya, aku hanya takut bertemu mereka.”

Antonio mengerutkan kening. Dia tidak berkata apa-apa, melainkan justru mempercepat laju mobilnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status