Jesika jatuh terduduk di tepi ranjang. Dia terbengong memikirkan hal tadi. Ada rasa bersalah, tapi juga penasaran. Ketika tatapannya mengarah pada pinty, khawatir, takut semakin terasa. Jesika benar-benar lupa tentang pembalutnya yang ia lepas sebelum mandi.“Apa dia benar-benar marah padaku?” gumam Jesika was-was. Entah keberapa kali dia menggigit bibir dan memilin-milin jemarinya.Rasa semakin gelisah ketika sudah dua jam lebih pria itu belum muncul kembali. Jesika menggenggam tangannya sendiri di depan dada, mondar-mandir seperti orang bingung.Mendengar ketukan pintu, Jesika langsung terkesiap. Dia berlari kecil menuju pintu dan segera membukanya. Mulutnya yang terbuka hampir menyebutkan nama Antonio, tapi nyatanya yang datang Tian.“Maaf, Nona. Ini makan malam untuk Nona.”“Oh … oke, terimakasih.”Jesika tersenyum lantas menerima bungkusan tersebut yang berisi sekotak makan malam. Ada raut wajah kecewa di sana. Meski rasa takut masih jelas ada, tapi entah kenap Jesika tetap menun
Menjadi orang yang tidak tegaan dengan suatu keadaan itu terkadang melelahkan. Selain mudah memaafkan, biasanya akan lebih mudah dipengarui hanya dengan kata ‘maaf’.Setelah diperiksa oleh dokter, Antonio langsung terlelap. Entah apa yang dokter suntikkan tapi sepertinya membuat Antonio tertidur pulas. Entah bahaya atau tidak, tapi dokter lebih tahu segalanya.Antonio tampak panik tadi, dia juga sempat menjerit sampai membuat Jesika terdorong—tersungkur—jatuh ke lantai. Mungkin itu sebabnya dokter menyuntikkan sesuatu.“Apa dia baik-baik saja, Dok?” tanya Jesika khawatir.“Tidak-apa. Tuan Antonio hanya merasa panik karena sesuatu yang membuat dirinya merasa trauma muncul lagi.” Dokter itu menebak dengan benar. “Saya tidak memberinya resep obat apapun. Nanti setelah siuman, kemungkinan besar perasaannya sudah membaik.”Jesika mengangguk lalu mendekat lebih ke ranjang, sementara Tian yang mengantar dokter ke luar. Jesika jadi merasa tidak enak sekarang. dia hanya tidak sengaja meninggal
“Papa yakin kalau ini bukan Kak Jesika?” Sera menyodorkan lagi ponsel pada papanya yang tengah menyesap teh hangat. Sanjaya sudah melirik, tapi meletakkan lebih dulu tehnya sebelum melihat kembali foto di layar pipih itu lagi. “Ck! Kamu tahu gimana kakak kamu kan, Ser. Papa rasa itu memang bukan dia. Hanya mirip.” “Tapi ini benar-benar mirip, Pa.” Atiqah ikut duduk daln langsung menyerobot ponsel itu dari tangan sang suami. “Biar aku perhatikan lagi.” Kening perlahan menurun, mata mulai jeli manatap. Atiqah terus mengamati sebuah foto yang terlihat dari jarak jauh itu. wajahnya sungguh mirip, tapi tampilannya berbanding jauh terbalik dengan Jesika. “Mama rasa ini bukan Jesika. Dan juga, mana mungkin dia menikah dengan Antonio yang notabenya bukan orang sembarangan.” Sera manggut-manggut. Jika dipikir sejauh itu, memang terlalu mustahil bagi Jesika bisa sampai menikah dengan sosok Antonio. “Oh iya, mama tahu berita yang sedang heboh, kan?” tanya Sera antusias. “Tuan Antonio meni
Makan malam datang. Jesika berjalan tidak jauh di belakang Antonio yang entah kenapa selalu sibuk dengan ponselnya. “Apa dia tidak takut kesandung?” gumam Jesika dengan wajah manyun. Antonio mendadak berhenti di tengah tangga. Kali ini Jesika berhasil menghindar sebelum keningnya terabrak punggung lebar itu seperti beberapa minggu yang lalu. Jesika terdiam tidak berani mendahului. “Oh shit!” Seketika Jesika langsung melompat kaget mundur menaiki satu tangga. Tangannya mengusap dadanya yang beregup lebih cepat. Di depan, Antonio mengetik sesuatu dengan cepat seperti jemarinya menekan lebih kuat pada layar ponsel. “Berita bodoh!” umpatnya lagi. Jesika meringis ngeri sekarang. Harus apa sekarang? menyerobot lebih dulu, atau kembali ke kamar? Sepertinya dua pilihan itu tidak ada yang akan membuatnya aman. “Tuan …” Sama sekali tidak ditanggapi, Antonio kembali berjalan menuruni tangga. Jesika langsung memanyunkan bibirnya sambil mendengkus. Jesika hampir saja melempar kepalan ke uda
Sudaah terlalu lama Antonio bersembunyi menghindari masalah yang ada. Hampir dua bulan sejak pernikahan, Antonio sama sekali tidak berminat dengan undangan beberapa acara untuk memberi klarifikasi tentang kasusnya. Namun, sekarang beberapa media mulai mengatakan kalau Antonio sudah mengirim beberapa bukti ke kantor polisi.Berita tentang penangkapan orang yang membuat nama Antonio tercemar juga sudah ditangkap. Orang itu mengaku mendapat suruhan dari seseorang. Sayangnya sekalipun dia harus dipenjara, mulutnya tidak akan mau membicarakan mengenai siapa orang di belakangnya.Hari ini, Antonio datang ke kantor agensinya untuk sebuah acara. Bukan siaran langsung, tapi hanya untuk sebuah mengisi majalah yang akan terbit. Tentunya Antonio akan melakukan sesi wawancara dulu.“Jadi Antonio datang?” tanya seseroang yang tengah menunggu pintu lift terbuka.Dua orang ini termasuk mengenal Antonio karena memang berasal dari agensi yang sama. Hanya saja meski begitu belum tentu dekat. Antonio han
Antonio tampak memasang wajah pias usai menelpon Jesika. Bukan karena Jesika, tapi tentunya karena nenek yang tanpa izin membawa Jesika keluar rumah.“Ada apa, Tuan?” tanya Tian sebelum membukakan pintu mobil.Tian tampak gelisah, jelas dari raut wajahnya yang datar. “Nenek membawa Nyfi keluar.”“Lalu?”Antonio berdecak lalu menyingkirkan tangan Tian dari gagang pintu mobil. “Aku masih belum siap kalau banyak orang yang bertanya tentang Nyfi.”Tian memegang daun pintu mobil yang sekarang terbuka dengan senyum tipis. “Jadi Tuan sedang mengkhawatirkan Nona Nyfi.”“Sialan! Jangan bicara asal kamu!”Antonio melengos lalu masuk ke dalam mobi. Di luar, Tian diam-diam tengah terkekeh geli. Dia menutup pintu lalu memutari mobil dan ikut masuk dari pintu kemudi.“Jadi, mau ke mana sekarang, Tuan?”“Pergi ke restoran dekat perusahaan papa. Glen menungguku di sana.”“Tuan Yakin?”Tian memukul sandaran kursi kemudi membuat Tian sempat terkejut.“Tidak usah banyak tanya! Kamu pikir aku takut denga
“Mari ikut duduk dengan kamu, Nek,” Montana beranjak, lalu memberi satu kursi kosong untuk nenek. Dia lupa kalau di belakang Megan ada Jesika.“Tidak usah. Nenek akan makan di sebelah sana,” tolak Megan dengan lembut.Megan menarik lengan Jesika lalu mengajaknya pergi menuju meja nomor tiga. Meja yang tidak terlalu jauh dengan posisi Antonio duduk saat ini.“Hei, apa dia istrimu?” sikut Glen sambil memainkan kedua alis dan dagu terangkat. Tatapan yang lain sudah begitu penasaran.“Hm.”“Kenapa tidak kamu kenalkan pada kamu?” tanya Amelda.“Iya, seharusnya kamu kenalkan dia pada kami,” sambung Montana.Tatapan mereka semua penuh rasa curiga sekarang. otak mereka mulai berasumsi yang bukan-bukan tentunya. Melihat bagaimana Antonio yang tampak cuek ketika melihat istrinya datang, lalu ketika dia sama sekali tidak mencoba untuk mengenalkannya pada teman-teman.“Siapa mereka, Nek?” tanya Jesika.Jesika menarim satu kursi untuk nenek duduk lebih dulu, lalu menarik satu kursi kosong lagi unt
Jesika meletakkan wadah air sabunnya di dekt toilet dekat kolam renang. Setelahnya, Jesika masuk ke dalam untuk mengambil minum. Tenggorokan benar-benar kering dan tubuhnya berkeringat sekalipun petang hampir datang.Di saat Jesika tengan menuang air kedalam gelas, di belakang ada seseorang yang tengah mengamatinya dengan sinis. Kedua tangan terlipat seperti hendak mengintimidasi lalu memberi sebuah penghinaan.“Apa yang kamu lakukan pada Antonio?”Jesika hampir saja tersedak karena rasa terkejut. Dia sudah sedikit menumbahkan air dari dalam gelas, tapi buru-buru menariknya lalu meletakkan kembali di atas meja. Sambil mengelap kasar bibirnya yang basah dengan lenggannya, Jesika pun menoleh.“Nyo-nyonya?”Agatha menatap sinis lagi. “Aku heran kenapa Antonio bisa menikah dengan kamu? muncul dari mana kamu bisa sampai tepat di sana sudah mengenakan gaun pengantin?”Jesika menelan susah payah salivanya. Matanya berekedip lebih cepat tanda ia mulai gugup. Semua orang di rumah ini belum tah