Share

2. Pasangan Palsu

“Cantik sekali istrimu, Antonio.”

Salah satu wanita dengan rambut yang sudah memutih seutuhnya itu memuji penampilan Jesika. Wanita tua itu menggenggam kedua tangan Jesika dengan sorot mata penuh kekaguman. Setelah upacara pernikahan selesai, satu persatu tamu menghampiri dan menyapa mereka.

Dan, tidak ada yang bisa Jesika lakukan selain mengangguk dan tersenyum.

‘Sial! Aku bahkan kehilangan suaraku sekarang!’

“Nenek tidak menyangka kalau pengantinmu secantik ini. Nenek akan sangat kecewa kalau kamu menikahi wanita sialan itu.”

“Nenek!” hardik Antonio pelan.

‘Apa yang sebenarnya terjadi? Apa pengantinnya juga kabur?’

Jesika terus bertanya-tanya dalam hati. Bibirnya masih melengkung meski terasa kaku karena bingung dengan perasaannya sekarang. Semua orang terlihat bahagia dengan pernikahan ini, tapi tidak dengan dirinya. Ini seperti mimpi buruk, bukan?

Setelah acara pernikahan penuh kepalsuan itu selesai, Jesika masih tidak bisa pergi, sebab Antonio membawanya masuk ke mobil pengantin. Mobil tersebut mengarah ke sebuah komplek rumah mewah, kemudian berhenti di sebuah rumah yang sangat besar.

Masih mengenakan gaun putih, Jesika menyapu pandangan seperti orang linglung. Seperti gedung tadi, rumah ini pun tampak tidak asing. Sebuah rumah dengan kaca menjulang tinggi, juga tirai panjang yang kemungkinan hanya bisa diganti oleh orang tertentu saja.

“Kemari, Sayang …”

Nenek bernama Megan itu menarik lengan Jesika dengan lembut. Senyumnya yang merekah sempurna, melambangkan wanita tua itu benar-benar bahagia dengan pernikahan sang cucu.

Jesika mengangguk saja sambil tersenyum kaku. Dia mengikuti langkah Megan yang mengajaknya menaiki anak tangga menuju lantai dua.

Sementara itu, di lantai satu …

“Antonio!” Ibu Antonio berbisik. “Kemari!”

Antonio yang semula hendak menyusul sang nenek, langsung berbalik menghampiri ibu dan ayahnya. “Kenapa?”

Ibunya itu menepuk lengan Antonio sambil berdecak. “Kamu serius?”

“Apanya?”

Antonio menatap sang ibu lalu berpindah pada ayahnya yang sedang memijat kening. Meski pernikahan tadi berjalan lancer, tetapi orang tua Antonio sama-sama tahu kalau sebenarnya pernikahan sang anak adalah bentuk kekacauan.

“Dia itu siapa? Bagaimana mungkin kamu menikahinya dengan sah?”

Antonio menghela napas lelah. Dia mengetatkan rahang, sebelum menjawab pertanyaan ibunya dengan berbisik, “Bisa kita bahas nanti? Untuk sekarang, aku sedang tidak bisa berpikir apa pun.”

“Ini semua karena kamu tidak mendengakan Mama.” Ibu Antonio mendesis. Ada nada kemarahan yang terdengar dari suaranya. “Kita bisa bicara sebentar tadi. Mama bisa telepon Gaby untuk datang menggantikan—"

"Oh ayolah, Ma. Tidak usah bawa-bawa Gaby. Aku tidak menyukainya.”

“Tapi nenekmu menyukainya. Itu poinnya!”

Di tengah perdebatan ibu dan anak itu, ayah Antonio berpamitan, “Aku ikut pusing sekarang. Sekarang terserah Antonio, asalkan Ibu tidak masuk rumah sakit lagi.”

Antonio memiringkan kepala sambil tersenyum menatap sang ibu. Setelahnya, dia memutar badan untuk menyusul neneknya yang sudah sampai di lantai atas.

Mata Jesika tercengang begitu melihat bagaimana nuansa di dalam kamar dengan luas sekitar lima kali lima meter lebih tersebut. Ranjang king size tepat berada di tengah dengan memiliki bentuk sandaran yang melengkung di bagian dinding, menghadap ke arah televisi yang menempel di dinding. Di kaki ranjang, ada sofa sepanjang lebar ranjang mereka. Rak berlaci dengan lampu tidur masing-masing mengapit ranjang teersebut.

Di sisi yang lain, ada lukisan abstrak berukuran besar yang berdampingan dengan jendela full kaca. Jesika tidak bisa menjabarkan lebih luas lagi, tapi yang jelas, kamar ini benar-benar mewah.

“Kamu tidur di sini sama Antonio,” ucap Megan.

Jesika tersenyum getir. Kepalanya mengangguk, tapi pikirannya ke mana-mana.

“Kita ngobrol lagi nanti saat makan malam,” ucap Megan lagi seraya mengusap lengan Jesika. “Antonio sudah di sini. Kamu bisa segera mandi lalu ganti pakaian.”

Sekali lagi, Jesika hanya bisa mengangguk. Tubuhnya berbalik mengikuti langkah Megan yang melangkah keluar dari kamar. Entah bagaimana ekspresi wajah wanita tua itu sebelum ke luar, tapi tangannya sempat menepuk lengan Antonio.

Pria itu tidak bicara apa-apa, melainkan langsung menutup pintu begitu sang nenek telah keluar, membuat Jesika merinding.

Dia seperti tengah berada di tempat isolasi. Ruangan tertutup, dan hanya diterangi oleh cahaya dari jendela besar kamar itu.

Antiono terdengar berdecak, lantas menghampiri Jesika. Dia berjalan memutari tubuh yang masih berdiri mengenakan gaun itu.

“Kenapa kamu bisa mengenakan gaun pengantin?”

Jesika ikut memutar pandangan sampai Antonio berhenti di hadapannya. “Anda tidak perlu tahu. Sekarang saya hanya ingin kejelasan.”

Antonio tersenyum miring. “Kejelasan tentang apa?”

“Semua ini.” Jesika terdengar lebih menuntut kali ini.

Antonio mengusap dagunya. Sejujurnya dia sendiri sedang dalam kebingungan, tapi semua sudah terjadi, jadi dengan cepat harus merasa siap.

“Kamu resmi menjadi istriku sekarang. Orangku akan membuatkan surat perjanjian untukmu.”

Emosi Jesika perlahan naik. Dia kira, pernikahan ini hanyalah sandiwara di depan tamu saja. Dia kira, setelah mereka hanya berdua, pria itu akan membebaskannya. Namun, informasi yang keluar dari mulut pria itu justru membuatnya marah. “Apa maksud Anda?”

“Dengar, jangan kamu pikir aku serius dengan pernikahan ini. Kamu hanya sebagai pengganti karena kekasihku kabur.”

 Jesika mengatupkan bibir, menahan tawa yang hampir saja mencuat. “Lalu, apa hubungannya denganku? Apa hanya karena aku menerobos masuk ke bagasi mobilmu, aku harus menganggung resiko sebesar ini? Kamu sangat konyol!”

Jesika bicara dengan nada cukup tinggi. Dia yang begitu menjunjung tinggi pernikahan, justru terjebak bersama pria yang menganggap pernikahan ini adalah mainan.

“Biarkan aku pergi sekarang,” pinta Jesika. “Aku minta maaf tentang bagasi mobilmu.”

Antonio menghela napas panjang, lalu maju lebih dekat untuk mengintimidasi Jesika.

“Aku tidak mau tahu. Untuk sekarang, kita adalah sepasang suami istri.” Tatapan pria itu menghunus ke arah netra Jesika yang tampak tidak gentar dengan ketegasannya. “Berpura-puralah di depan keluargaku. Sebagai gantinya, kamu bisa meminta apa pun dariku.”

Jesika tertegun sesaat. Dia memikirkan tawaran yang sekiranya bisa dia manfaatkan selama terjebak dalam pernikahan sandiwara ini.

Sebuah senyum tipis tercipta di bibir Antonio kala dia melihat Jesika yang mulai bimbang. “Aku anggap kamu setuju.”

“Ta-tapi ….”

Sebelum Jesika sempat menyelesaikan kalimatnya, Antonio menghilang masuk ke ruang ganti sambil melepas jasnya. Dia tidak bicara apa-apa lagi.

Di tempatnya, Jesika kembali tertegun.

‘Apa keputusanku salah?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status