Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung.
Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift?Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan bagaimana caranya agar jam jaga di IGD sedikit berkurang atau dengan cara lain yaitu memasangkan Brian dengan koas atau dokter 'wangi' untuk menurunkan kadar 'bau' Brian.Kebalikan dari 'bau', 'wangi' adalah predikat untuk mereka yang ketika jadwal jaga mampu menolak pasien. Dan kini, secara kebetulan yang mendapat predikat 'wangi' adalah Heni! Orang yang menjadi alasan Brian begitu bersemangat jaga di IGD."Ini Heni mana?" Tanya Brian pada perawat dan dokter koas yang ada di nurse station.Nampak para gadis itu saling pandang. Membuat alis Brian berkerut menantikan jawaban. Kenapa mereka tidak langsung menjawab? Kenapa wajah mereka nampak sedu?"Heni di-rolling ke rumah sakit milik kampus, Dok. Kan dia udah pindah ke stase radiologi." Jawab salah seorang dari mereka.Brian lantas lemas. Kini dia tau apa arti tatapan sedu dari wajah-wajah itu. Tentu mereka panik kalau pasien membludak seperti yang biasa terjadi kalau Brian jaga tanpa 'pawang wangi'. Selain suka membawa banyak pasien, Brian terkenal suka membawa pasien yang kasusnya cukup rumit dan sulit! Hal yang sering membuat para spesialis geleng-geleng kepala, terlebih kalau Brian jaga malam macam ini."Udah nemu yang wangi?" Tanya Brian mencoba menutupi wajah kecewanya.Mereka kompatibel menggelengkan kepala. Membuat Brian tersenyum getir."Kalo gitu semua siap-siap, ya? Saya kebelakang dulu." Brian hendak melangkah meninggalkan nurse station ketika sadar dia membawa sesuatu. Ia meletakkan plastik itu ke atas meja. "Buat kalian, kebetulan tadi mampir beli."Brian tidak lagi menunggu mereka buka suara, ia melanjutkan langkahnya menuju ruang istirahat khusus untuk para dokter yang berjaga di IGD. Plastik itu berisi roti kopi kesukaan Heni. Rencananya dia beli untuk Heni dan tentu untuk dia juga. Bayangan menikmati roti kopi berdua sambil menunggu gelombang pasien datang mendadak hilang dan lenyap tidak berbekas. Hatinya mendadak terasa sunyi.Heni di-rolling ke rumah sakit pendidikan milik kampus? Hanya selama stase radiologi atau seterusnya? Tentu Brian berharap hanya selama dia stase radiologi saja. Karena entah mengapa, entah sejak kapan, Brian sudah begitu ketergantungan berdekatan dengan sosok itu.Brian segera merogoh saku snelli-nya, meraih ponsel dan mencoba menghubungi sosok itu. Siapa lagi kalau bukan Heni? Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur, menantikan panggilannya terjawab. Kenapa harus di-rolling segala sih? Laboratorium radiologi di sini lengkap dan bukankah sebelum kampus punya rumah sakit pendidikan sendiri, sejak dulu sekali rumah sakit ini yang digunakan para koas menjalani kepaniteraan klinik mereka, bukan?"Ayolah Hen ... Angkat teleponnya!"***Heni menyusuri koridor rumah sakit. Sudah pergantian shift dan tentu saja itu artinya dia sudah boleh pulang. Perhari ini dia di-rolling di rumah sakit pendidikan milik universitas. Ia melangkah dengan sedikit lunglai menuju parkiran. Kenapa rasanya hampa sekali? Awalnya dia begitu gembira harus rolling. Artinya dia akan terlepas dari jerat dokter kampret satu itu. Tapi kenapa sekarang rasanya jadi lain?Ada semacam perasaan sepi yang diam-diam menyelimuti hati Heni. Padahal dia tentu tidak mungkin sendirian di rumah sakit sebesar ini, bukan?Heni mendesah panjang, ada apa dengan dirinya ini? Ia terus melangkahkan kaki, ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Dengan sigap Heni merogoh sakunya, senyumnya spontan mengembang begitu membaca nomor siapa yang tarpampang di layar."Brian?"Heni segera mengangkat panggilan itu, entah mengapa jantungnya berdegup kencang. Apakah lelaki itu menelepon untuk mencarinya? Atau ada keperluan lain?"Halo? Gimana, Mas?" Tanya Heni sambil menepi dan terus melangkah dengan perlahan menyusuri koridor rumah sakit."Kenapa nggak bilang sih kalau kamu di-rolling, Hen?" Tanya suara itu terdengar lirih.Sejenak Heni tertegun, kembali bibirnya melukiskan senyuman. Kenapa rasanya hatinya berbunga-bunga mendengar kalimat lirih itu?"Ya maaf, aku juga nggak tau kalau bakalan di-rolling, Mas. Kenapa? Kangen mesti?" Godanya dengan wajah memerah."Kangen?" Suara itu terdengar memekik. "Ya jelaslah!" Jawabnya kemudian yang langsung membuat wajah Heni makin merah padam."Siapa lagi memangnya yang nanti bakalan aku surah-suruh? Aku menonyor kepalanya? Aku cubit dan aku aniaya? Nggak ada, Hen! Cuma kamu!"Heni melongo, mendadak semua bunga yang tadi bermekaran di dalam hatinya jadi layu. Bukan cuma layu, tapi bablas rontok tak bersisa, menyisakan perasaan gemas dan kesal setengah mati pada sosok tengil yang sedang meneleponnya ini."Terus kau lupa kita ini sepaket? Aku raja bau kalo kata anak-anak dan kau ratu wanginya. Bisa habis nanti kalo aku jaga nggak kamu pawangin! Kasihan anak-anak!" Lanjut suara itu yang entah kenapa di telinga Heni terdengar seperti memakinya."Eh bodo amat ya mau kamu raja bau kek, sumber bau kek, yang jelas nih ya, aku bahagia banget dapet rollingan ke sini. Ngerti? Jadi aku bodo amat nanti IGD mau penuh sesak sama kasus-kasus rumit, emang gue pikirin?" Salak Heni setengah berteriak. Dia lupakan semua perasaan hampa yang tadi dia akui itu. Bisa besar kepala Brian nanti kalau Heni sebenarnya lebih betah di RSUD pusat daripada di sini."Kau ini egois ya ternyata!"Heni membelalakkan mata. Egois kata Brian?"Eh sory ya, Mas, aku di-rolling ke sini juga kampus yang kasih. Ya aku nurut kampus lah. Jadi masalah 'perbauan' yang bersumber darimu itu bukan urusanku!" Maki Heni yang rasanya kepalanya sudah mendidih sempurna. "Kau yang bau kenapa aku jadi yang kau repotkan?""Kamu betah di sana, iya?" Tanya suara itu yang kembali terdengar lirih. Suara yang entah mengapa di telinga Heni seperti tidak terima dengan kepindahan Heni ke sini. Macam suara ratapan, tapi benarkah? Atau hanya Heni yang ke-PD-an?"Betah lah! Residen sini ganteng-ganteng! Doa kenceng ini aku biar nyantol satu! Daripada di sana, kerja rodi terus, jadi korban KDRT terus, males!"Tut!Heni menutup panggilan secara sepihak. Napasnya memburu, hatinya dongkol setengah mati. Kenapa sih harus ada makhluk macam Brian begitu? Kenapa?“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
“Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc
Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,
Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,
Brian merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya dia sampai di apartemen yang akan dia tempati selama beberapa tahun ke depan. Tempat yang entah akan Brian tiduri tiap malam atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Ia segera meraih ponsel, ada hal penting yang harus dia lakukan, hal yang sejak tadi sudah dipesankan padanya oleh sang istri.“Halo, udah sampai, Mas?” sapa suara itu begitu manis, suara yang seketika membuat Brian merindukan sosok itu. Ah ... bukankah beberapa saat yang lalu mereka masih bercengkrama bersama?“Udah, Sayang! Kalo belum sampai, mana mungkin mas nelpon kamu, Cintaku?” balas Brian sambil membayangkan wajah yang di mata Brian makin cantik dan mempesona semenjak dia hamil.“Cepet istirahat, besok hari pertama, kan?” desis suara itu lembut.“Kamu cepet nyusul, ya? Sepi banget rasanya di sini. Kamu udah makan lagi belum?” cecar Brian yang rasanya tidak ingin buru-buru mengakhiri sambungan telepon mereka.Terdengar tawa lirih dari seberang, membuat senyum Brian ikut te
"Aku berangkat hari ini, malam nanti bablas ke Jogja, maaf aku nggak bisa nginep."Heni menghela napas panjang, ada sedikit perasaan tidak rela suaminya malam ini tidak menginap. Padahal Heni begitu ingin malam ini tidur dalam pelukan sang suami, melihat interaksi Brian dengan calon bayi mereka seperti biasanya. Tapi malam ini ...Ia tersentak ketika merasakan tangan Brian meraih dan meremas tangannya dengan begitu lembut. Mata Brian menatap ke dalam mata Heni, seolah ingin mengatakan pada Heni bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang terjadi apapun itu. "Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak nginep?" Brian kembali meminta persetujuan, tentu Brian tahu betul arti dari tatapan mata istrinya itu. Heni tersenyum, kepalanya mengangguk pelan. Menolak kata hati dan keinginannya untuk ditemani dan dimanjakan oleh sang suami. Bukankah sejak awal sudah dibahas?"Nggak apa-apa, hati-hati yang penting. Nggak ada yang lupa, kan?" Brian menggeleng, tangan itu masih meremas lembu
Brian berhenti sejenak, ia kembali menoleh dan menatap rumah yang belum lama dia tempati bersama sang istri. Seulas senyum getir tergambar di wajah itu. Berat rasanya, tapi demi cita-cita dan masa depan, Brian menganggukkan kepala lalu kembali melangkah menghampiri mobil dengan koper di tangan. Ia sudah mulai bersiap, statusnya kini bukan lagi seorang dokter umum, melainkan seorang dokter residen. Bukankah ini cita-citanya? "Bismillah! Semoga lancar, Ya Allah!" desis Brian lirih kemudian menghidupkan mesin mobil. Perlahan tapi pasti Brian membawa mobilnya pergi dari depan rumah. Setelah ini, rumah itu akan kosong sementara. Heni masih harus mengabdikan diri di sana, jangan lupa sesuai rencana, Heni akan ikut Brian ke Jogja dan menetap di sana sampai anak mereka berusia sekitar satu tahun. Sebuah pengorbanan tentunya karena Heni harus merelakan cita-citanya untuk bisa praktek mandiri tertunda hanya demi menemani Brian berjuang mewujudkan mimpi. "Kelar PPDS, balik ke sini, kerja be