Abas dan Anisa terkesiap mendengar suara Bu Asih, apalagi keduanya salah tingkah dan mulai muncul bumbu-bumbu cinta di antara mereka. Anisa pun langsung mencari akal menjawab ucapan sang ibu. “Ehm semalam Anisa hampir jatuh, karena tersandung. Untung aja enggak luka.”Abas berdusta dan mencari alasan. Bu Asih menghampiri sang anak lalu memperhatikan kaki Anisa yang katanya sakit terjatuh. Anisa pun pura-pura meringis saat ia bergerak pelan. “Kamu enggak apa-apa, Nak?” tanya Bu Asih. Anisa merasa tidak enak karena telah membohongi sang ibu. Namun, tidak mungkin ia mengatakan kalau dirinya habis berciuman dengan Abas. Walau tidak akan marah, tapi rasanya tak baik saja mengatakan hal seperti itu. “Bu hanya syok saya akunya. Aku mau pamit dulu,” ujar Anisa dan langsung mencium takzim punggung tangan sang ibu.Tak lama Abas pun menyusul karena mereka pun akan pergi bersama. Di dalam mobil, Anisa masih canggung. Begitu juga Abas, yang merasa tidak enak mengingat kelancangannya sem
Nina sedikit gugup lalu menyimpan kembali ponsel ke saku baju. “Dari pacar saya, Nyonya.”“Oh, kalau pacaran jangan lupa ya kalau ingat kerjaan. Jangan sampai kamu malas,” ujar Bu Atik.“Iya, Nyonya.” Bu Atik pun langsung mengabaikan Nina, ia langsung menuju ke kamar untuk bersiap untuk bertemu beberapa teman. Sementara, Windy pun kembali ke kamar dan malas-malasan di kamar itu. Nina berpikir jika ada Windy, pasti ia tak akan leluasa untuk berduaan dengan Wisnu dan harus mencari tempat lain. Nina pun mengirim pesan pada Wisnu. [Mas, sepertinya kita akan lebih susah untuk berduaan karena ada adik mas, apa enggak kita keluar saja.]Nina kembali menyimpan ponsel ke sakunya. Lalu mengerjakan pekerjaan lain sembari menunggu pesan dari Wisnu. Nina mengambil baju Wisnu dan ingin mencuci. Namun, terlebih dahulu ia menciumi baju itu. Rasa kangennya pun hilang seketika saat mencium aroma baju kekasihnya yang tak alin adalah sang majikannya.“Heh, kamu ngapain cium-cium baju suami
Kesetiaan yang selalu Anisa pertanyakan. Ia tak mau kecewa untuk kedua kali. Apalagi mengingat dirinya dan Abas baru saja saling mengenal. Wisnu yang sudah mengenal lama saja bisa membuatnya kecewa, apalagi cinta kilat Abas dan dia. Semua tak ada yang tidak mungkin terjadi. Anisa hanya menjaga-jaga dari hal yang tak terduga kali ini. “Aku tidak butuh janji, hanya butuh kesetiaan dari kamu. Buktikan saja,” ucap Anisa. Ia menatap Abas dingin, sedangkan pria itu terus saja berpikir tentang apa yang di katakan Anisa.Dalam hal seperti ini Abas bingung bagaimana memberikan kesetiaan pada Anisa. Dirinya saja masih sedikit memikirkan mantan kekasihnya, Kinar. Hal itu membuatnya terkadang tak yakin dengan apa yang akan dijalaninya. Padahal ia saja sudah berusaha meyakinkan Anisa. Anisa tersenyum melihat Abas bergeming. Ia paham dan mengerti lalu melangkah ke luar tanpa peduli apa yang kini di pikirkan Abas. Anisa mengembuskan napas kasar, lalu mengambil minum yang sudah di sediakan di lu
“Kamu mau menceraikan aku?” Sinta kembali meninggikan suara.“Cukup, aku lelah. Besok kita bahas lagi.” Wisnu pun mengambil posisi di ranjang dan menutup seluruh tubuh dengan selimut. Pikirannya sedang tidak baik-baik saja sejak pagi. Bahkan saat memikirkan Anisa yang jauh berbeda dengan Sinta. Istri pertamanya itu tidak pernah berteriak saat bertengkar dengannya. Berbeda dengan Sinta, masalah sedikit saja sudah naik pitam.Lagi, Wisnu merasa menyesal dengan apa yang di lakukan dirinya pada Anisa. Berulang kali ia memejamkan mata, tapi bayangan Anisa kini menghantuinya. Sinta pun memunggungi sang suami. Tangannya mengepal keras, ia mulai curiga dengan Wisnu. Sesaat terdengar dengkuran dari sang suami, menandakan bahwa Wisnu sudah terlelap. Lalu, saat ingin memejamkan mata, ia mendengar Wisnu mengigau.“Ah, enak, Nin. Ah Nina, goyangannya indah. Ah, saya suka buah dada kamu.”Sinta terkesiap mendengar Wisnu mengingau. Ia membuka selimut, Wisnu pun masih mendesah dan menyebut na
Keringat dingin muncul di seluruh tubuh Nina saat melihat Sinta memberitahu jika ia menemukan antingnya. Sinta mengangkat tangan dan menggoyangkan benda kecil itu.Nina pun menghampiri untuk memastikan, benar pikirnya kalau anting itu miliknya. Mungkin terjatuh saat ia berada di kamar bersama dengan Wisnu. Sinta menyunggingkan senyum melihat wajah pucat pembantunya.“Ini, sama enggak?” Sinta bertanya sembari bangkit dan memperhatikan anting yang berada di telinga Nina. Sinta menahan emosi saat melihat benar anting itu memang milik Nina. Harusnya ia langsung menghajarnya bahkan membunuhnya. Namun, ia akan melihat permainan perempuan jalan itu lebih dahulu. “Eh, i—iya. Ini punya saya, aduh terima kasih Nyonya. Ketemu di mana?” tanya Nina ragu.“Di kamar saya, enggak jauh di pinggir ranjang. Kok bisa ada di sana, sih?” tanya Sinta pura-pura bingung.“Mungkin, saat saya mengganti seprei waktu itu. Pak Wisnu yang meminta, Nyonya.”“Mungkin, sih. Tapi, kamu ke kamar saya berduaan s
Sinta memanas, tangannya mengepal keras. Tak terima dengan perkataan sang suami yang cukup menyakitkan, ia pun menghampiri Wisnu. Tamparan cukup keras mengenai pipi Wisnu. Sinta tak terima dirinya disamakan dengan Nina. Apalagi, di cap pelakor oleh sang suami. Pertengkaran itu membuat pak Hartawan sakit kepala dan mual. Bahkan, ingin sekali menendang sang anak dari rumahnya.“Kalian semua biadab. Kamu Wisnu, berbuat zina di rumah saya. Dasar sudah gila! Punya pikiran tidak kamu?” Suara keras Pak Hartawan membuat Nina dan Sinta terkesiap. Pasalnya pria tua itu tak pernah semarah itu.Untung saja Bu Atik dan Windy sudah datang dan merelai pertengkaran itu. Keduanya heran dengan Nina yang sudah babak belur. Juga Sinta yang wajahnya memerah bagaikan tomat.Windy menatap Nina yang wajahnya penuh luka cakaran, lalu beranjak ke sang kakak yang tak kalah kacau. Netranya memandang Wisnu dari atas ke bawah, juga Nina yang ketakutan di ujung tembok.“Kalian gila, Mas, kamu juga enggak miki
Wajah Abas masam, ia tak suka jika Anisa membahas atau memberikan perhatian pada mantan suaminya. Namun, ia tak bisa berbuat apa pun karena mereka belum resmi menikah dan dirinya tak ada hak untuk melarang apalagi meminta Anisa untuk tak memikirkan mantan suami yang tak tahu diri itu. Anisa pamit untuk ke kamarnya, sedangkan Abas masih duduk di ruang TV. Amira menghampiri sang anak yang terlihat murung di depan TV. “TV menyala, tapi orangnya enggak nonton. Pandangannya kosong, kenapa anak mama?” tanya Amira. Abas menoleh lalu tersenyum, ia tak bisa menyembunyikan sesuatu dari sang ibu yang sudah lama merawat dirinya walau bukan ibu kandungnya. Segala macam ia ceritakan pada Amira, bahkan saat hati sedang gundah dan galau. Abas mulai menceritakan apa yang sedang ia bincangkan dengan Anisa. Lalu, ia pun menceritakan bagaimana tanggapan Anisa juga perubahan mimik wajah Anisa. “Mungkin, dia syok. Saat melihat mantan suaminya seperti itu. Wajar, sih menurut mama. Apalagi mereka berumah
Sinta tertawa memandangi beberapa pesan masuk dari sang suami sebelum ia memblokir nomor pria itu. Rasanya puas saat melihat video itu beredar di dunia Maya walau sudah di take down. Akan tetapi, Sinta puas karena sudah yakin membuat keluarga Wisnu ketar ketir termaksud Wisnu, suaminya. “Alia, gimana, ada kerjaan enggak buat aku?” tanya Sinta. “Ehm, ada sih, tapi aku enggak yakin kamu mau.” Alia menaruh tas di meja kafe, lalu meminum milk shake yang sudah di pesan Sinta. Netranya melirik ke sekeliling untuk memastikan tak akan ada yang mendengar mereka bicara. Melihat hal yang di lakukan Alia, Sinta pun menjadi ingin tahu pekerjaan apa yang akan dia berikan padanya.Alia kembali merapatkan duduk di samping Sinta dan berbisik pelan di telinga sahabatnya itu. Tak lama Sinta membulatkan mata, dia terkejut mendengar apa yang baru saja di bisikkan Alia.“Gila, kamu?” Sinta begitu syok.“Iya, enggak juga. Memang pekerjaan ini harus orang gila yang enggak mikirin harga diri. Yang p