“Baru pulang, sayang?”
Suara berat Adolf mengudara padahal sosoknya entah di mana itu membuat Jillian menghentikan langkah seketika.Adolf selalu memanggil Jillian dengan sebutan sayang tapi tidak pernah mampu sampai menyentuh hati Jillian.Hati Jillian beku semenjak daddynya terbang ke Singapura untuk keperluan bisnis—satu jam setelah sang mommy dimakamkan.“Anak gadis enggak baik tidur larut malam, nanti kantung matanya timbul.”Adolf berusaha menasihati Jillian dengan candaan.“Jil, ke kamar dulu.” Jillian pamit, enggan berkomunikasi dengan Adolf setelah pertengkaran mereka tadi sore.Kakinya hendak ia hentakan menaiki anak tangga.“Jil, Daddy mau bicara sebentar boleh?”“Sudah malem, Dad … Daddy harus istirahat, sudah tua.”Tidak ada nada tinggi atau ketus, setiap kali setelah pertengkaran—Adolf memulai pembicaraan kembali dengan lemah lembut maka Jillian akan mengikuti.Adolf tertawa renyah. “Duduk sini sayang, Daddy mau minta maaf.”Jillian mengembuskan napas lantas membalikkan badan.Ternyata sang Daddy sedang duduk di sofa panjang di ruang televisi.Jillian duduk di samping Adolf, menuruti beliau karena berpikir masih memiliki kesempatan untuk meminta sejumlah uang keperluan Euro Trip.“Daddy minta maaf kalau kamu merasa Daddy ngatur hidup kamu, Daddy hanya ingin kamu menjadi orang sukses ….”Ada jeda cukup lama, mereka sama-sama terdiam hingga akhirnya tangan Adolf terangkat menyentuh kepala Jillian.“Kamu masih butuh uang untuk liburan, kan?”Jillian refleks menoleh menatap Adolf dengan seulas senyum tipis.Apakah Daddynya hendak membayar kesalahan dengan memberikan sejumlah uang yang ia minta tadi sore untuk liburan?Jillian sangat berharap demikian karena jika tidak, ia akan gengsi tidak belanja saat liburan bersama teman-temannya nanti.“Daddy akan kasih ijin dan sejumlah uang yang kamu minta tapi kamu harus ikut Daddy hari Sabtu ini untuk bertemu klien Daddy.”Mata Jillian seketika membulat. “Jangan bilang Daddy mau jodohkan Jil sama anaknya klien Daddy.”Telunjuk Jillian bersama matanya yang memicing mengarah pada Adolf membuat Adolf tertawa pelan.“Bukan sayang, Daddy ingin memperkenalkan kamu sama klien Daddy … dia masih lajang dan kalau kamu belum menentukan ke mana akan berkuliah … kamu bisa menikah sama dia, dia akan menghidupi kamu nantinya.”“No!!! Jill enggak mau nikah sama pria tua, Daddy mau jual Jill demi kesepakatan bisnis atau apa? Daddy tahu ‘kan kalau aku punya pacar!”Jillian sontak berdiri, nada suaranya naik beberapa oktaf dan tatapan nyalangnya sungguh menyakiti hati Adolf.“Tapi pacar kamu Rangga itu bukan laki-laki baik, dia sering ngajak kamu ke night club, menghabiskan uang kamu dan di—““Dad, stop! Seenggaknya dia mencintai Jill dan selalu ada untuk Jill … pokoknya Jill enggak mau!” seru Jillian tegas.“Kalau begitu maafkan Daddy, Daddy enggak akan kasih ijin kamu pergi liburan apalagi kasih uang … kamu pertimbangkan dulu, hanya pertemuan makan malam dan jika kamu bersedia menikah dengan klien Daddy maka ijin beserta uangnya akan kamu dapat.”Adolf beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan Jillian yang mematung karena ultimatum Daddynya.Baru sekarang daddynya sekeras ini, biasanya akan luluh setelah beberapa saat mempertimbangkan keinginannya.Tapi sepertinya sang daddy benar-benar membencinya hingga ia dijodohkan oleh pria tua agar daddy tidak perlu repot mengurusnya lagi.Prasangka buruk itu membuat hati Jillian semakin perih dan membenci daddynya.Jillian melangkah cepat menapaki anak tangga seiring air matanya yang tidak berhenti mengalir membasahi pipi.“Mommy … Jill mau dijual sama daddy.” Jillian terisak setelah masuk ke dalam kamar dan membenamkan wajahnya pada bantal dengan posisi tengkurap di atas ranjang.Jillian menangis tersedu membayangkan ia akan menikah dengan pria tua.Tapi jika ia tidak datang pada makan malam dengan klien daddynya maka tidak akan ada ijin dan uang jajan untuk liburan.Jillian tidak sanggup menanggung malu dan di bully habis-habisan oleh ketiga sahabatnya.Suara ponsel berdering membuat Jillian menghentikan tangis lalu mendudukkan tubuh.Ia tarik kembali tas yang barusan dilempar ke ujung ranjang.Merogoh ke dalam tas untuk menemukan ponsel.Wajah tampan Rangga memenuhi layar alat komunikasi canggih miliknya, bibir Jillian tersenyum lebar menghempaskan kesedihan.“Rangga,”ucap Jillian antusias.“Sayangnya aku lagi apa?” tanya suara bas nan seksi itu mengalun menembus indera pendengaran Jillian hingga mampu menghangatkan hatinya.“Baru pulang dari Caffe Callista, kamu kapan balik ke Jakarta? Aku kangen.”Darah Rangga berdesir mendengar suara manja Jillian.“Senin aku pulang, kamu nginep di apartemen aku ya … aku juga kangen.”Dalam benaknya, Rangga membayangkan meremat dua gundukan di dada Jillian lalu bokong gadisnya yang sintal.“Aku cari alasan dulu biar daddy kasih ijin.”“Thanks sayang,” bisik Rangga parau yang tengah menahan gejolak hasratnya.Jika bukan karena urusan pekerjaan, ia sudah pulang ke Jakarta untuk mengecup setiap jengkal tubuh Jillian.Bercumbu dengan Jillian merupakan candu bagi Rangga setahun terakhir ini meski ia belum juga berhasil merenggut mahkota Jillian.Jillian terlalu sulit ditaklukkan tapi meski begitu, mulut Jillian sudah cukup membuatnya puas.“Rangga?” Jillian memanggil nama kekasihnya lagi dengan nada manja.“Ya sayang,” sahut Jillian sama manjanya.“Aku ….” Jillian menjeda kalimatnya.“Kenapa?” Rangga bertanya setengah penasaran.“Kalau aku dijodohkan oleh daddy, kamu mau enggak ngelamar aku ke daddy … jadikan aku istri kamu, Rangga.”Rangga terdiam, butuh tujuh detik hingga akhirnya ia bersuara.“Daddy kamu enggak suka sama aku, sayang … aku hanya lulusan SMA dan berprofesi sebagai photographer … aku mau menikahi kamu, tapi setelah aku jadi photographer terkenal … aku lagi usaha buat kamu, sayang.”“Kalau kamu hamilin aku aja gimana?”Sontak Rangga tergelak mendengar permintaan kekasihnya.“Jangan becanda sayang, aku bisa digantung daddy kamu nanti.”Jillian melipat bibirnya ke dalam, pendar sendu membayangi matanya.Sejumput kecewa menyelip di hati Jillian setelah mendengar Rangga seakan tidak ingin memperjuangkannya padahal ia telah memberi jalan.“Kita latihan aja dulu buat bayinya, gimana?”Rangga memberi ide gila ke arah hubungan yang lebih intim.“Kalau jadi bayi, kamu mau tanggung jawab, kan?”“Ya pasti lah, sayang … aku pasti akan tanggung jawab.” Rangga menjawab cepat.“Tapi kamu enggak akan hamil, sayang.” Batin Rangga menambahkan.Tentu saja ia belum siap untuk berumah tangga apalagi memiliki anak.Ia akan mengejar kariernya dulu yang kini terbentang di depan mata.***Akhirnya Jillian menyetujui keinginan daddy, ikut makan malam bersama klien demi mendapat ijin dan uang jajan Euro Trip.Untuk urusan perjodohan, dia bisa ngeles nanti.“Jil, Daddy minta kamu jangan cemberut ya … kamu harus bersikap manis, kamu harus ngobrol sama klien Daddy ini ….” Adolf menasihati Jillian karena raut wajah Jillian tampak masam dengan bibir cemberut selama perjalanan.“Kalau Jill enggak suka gimana? Jill enggak suka pria tua, Dad.”“Klien Daddy ini enggak tua-tua banget kok, Jill … lihat lah saja dulu baru kamu komentar.”Adolf begitu percaya diri karena menurut semua wanita—yang sebelumnya sudah pernah ia tanyakan kepada Amira-sekertarisnya—jika Kenzo Maverick memiliki ketampanan di atas rata-rata pria Indonesia pada umumnya.Tubuh tinggi atletis dan pembawaannya yang kalem ditunjang kepintaran juga jabatannya di sebuah perusahaan besar membuat Kenzo Maverick digilai banyak wanita.Jadi, Adolf berpikir jika Jillian pun pasti akan menyukai Kenzo.“Jiiil,” tegur Adolf ketika mereka sudah turun dari mobil.Adolf mengingatkan Jillian tentang pesannya yang tadi.“Iya, Dad.” Jillian mengesah.Seorang pelayan mengantar mereka ke meja yang telah dipesan.Meja tersebut masih kosong.Jillian sengaja duduk di samping Adolf agar tidak perlu dekat dengan pria tua yang akan dijodohkan dengannya.Adolf merogoh ponsel di saku celana, membaca pesan yang masuk lalu mengetikan sesuatu untuk membalas.“Dia sudah dekat tapi tertahan macet, katanya.” Adolf memberitau alasan kenapa sang klien terlambat dan Jillian sangat tidak peduli.“Jill ke toilet sebentar ya, Dad.”Jillian pamit lantas beranjak meninggalkan Adolf setelah beliau mengangguk memberi tanggapan.Jillian sedang berpikir bagaimana caranya untuk membuat perjodohan ini tidak berhasil.Jillian tidak memiliki siapapun untuk bertukar pikiran atau meminta pendapat.Ketiga sahabatnya bukan sahabat yang bisa dipercaya dan bisa menerima keadaan susahnya Jillian.Jillian mengembuskan napas panjang, usai mencuci tangan—Jillian melangkah gontai ke meja di mana daddynya berada namun langkahnya terhenti tatkala melihat seorang pria tua duduk di depan Adolf.Mereka berbincang tampak akrab dan Jillian mengenal siapa pria tua itu.Pria tua itu memang klien daddynya semenjak Jillian SD.“Daddy jahat banget,” lirih Jillian dengan mata berkaca-kaca.Jillian memutar tubuhnya menuju pintu keluar. Ia mengendap-ngendap karena pak Ujang ada di dekat mobil dan jika melihat dirinya kabur pasti akan langsung memberitau Adolf.Jillian bersembunyi di antara kerumunan sebuah keluarga yang baru saja keluar dari resto, berharap pak Ujang tidak melihatnya.Ia baru bernapas lega setelah sosoknya terhalangi sebuah mobil.Bergegas lari di antara rintik hujan yang mulai membasahi kota Jakarta Sabtu malam itu—Jillian melintasi area parkiran yang luas menggunakan heels-nya .Yang ada dipikirannya adalah lari sejauh mungkin untuk menghindari perjodohan.Heels yang dikenakan Jillian tersandung sebuah batu sehingga ia limbung ke depan bertepatan dengan sebuah mobil yang sedang melintas sehingga menimbulkan decitan kencang.Sang driver di balik kemudi berusaha keras untuk tidak melindas gadis cantik yang tengah tersungkur di depan kap mobil.Semua pasang mata yang ada di area parkir termasuk driver Ujang sontak mengalihkan pandangannya ke arah Jillian.Jillian menoleh ke belakang, ia melihat pak Ujang membelalakan matanya.“Nooon!” seru pak Ujang memanggil seraya berlari mendekat.Buru-buru Jillian bangkit dari paving block, bukannya berlari menuju jalan raya—entah apa yang ada di pikirannya sehingga menarik handle pintu mobil bagian penumpang depan—yang nyaris menabraknya barusan.Kursi penumpang yang kebetulan kosong itu langsung di duduki Jillian.Matanya bersirobok dengan netra coklat sang pengemudi, ia ingat wajah tampan di depannya itu tapi lupa pernah melihat di mana.“Om … jalan Om, please … tolongin aku … please … cepetan jalan sebelum aku ketangkap supir aku terus dijodohin daddy sama pria tua!!”Jillian mencengkeram lengan berotot Kenzo sambil duduk gelisah di atas jok mobil meminta Kenzo menginjak pedal gas pergi dari pelataran parkir resto.Sesaat Kenzo terdiam menatap Jillian namun cengkeraman gadis itu di lengan atasnya membuat Kenzo akhirnya menginjak pedal gas lalu memutar kemudi menuju pintu keluar.Jillian tidak tahu saja jika pria yang dijodohkan Adolf untuknya adalah pria yang saat ini sedang ia mintai tolong membawanya pergi dari acara perjodohan tersebut.“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya