Share

Mendadak Menikah Dengan Klien Papa
Mendadak Menikah Dengan Klien Papa
Penulis: Erna Azura

I Hate Daddy

“Tunggu sini aja ya, Pak … aku cuma sebentar kok.”

“Baik, Non.”

Setelah mobil yang dikendarai driver Ujang berhenti sempurna di depan loby kantor daddynya—Chalondra Jillian Guzman, putri tunggal dari Adolf Guzman-pemilik kerajaan bisnis yang terdiri dari real estate, komunikasi, jasa keuangan, jasa kesehatan, perusahaan kertas dan agribisnis di Indonesia—turun dari mobil mewahnya dan melangkah gemulai melintasi loby.

Semua mengangguk disertai senyum ramah menyapa putri dari pemilik perusahaan di mana mereka bekerja.

Tapi tidak sedikitpun senyum ramah berbalas dari bibir gadis yang kerap disapa Jillian itu, malah dagunya terangkat tinggi dengan tatapan lurus ke depan.

Jillian terkenal sombong dan jutek juga bermasalah.

Seringkali Adolf terkena serangan jantung karena ulah putrinya.

Terlibat perkelahian di nightclub hampir setiap minggu.

Merasa anak Sultan, Jillian juga selalu bersikap semena-mena dalam memperlakukan seseorang.

“Daddy ada ‘kan, Tante?”

Jillian bertanya kepada Amira-sekertaris daddynya yang telah bertahun-tahun mengabdi.

Meski demikian, langkahnya sama sekali tidak ia hentikan. Langsung berjalan menuju pintu lalu membukanya tanpa bersedia mendengar jawaban Amira.

Amira yang sudah membuka mulutnya jadi urung bersuara ketika melihat Jillian sudah masuk ke dalam ruangan Adolf Guzman.

Hembusan napas panjang keluar dari bibir mungil wanita itu bersama gelengan kepala samar.

“Dad, minta duit!” seru Jillian ketika daddynya mendongak dari berkas di meja.

“Buat apalagi, sayang? Minggu kemarin kamu menghabiskan satu koma lima Milyar untuk sebuah tas berukuran kecil.”

Kalimat sindiran itu diucapkan Adolf dengan nada lembut dan tatapan mata teduh memandang putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.

“Jil mau shopping,” jawab Jillian santai, menghempaskan bokongnya di kursi yang ada di depan meja Adolf Guzman.

“Berapa?” Adolf bertanya seraya meraih ponselnya untuk mentransfer sejumlah uang melalui Mobile Banking ke rekening Jillian.

“Emm ….” Jillian tampak berpikir.

“Tujuh ratus ribu Euro kayanya cukup,” jawabnya kemudian.

“Astaga sayang, tujuh ratus ribu Euro itu hampir sebelas Milyar … kamu enggak salah?”

Jillian menggelengkan kepala dengan bibir menyunggingkan senyum sejuta pesona.

“Jil shopping-nya di Eropa … mau Euro Trip sama teman-teman, boleh ya Dad.”

Jillian meminta ijin tapi matanya malah menatap kuku-kukunya yang baru saja ia manicure.

Gadis itu sangat tidak menghormati daddynya.

“Tapi sebentar lagi kamu ujian kelulusan, apa kamu sudah belajar? Sudah menentukan mau kuliah di mana?”

Jillian menggelengkan kepala, bibir bawahnya maju sedikit membuat wajah cantik gadis itu tampak menggemaskan.

Adolf Guzman jadi merindukan mendiang istrinya-Maharani Putri yang wajahnya mirip Jillian.

“Belum, Jillian bingung mau kuliah di mana.” Sungguh jawaban yang kelewat enteng dari siswi kelas dua belas yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir kelulusan.

“Ya ampun Jil, tolong Daddy sekali ini saja … kamu pikirkan masa depan kamu … jangan main-main terus, kamu harus kuliah setinggi mungkin lalu memegang perusahaan Daddy … hanya kamu harapan Daddy satu-satunya.”

Ekspresi memelas di wajah Adolf Guzman yang sudah keriput dimakan usia itu tidak juga bisa meluluhkan hati Jillian.

Sang putri beranjak dari kursinya, menatap nyalang Adolf Guzman dengan kedua tangan ia simpan di pinggang.

“Daddy selalu nuntut Jill untuk jadi ini dan itu tapi Daddy enggak pernah ada untuk Jill, ingat pentas seni di sekolah Jill waktu SD? Cuma Daddy Jill yang enggak hadir, ingat waktu Jill SMP? Daddy enggak ada untuk menonton Resital Piano Jill padahal Daddy sudah bayar mahal guru les buat Jill dan ketika SMA … Daddy hanya nama buat Jill, seolah enggak ada sosoknya … bahkan ketika mommy meninggal, Daddy tega ninggalin Jill untuk perjalanan bisnis … jadi stop! Ngatur hidup Jill!!!”

Dada Jillian kembang kempis dampak dari emosi yang membuncah.

Buliran kristal meluncur dari sudut matanya tanpa bisa Jillian cegah.

Jillian menyusutnya kasar. “Sekali lagi, jangan pernah atur hidup Jill karena Jill enggak akan mau nurut sama Daddy!”

Jillian membalikan badan lalu pergi setelah berkata demikian, melupakan niat awalnya datang ke sini.

Amira yang berpapasan dengan Jill di lorong—dilewati Jill begitu saja tanpa sapa, malah mendelik kesal kepada wanita yang ia curigai menjalin kasih dengan daddynya.

“Siapa dia seenaknya ngatur-ngatur hidup gue.” Jillian menggeram penuh emosi, menekan tombol lift tidak sabaran.

Napasnya masih memburu hingga pintu lift terbuka di lantai dasar.

Dan seperti ketika ia masuk, sekarang pada saat hendak keluar dari gedung pencakar langit milik daddynya pun Jillian tidak membalas sapaan karyawan di sana.

Kebetulan mobil sedan mewah berwarna silver yang mirip seperti miliknya berhenti tepat di depan loby.

Jillian menarik handle pintu lantas masuk begitu saja.

“Ke Kemang, Pak … Caffenya Callista,” titah Jillian pada driver sambil menatap layar ponselnya.

Jemari Jillian yang di setiap kukunya terdapat nail extension itu sibuk mengetikan sesuatu.

Namun, mobil yang baru saja ia masuki tidak bergerak sedikitpun dan Jillian merasa ada sesosok makhluk duduk di sampingnya.

Jillian refleks menoleh, matanya membulat melihat seorang pria dengan pakaian formal seperti yang sering digunakan sang daddy ke kantor—duduk tenang dan menatap datar ke arahnya.

Jillian melongok ke depan, driver yang duduk di belakang kemudi bukanlah pak Ujang.

“Ah sialan, gue salah masuk mobil.” Jillian mengumpat di dalam hati.

“Sorry Om, salah masuk mobil ….”

Jillian langsung turun tanpa mau mendengar tanggapan apapun dari pria yang sudah dipastikan adalah si pemilik mobil.

Malu?

Sedikit, tapi ya sudah lah ya. Kejadian konyol itu terjadi di kantor daddynya dan pria tadi pasti mengenal daddynya.

Pandangan Jillian langsung tertuju pada jenis mobil dan warna sama.

Mobil hadiah ulang tahun dari daddynya itu terparkir di ujung jalur drop out agar tidak menghalangi mobil yang lewat.

“Pak, ke Kemang … ke Caffe Callista,” titah Jillian kepada driver Ujang.

“Siap Nooon!” seru driver Ujang membuat senyum di bibir Jillian terbit.

Kali ini ia tidak salah mobil dan bersama orang yang tepat, orang yang semenjak kecil selalu menemani ke mana ia pergi.

Berbanding terbalik dengan suasana hati Adolf Guzman yang kini tengah bersedih karena baru menyadari jika selama ini telah menyakiti putri semata wayangnya.

Terbukti dari ungkapan kekesalan Jillian barusan yang diucapkan dengan pendar mata penuh kebencian.

Tok …

Tok …

Adolf Guzman menoleh ke arah pintu, tangannya bergerak cepat menyusut buliran kristal yang lancang keluar dari sudut mata.

“Pak … Pak Kenzo sudah datang,” kata Amira memberitau.

“Suruh masuk, Mir.”

“Baik Pak,” sahut Amira sedikit mengangguk kemudian bergeser untuk mempersilahkan Kenzo Maverick-klien besar perusahaan GZ Corp. Milik Adolf Guzman.

“Pak Adolf,” sapa Kenzo disertai senyum ramah.

“Kenzo … duduklah,” balas Adolf yang sudah menganggap Kenzo seperti anaknya sendiri karena umur mereka terpaut dua puluh lima tahun.

“Bagaimana dengan kesehatan Pak Adolf, waktu saya di Canada … saya dengar Pak Adolf harus pasang ring lagi.”

Kenzo sangat perhatian karena dari klien yang lain hanya Adolf Guzman yang sangat mempercayai dan selalu mendukung juga banyak mengajarinya berbisnis.

“Ya, kemarin saya pasang ring … kebetulan Jillian sedang liburan di Singapura jadi dia enggak tahu.”

Raut wajah Adolf berubah sendu. Adolf tidak ingin membuat putrinya bersedih meratapi penyakitnya yang semakin memburuk sehingga selalu merahasiakan apapun yang terjadi dengan kesehatannya.

Tapi jika dipikirkan kembali, mungkin Jillian tidak akan peduli.

Gadis berusia sembilan belas tahun itu hanya peduli dengan uang daddynya saja.

“Umur kamu berapa tahun ini, Ken?”

Tiba-tiba Adolf bertanya setelah terdiam beberapa detik dan selama keterdiaman Adolf yang menatap kosong pada sudut ruangan—Kenzo juga dengan sabar menunggu pria yang sangat ia hormati itu mengutarakan maksud memintanya datang ke sini.

“Tiga puluh satu tahun … tahun ini, Pak.” Kenzo menjawab cepat.

“Kenapa kamu belum menikah? Saya juga enggak mendengar kamu dekat dengan seorang wanita … kamu normal ‘kan, Ken?”

Kenzo tertawa menanggapi pertanyaan absurd Adolf.

“Saya normal, Pak … tapi pekerjaan saya sangat menuntut waktu dan perhatian jadi saya enggak punya waktu menjalin hubungan.”

Kenzo menjawab diplomatis menghasilkan senyum tipis Adolf, sejenis senyum bangga dalam hati berharap ia memiliki putra yang hebat dan tangguh dalam bisnis seperti Kenzo.

Tapi tidak mungkin ia menikah lagi apalagi memiliki anak kembali karena umurnya saja divonis dokter hanya tersisa beberapa bulan.

“Ken ….”

“Ya, Pak?”

“Saya ingin kamu memimpin perusahaan saya, semua perusahaan saya … saya tahu kamu bisa.”

Kalimat yang diucapkan Adolf dengan ekspresi serius itu membuat Kenzo menaikkan kedua alisnya terkejut.

Beberapa detik kemudian ia tersenyum.

“Sebaiknya Pak Adolf mengurungkan niat Bapak itu karena nanti Pak Adolf akan diprotes keras oleh para pemegang saham … mereka juga meski hanya sedikit memiliki saham GZ Corp. Tapi pasti memiliki anak atau kerabat yang bisa dipercaya untuk memimpin perusahaan ini.”

“Maka dari itu menikah dengan anak saya.”

Kenzo mengerjap pelan, wajah tampannya yang sedang tertegun semakin tampan saja.

Pria itu kemudian tertawa kering. “Jangan becanda, Pak … saya rasa putri Bapak tidak akan mau menikah karena perjodohan.”

Gadis yang tadi tidak sengaja masuk ke dalam mobilnya itu memang cantik, seringkali Adolf memperlihatkan foto Jillian kepadanya tapi seragam SMA yang dikenakan Jillian memberitau Kenzo betapa masih sangat mudanya Jillian dan tidak mungkin mau untuk membina biduk rumah tangga dengan pria yang baru ia kenal.

Memang benar, Jillian akan menentang keras—Adolf sangat tahu itu.

“Ken, saya titip anak saya … saya ingin kamu yang menikahi dia dan pimpin perusahaan saya dengan baik, saya percaya sama kamu … saya mohon, Ken. Anggap saja ini permintaan terakhir saya, mungkin hidup saya tidak akan lama lagi.”

“Jangan berkata seperti itu, Pak … apapun yang divonis dokter belum tentu menjadi takdir Pak Adolf, semangat Pak … Bapak memiliki seorang putri yang sangat membutuhkan Bapak.”

Adolf menundukkan pandangan menatap ujung sepatunya.

“Dia membenci saya, Ken … saya tahu kenakalan Jillian selama ini adalah bentuk protesnya terhadap saya yang dianggap menelantarkannya … saya harap setelah saya tiada nanti, dia bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi … tolong bimbing dia, Ken … Jillian sebenarnya anak yang baik dan penurut.”

Adolf mendongak dengan matanya yang telah basah oleh buliran kristal.

Kenzo menatap Adolf lekat, sorot mata permohonan yang terpancar di netra Adolf memberitau Kenzo betapa sayangnya Adolf pada Jillian.

Beruntungnya Jillian memiliki ayah yang sangat sayang dan peduli terhadap masa depannya.

Tidak seperti Kenzo yang lahir dari ibu seorang pelacur meski ayahnya adalah pengusaha sukses di Negri Paman Sam.

Tapi Augusta Maverick memiliki banyak anak laki-laki dari istri syahnya sehingga Kenzo hanya mewarisi nama pria itu saja dan luka yang terlalu dalam yang beliau torehkan karena semasa hidup tidak sepeserpun membiayai kehidupan Kenzo.

Apa yang Kenzo capai sekarang adalah murni kerja kerasnya sendiri, untuk bisa dipercaya menjadi CEO di salah satu perusahaan besar ini tidaklah mudah.

Begitu banyak yang sudah ia korbankan.

Di koordinat lain tepatnya di Caffe milik Callista-sahabat Jillian.

Keempat gadis cantik yang masih memakai baju SMA itu sedang asyik bercengkerama disertai gelak tawa.

Jillian selalu bersikap ceria dan bahagia di depan ketiga sahabatnya, tidak akan sekalipun ia menunjukkan tampang sedih karena baginya itu adalah aib.

“Gimana nih, jadi enggak kita Euro Trip?” Izora bertanya antusias.

“Jadi donk,” sahut Kirana semangat.

“Jil, kok lo diem aja? Bokap lo ngijinin enggak?” Callista menyenggol lengan Jillian yang terlihat tidak bersemangat ketika Izora menyinggung tentang rencana liburan mereka.

“Iya, diijinin lah … masa iya enggak.” Jillian menjawab tanpa berani menatap lawan bicaranya.

“Asyiiiik, begitu donk! Kita harus kompak.”

“Kompak ngabisin duit orang tua.” Kirana menimpali ucapan Callista.

“Gue disuruh bokap survei kampus di sana,” cetus Izora yang refleks membuat ketiga sahabatnya tersedak minuman.

“Kok gitu! Katanya kita mau kuliah di Jakarta.” Jillian tidak terima, ia belum mempersiapkan apapun untuk kuliah di luar Negri.

“Sorry, ghenks … bokap ingin gue kuliah di Inggris.” Izora mengaku dengan raut sendu.

“Yaaaa ….” Callista dan Kirana melorotkan bahunya sedih.

“Sorry banget, gue enggak bisa membantah … selama ini bokap selalu ngasih apa yang gue minta.”

Jillian merasa tersindir tapi bibirnya berusaha tersenyum dan mengerti dengan keputusan Izora.

Mungkin ayah dari Izora sangat menyayangi Izora jadi Izora tidak membenci ayahnya seperti perasaan yang dimiliki Jillian saat ini kepada Adolf.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bys Adi
seru dan asik bcanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status