“Saya Andra, calon suami Dinda.”
Semua terperangah mendengar jawaban pemuda bersetelan dokter yang tiba-tiba datang. “Calon suami?” Yani bangkit dengan wajah kesal. Menatap tak sabar orang yang telah mengganggu rencananya. Kemudian baru teringat pada wajah tampan yang beberapa hari lalu juga ikut campur saat ia sedang memarahi Dinda. “Oh, kamu yang tempo hari mau nikahin si Dinda?” Andra melepaskan tangan Dahlan dan beralih menatap Yani. “Ya. Saya yang lebih dulu melamar langsung pada Dinda, dan saya juga laki-laki yang pertama kali diterima Dinda. Jadi saya yang berhak menikahinya.” “Huh,” Yani mendengus. “Apa tujuanmu nikahin dia? Toko buku? Apa si Dinda bilang toko ini miliknya?” Yani tertawa sinis, “asal kamu tau, ya, toko ini udah sepenuhnya milik kami. Si Dinda harusnya malah nombok buat biaya kami ngerawat dia. Jadi, kamu nggak akan dapat apa-apa kalau nikah sama dia.” “Saya nggak butuh apa-apa. Saya hanya ingin menikahinya.” Amir ikut berdiri dan menatap pemuda itu serius. “Kamu pacarnya Dinda?” “Bukan Pak. Saya akan menjadi pacarnya setelah menikah nanti.” “Apa Dinda mencintaimu?” Yani langsung memelototi suaminya. “Apaan sih, Pa?!” Amir tampak serba salah. Masih ingin menolong keponakannya tapi tak berani melawan istrinya. Brak. Pak Dahlan bangkit dari kursinya dengan kasar. Wajahnya yang garang tampak memerah. “Kalau kalian berani membatalkan pernikahan ini, maka bayar hutang kalian sekarang juga. Beserta bunga dan tanpa cicilan!” “Waduh, Pak. Siapa juga yang mau ngebatalin? Ini Cuma gangguan kecil,” Yani cepat-cepat menenangkan laki-laki itu. Bisa tamat riwayatnya jika harus membayar hutang itu sekaligus, beserta bunganya lagi. “Herman!” panggilnya gusar. Tukang ojek yang sering kali menjadi suruhan Yani itu tergopoh-gopoh menghampiri. “Iya, Bu.” “Seret pengganggu ini keluar!” titahnya. “Tunggu dulu!” Andra mengangkat sebelah tangannya. “Saya akan membayar hutang itu.” Semua orang terdiam mendengar ucapan sang dokter. Selang beberapa detik, suara tawa meremehkan terdengar dari Dahlan. “Kau tau berapa hutangnya? Bocah bau kencur sepertimu paling baru merasakan gaji dua jutaan sebulan. Cepat keluar sekarang, jangan buang waktuku!” Dinda yang tak menanggapi apapun melirik ke sekelilingnya. Semua orang sedang fokus pada Dokter Andra dan Pak Dahlan. Ini waktu yang tepat untuk rencananya melarikan diri.Kemudian menatap sang dokter dengan rasa bersalah. Melihat Andra mengeluarkan sebuah kartu nama dan menaruhnya di atas meja.Dinda menghela napas. Ia tahu usaha laki-laki itu akan sia-sia. Mereka tak akan tertarik pada titel dokter. Yang mereka butuhkan adalah orang yang memiliki uang. Amir mengambil kartu nama itu dan membacanya dengan suara yang lumayan jelas, “Andra Janson. Owner Semanggi Properti.” Tak ada yang tidak tahu Semanggi Properti. Pusat Properti terbesar di kota itu.Semua terpaku. Kemudian serentak memperhatikan pemuda yang menyatakan diri sebagai calon suami pilihan Dinda itu. Bagaimana mungkin pemilik usaha sebesar itu melamar gadis yatim piatu seperti Dinda? Dinda sendiri juga tak kalah terkejutnya. Laki-laki ini benar-benar banyak kejutannya. Pertama seorang Dokter dan sekarang owner Semanggi Properti? “Berapa semua hutangnya? Saya akan lunasi. Dan kursi pengantin pria menjadi milik saya,” tegas Andra sekali lagi. Pak Dahlan mengepalkan kedua belah tangannya. Ia tak ingin kalah seperti ini. Dinda harus menjadi pengantinnya.*** “Saya terima nikahnya Dinda Zahara Kirani bin Muhammad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin berlian dibayar tunai!” Dalam satu kali tarikan napas, lafal ijab kabul itu telah menjadikan Dinda sebagai seorang istri. “Sah?” Penghulu bertanya pada ke empat orang saksi. “Sah!” tegas para saksi. Dinda meremas kedua tangannya dengan dada yang terasa begitu sesak. Akhirnya ia tak berhasil kabur seperti rencana. Padahal ia tak pernah berharap untuk segera menemukan jodoh. Ia masih ingin menggapai cita-cita setinggi mungkin. Menjadi anak yatim-piatu yang sukses dan membanggakan. Namun kini, selesai sudah. Tanpa berkata-kata ia bangkit dari kursi pengantinnya dan berlari keluar. “Lah, anak ini udah ijab-kabul malah kabur!” Yani mendelik kesal melihat Dinda. Dinda tak peduli. Ia hanya ingin menenangkan diri sejenak. Langkahnya terus menyusuri jalanan menuju ke jembatan kota yang menjadi tempat terindah dan kebanggaan kota itu. Jembatan dengan sungai yang indah di bawahnya.Sehingga pemerintah daerah tersebut menyulap jembatan itu persis seperti jembatan di Amsterdam, Belanda. Dan ditutup untuk akses transportasi. Jembatan itu hanya boleh dikunjungi dan dilalui oleh pejalan kaki. Tanpa ia sadari seseorang mengikuti dan mengawasinya dengan tatapan tajam. Seseorang berwajah tampan yang tak lain adalah Dr. Andra Janson. Begitu sampai di tepi jembatan, Dinda berdiri terpaku. Menatap jernihnya air dan sebuah perahu wisatawan yang ingin menikmati keindahan sungai itu. Tak peduli dengan tatapan orang. Tempat ini selalu menjadi tempat menenangkan diri bagi Dinda selain di atas sajadah. Melihat senyum bahagia para wisatawan membuatnya ikut merasakan suasana hati mereka yang sedang melupakan beban. Di belakangnya, Andra terus mengawasi dengan tatapan yang sama. Menunggu apakah gadis itu akan meloncat untuk bunuh diri atau tidak. Ia paling benci orang yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Sangat benci. Namun hingga hampir setengah jam menunggu, ternyata Dinda tak tampak sama sekali ingin bunuh diri. Laki-laki itu akhirnya menghampiri. “Apa kau tak berani melakukannya?” Pertanyaan Andra terdengar sedikit kasar. Dinda tampak kaget dan langsung berbalik. “Dokter?" lirihnya. "Melakukan apa?” “Melompat ke bawah.” “Melompat? Buat apa?” Dinda mengernyit, namun kemudian ia sadar apa maksud pertanyaan Andra. Gadis itu tersenyum tipis. “Bunuh diri? Insyaallah saya tak akan pernah ingin melakukan itu. Nyawa saya adalah milik Allah, bukan milik saya sendiri. Jadi hanya Allah yang berhak mencabutnya dari tubuh ini,” jawabnya. Andra terpaku mendengar jawaban gadis itu. Raut wajahnya yang dingin seketika berubah. Tanpa sadar ia melangkah maju dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat seolah tak akan melepaskannya lagi. Dinda tersentak kaget. Tak menyangka laki-laki bertubuh jangkung dan tegap itu akan memeluknya. Tubuhnya terasa membeku dalam pelukan hangat itu. “Maafkan aku. Aku pikir kamu menyesal telah menikah denganku,” ucap Andra. Dinda meneguk salivanya. Dadanya berdebar kencang. Ada sebuah rasa yang mengalir ke seluruh tubuhnya karena sentuhan itu. Rasa yang sulit diartikan. Perlahan Andra melepaskan pelukannya. Namun kedua lengan kokohnya tak melepaskan lengan Dinda. Menggenggamnya lembut dan menatap mata cemerlang gadis itu penuh kehangatan. “Kenapa kamu melarikan diri kemari?" Lembut tutur Andra dan hangat tatapannya. “Saya ... hanya ingin menenangkan diri,” jawabnya. “Apa pernikahan kita membuat hatimu resah?” “Bukan, bukan tentang pernikahan. Tapi masa depan saya,” jawab Dinda jujur. “Masa depan?” Alis kanan Andra terangkat. “Ya. Tentang cita-cita yang mungkin tak akan tercapai seperti keinginan saya.” “Tak akan tercapai? Apa karena pernikahan ini?” Dinda tak menjawab. Namun Andra mengerti kekhawatiran gadis itu. “Dinda. Tak ada yang akan menghentikan cita-citamu. Apalagi aku. Aku akan mendukungnya dengan sekuat tenaga.”“Tapi keinginan saya bukan seperti itu. Saya ingin sukses terlebih dahulu. Saya ingin menjadi pelukis yang terkenal dan membanggakan. Lalu baru menikah dan melukis di rumah sambil menjadi istri dan ibu rumah tangga. Saya ingin memiliki studio sendiri di rumah. Dan setelah itu bepergian bersama keluarga untuk mencari tempat yang indah saat anak-anak liburan sekolah.” “Hahaha ....” Andra tertawa renyah. Tangan kanannya kemudian bergerak mencubit puncak hidung Dinda dengan raut gemas. “Kamu sangat menggemaskan,” senyumnya lembut. Kedua pipi Dinda seketika merona. Tersipu, gadis itu langsung menunduk. Tangan Andra yang masih memegang lengan Dinda perlahan turun dan meraih tangan gadis itu. Menggenggamnya dan mengirimkan kehangatan dan rasa nyaman. “Karena kita sudah terlanjur menikah, jadi aku akan membantumu sukses lebih dulu. Setelah itu kita akan membuat anak dan bepergian seperti yang kamu inginkan.” Wajah Dinda semakin merona merah dan bahkan terasa panas saat mendengar kata membuat anak yang diucapkan Andra. “Kamu setuju?” Dinda menelan salivanya. Berusaha menenangkan debaran jantung yang semakin tak menentu. “Ta-tapi Anda seorang dokter. Tidak memiliki waktu libur yang sama dengan anak sekolah.” Andra tersenyum lebar. Jawaban Dinda menunjukkan bahwa gadis itu juga setuju memiliki anak bersamanya. Tangannya kembali menarik Dinda dan membawanya ke pelukan. “Aku akan membuka klinik pribadi. Jadi aku bisa libur pada jadwal yang aku mau.” Aroma mint dari tubuh Andra seketika terhirup kembali di hidung Dinda. Membuat gadis itu menahan napasnya. Menghindari aroma maskulin yang membuat desir di dalam tubuhnya semakin menggila.“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?”“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?” tanya Dinda dengan kepala yang tersandar di dada bidang Andra.“Karena situasimu yang mengharuskan,” jawab Andra.Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Dinda. Namun gadis itu tak melihat sorot mata laki-laki itu yang tampak begitu misterius saat menjawabnya. “Kenapa harus? Saya bukan siapa-siapa Anda.” Andra menghela napas tanpa mau melepaskan pelukannya. “Awalnya aku hanya ingin menolong gadis yang mempertahankan hidupnya walau dunia telah menyuruhnya tiada saja. Tapi kemudian aku merasa yakin gadis itulah pilihan yang tepat.”Jembatan indah itu menjadi saksi. Saat rasa nyaman menyatu bersama dekapan kedua insan yang baru saja mengikrarkan janji di hadapan Allah. Setelah puas menenangkan diri, pasangan suami istri baru itu memutuskan kembali ke ruko. Kaki Dinda melangkah ringan, begitu ringan hingga serasa terbang. Ia benar-benar tak bisa merasakan pijakan kakinya, tak bisa melihat suasana di sekel
“Aku tidak bisa!” Andra menjawab panggilan yang begitu mengganggu itu singkat, dan dengan nada dingin. Setelahnya, lelaki itu langsung menaruh ponsel itu kembali ke dalam saku, kemudian termenung dalam pikiran yang tak tentu arah.Di hadapannya, Dinda sedang diliputi kegundahan. Sebelum berangkat, tentu ia harus mengganti kebaya dan rok batik sempit yang menjepit kakinya itu. Tapi bagaimana menggantinya kalau sang Dokter masih berada di dalam kamarnya? “Saya mau ganti baju dulu,” ujar Dinda tanpa berani menatap. Namun Andra tidak menanggapi. Dinda mengangkat wajahnya, dan menyadari bahwa sang dokter sedang melamun. Ekspresi laki-laki itu juga tampak lain. Apa ada masalah yang tiba-tiba membuatnya kepikiran? “Ehm,” Dinda berdeham ragu. “Boleh ... tunggu di luar, Dok?” Andra tersentak dan menoleh. Ekspresinya seketika berubah hangat kembali saat menatap Dinda. “Ya? Kenapa?” “Saya mau ganti baju dulu.” “Oh, oke. Aku akan menunggu di depan pintu,” jawabnya sambil bangkit dari temp
Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"Sayang? Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu. "Ada apa?" tanyanya datar. Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian. Andra membiarkannya tanpa ekspresi. "Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu. "Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu. "Tapi aku b
Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua