Share

Pindah Ke Rumahnya

“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?” tanya Dinda dengan kepala yang tersandar di dada bidang Andra.

“Karena situasimu yang mengharuskan,” jawab Andra.

Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Dinda. Namun gadis itu tak melihat sorot mata laki-laki itu yang tampak begitu misterius saat menjawabnya.

“Kenapa harus? Saya bukan siapa-siapa Anda.”

Andra menghela napas tanpa mau melepaskan pelukannya. “Awalnya aku hanya ingin menolong gadis yang mempertahankan hidupnya walau dunia telah menyuruhnya tiada saja. Tapi kemudian aku merasa yakin gadis itulah pilihan yang tepat.”

Jembatan indah itu menjadi saksi. Saat rasa nyaman menyatu bersama dekapan kedua insan yang baru saja mengikrarkan janji di hadapan Allah.

Setelah puas menenangkan diri, pasangan suami istri baru itu memutuskan kembali ke ruko. Kaki Dinda melangkah ringan, begitu ringan hingga serasa terbang. Ia benar-benar tak bisa merasakan pijakan kakinya, tak bisa melihat suasana di sekelilingnya. Hanya bisa merasakan genggaman tangan hangat Andra di tangannya.

“Din!” Suara Fathimah terdengar memanggil dari arah taksi yang terparkir tak jauh dari toko buku.

Refleks Dinda menarik tangannya kembali dari genggaman Andra. Membuat laki-laki itu menoleh bingung. Namun ia tak sempat menjelaskannya, karena rasa gugup terciduk teman sedang berpegangan tangan dengan seorang laki-laki.

“Fathimah?” Dinda berlari kecil dengan rok batik yang menjepit kakinya. Meninggalkan Andra yang akhirnya memilih menunggu di depan toko. Membiarkan gadis itu menemui temannya tanpa harus merasa canggung karena kehadirannya.

“Ya ampun, kamu cantik banget!” Sekilas Andra mendengar pujian Fathimah, gadis yang menjadi pasiennya semalam.

Andra tersenyum bangga. Dinda memang sangat menarik di matanya. Seperti magnet yang menarik hatinya dengan sangat kuat. Begitu spesial, hingga ia tak bisa abai seperti sikapnya pada gadis lain.

Tapi kenapa orang lain tak bisa melihatnya? Gadis se-spesial itu bahkan dipandang sebelah mata hanya karena penampilannya yang tak menggoda?

“Nak Andra,” Amir tiba-tiba telah berada di belakang saat perhatiannya masih tertuju pada Dinda.

“Ya, Pak?"

Amir berdeham. Tampak berusaha agar tidak gugup.

“Begini. Saya ingin mengajak Nak Andra tinggal di sini saja. Walau ruko kami kecil, tapi kamarnya cukup. Dinda memiliki kamarnya sendiri. Kalian boleh bertukar dengan kamar Lola yang lebih besar.”

Raut Andra seketika berubah dingin, menatap tajam laki-laki paruh baya itu. Namun detik kemudian bibirnya tersenyum tipis. Matanya melirik ke dalam toko melalui pintu kacanya, dimana Yani memantau mereka. Ia tahu, wanita itu yang menyuruh suaminya. Biar apa? Tentu saja biar dia bisa memeras uang melalui Dinda nantinya.

“Maaf sebelumnya, tapi saya tidak bisa, Pak. Saya punya rumah dinas dan tinggal seorang diri. Cita-cita saya memang ingin memboyong istri ke rumah itu,” tolaknya langsung.

Amir tampak resah. Penolakan Andra pasti akan membuat istrinya murka.

“Tapi saya belum bisa berpisah dengan keponakan saya. Tidak, Dinda bukan hanya keponakan kami, dia sudah kami anggap anak sendiri.”

Andra benar-benar mendongkol dalam hati. Mereka masih tak malu untuk berpura-pura menyayangi Dinda setelah ingin menjualnya?

Ingin rasanya ia menertawakan sandiwara mereka. Tapi pengalamannya sebagai seorang dokter membuatnya cukup tanggap dalam menjaga sikap.

“Kami akan datang berkunjung sekali-kali. Lagipula Dinda juga pasti akan tetap memantau toko peninggalan orangtuanya.”

Bibir Amir seketika tertutup rapat mendengar jawaban Andra. Memantau toko? Itu tandanya Andra dan Dinda tak akan melepaskan toko ini.

Sementara itu, Dinda kembali dengan berlari-lari kecil setelah melambaikan tangan pada temannya.

Gadis itu tersenyum manis, hanya pada Andra. Ia masih marah pada pamannya, bahkan menatapnya saja ia tak mau.

“Maaf saya tinggal sendiri,” ucapnya tak enak hati.

“Tidak apa-apa,” Andra langsung memasang tampang santai, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas kedokterannya dan membalas senyuman gadis itu.

"Masuk dulu, Dok?” tawar Dinda. Ia mengabaikan laki-laki paruh baya di samping Andra yang selama ini telah mengabaikan dirinya.

Andra mengangguk. Kemudian mengiringi langkah Dinda masuk ke dalam. Meninggalkan Amir yang masih terpaku melihat kebencian dalam sikap keponakannya.

Begitu sampai di dalam, mereka langsung disambut senyuman palsu Yani dan Lola.

“Silahkan istirahat dulu, Nak,” Yani menghampiri, memasang tampang ramah pada Andra semata.

Namun Andra tak mengacuhkannya. Ia menoleh pada Dinda dan bertanya lembut, “apa kamu sanggup jika kita pindah sekarang ke rumah kita?”

“Sekarang?”

“Ya, kamu tidak perlu bawa apa-apa. Aku akan belikan pakaian baru dan semua kebutuhanmu.”

Yani mendelik kesal mendengar perkataan Andra. Ternyata suami Dinda ini tak bisa diakali. Itu artinya ladang uangnya akan menghilang.

“Tapi ... saya harus bawa beberapa barang," jawab Dinda.

“Oke. Aku akan bantu kamu berkemas."

Dinda mengangguk ragu. Ingin menolak bantuan itu karena teringat dengan keadaan kamarnya yang pasti acak-acakan. Tapi tak mungkin mematahkan semangat sang dokter yang jelas ingin menunjukkan kemesraan di hadapan orang-orang yang selalu meremehkannya.

Keringat kecemasan seketika bermunculan di dahinya. Berharap kamarnya saat ini lebih rapi dari biasanya.

Namun kenyataan ternyata berbanding terbalik dengan harapannya. Kamar sempitnya benar-benar seperti kapal pecah.

Apalagi di atas kasur. Mata cemerlangnya seketika membulat saat menemukan segitiga Bermuda dan kacamata dadanya teronggok di antara tumpukan baju.

Semua bersih, baru diangkat dari mesin cuci semalam. Tapi kalau masalah melipat atau menyetrika, Dinda paling tak kuasa melawan rasa malasnya. Satu yang mau dipakai, satu yang disetrika.

Ia bukan gadis yang jorok, cuma malas menjaga kerapian, suka asal dan ceroboh.

Dengan gerakan kilat ia menutupi ‘barang keramatnya’ itu ke bawah tumpukan baju. Lalu meraup tumpukan itu dan memindahkannya ke kursi pojokan.

Andra masih berdiri di ambang pintu. Menatap kesibukan gadis yang baru saja dinikahinya itu dengan senyuman tipis.

Dinda menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal karena gugup. “Sa-saya belum sempat beberes kemarin,” ucapnya tanpa berani menatap wajah sang dokter.

Andra melangkah masuk. “Aku bantu beres-beres, ya?”

“Tidak!” seru Dinda cepat. Bagaimana kalau dokter ini menemukan barang memalukan lainnya? “Dokter duduk aja, saya nggak akan lama,” imbuhnya pelan.

Dinda langsung meletakkan ponselnya dan merapikan ranjang kecil itu untuk tempat duduk tamu dadakan kamarnya. Hati terus merutuk. Inilah akibatnya kalau ia terbiasa mengesampingkan kerapian. Memalukan, benar-benar memalukan.

“Silahkan,” ujarnya, nyaris berupa bisikan.

Andra menurut. Duduk di tepi ranjang yang berdekatan dengan jendela. Kemudian sengaja menatap keluar agar gadis itu tidak merasa jengah terus diperhatikan.

“Enak juga tinggal di tengah pertokoan seperti ini. Bisa melihat orang-orang yang berbelanja di bawah sana,” ujarnya menetralkan suasana.

“Iya, tapi bising,” jawab Dinda sekenanya. Karena pikiran gadis itu saat ini hanyalah berkemas dengan cepat agar bisa keluar dari kamar.

“Jadi kamu suka ketenangan?”

“Yap!” Dinda berseru dengan napas tersengal. Tangannya memasukkan barang-barang kebutuhannya ke dalam tas ransel coklat mudanya dengan tergesa.

Andra tersenyum geli dalam hati. Ingin menenangkan agar Dinda tak terburu-buru, tapi khawatir malah akan membuat gadis itu semakin gugup. Akhirnya ia memilih diam dan kembali pura-pura melihat keluar jendela.

Tring.

Ponsel dalam saku celananya berdering. Laki-laki itu mengambilnya dan melihat layarnya sesaat. Kemudian menolak panggilan itu.

Ditatapnya layar ponsel yang telah kembali pada gambar wallpaper-nya itu dengan raut memikirkan sesuatu. Kemudian mengunci layarnya kembali.

Namun belum sempat ia menyimpannya ke dalam saku, benda pipih itu kembali berbunyi.

Andra merapatkan giginya. Dengan raut dingin ia menerima telepon itu.

Suara seorang wanita segera terdengar berbicara mendayu dengan nada manja. “Janson, aku ingin bertemu denganmu sekarang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status