Share

Terima Atau ... .

“Apa kamu menolakku?”

Detak jantung Dinda serasa berhenti seketika mendengar pertanyaan itu. Bukan cuma masih mengingatnya, sang dokter bahkan benar-benar serius tentang pernikahan yang ditawarkannya.

Tubuh Dinda seolah membatu. Ia tak mampu bergerak ataupun menjawabnya.

“Atau kamu sudah menerima perjodohan itu?” Andra menelisik wajah yang terpaku bisu itu.

“Bu-bukan,” jawab Dinda tergagap.

“Saya tidak menerima perjodohan itu.”

“Terus?”

“Saya Cuma berpikir kalau Anda sudah lupa.”

Andra tertawa, renyah dan enak didengar. “Mana mungkin aku lupa setelah mengajak anak orang menikah?”

Dinda menyengir. Baginya yang terasa tak mungkin malah kenyataan bahwa laki-laki itu benar-benar menunggu jawabannya.

“Saya bingung, ini terlalu mendadak.”

“Bagaimana dengan perjodohan itu? Apa bibimu tidak memaksa lagi?”

“Masih. Dan besok mereka akan datang untuk pertunangan.”

Andra langsung menatap serius. “Kalau kamu masih ragu dengan tawaranku, berarti kamu harus siap menikah dengan laki-laki tua yang sudah punya istri itu.”

“Saya tidak mau!” jawab Dinda cepat. Lalu menelan salivanya dan memantapkan hati “Saya terima tawarannya, Dok.”

“Kamu yakin ini yang terbaik buat kamu?”

Dinda mengangguk mantap. “Yakin.” Namun di detik berikutnya, ekspresi wajah gadis itu berubah keruh kembali karena perasaan bersalah. “Tapi, saya tidak yakin apa ini juga yang terbaik buat Dokter. Anda terjebak demi menolong saya.”

“Kamu yang terjebak, Dinda,” Andra tersenyum, senyum tipis yang misterius.

“Kamu terpaksa menerima tawaranku demi menghindari perjodohan itu.”

Dinda menggaruk keningnya dengan ujung telunjuk. Masih bingung dengan jalan pikiran laki-laki di hadapannya yang hanya memikirkan nasib orang lain. Padahal, dokter itu sendiri akan mengorbankan pernikahan yang seharusnya bisa dia dijalani dengan wanita yang dia cintai.

Klek.

Pintu ruangan itu terbuka. Fathimah masuk dengan kursi roda yang didorong oleh perawat.

“Obatnya sudah diambil, Dok,” lapor sang perawat.

Andra mengangguk. “Kami juga sudah selesai bicara.”

Fathimah sedikit mengernyit. “Apa sakitku parah?” bisiknya.

“Nggak. Nanti aku jelasin di luar,” jawab Dinda cepat. Lalu mengangguk pada Andra dan sang perawat. “Terima kasih atas bantuannya,” ucap gadis itu.

Tangannya mengambil alih dorongan kursi roda Fathimah dan bergegas keluar. Percakapan tadi membuat detak jantungnya tak beraturan.

“Tunggu sebentar, Nona Dinda.” Suara bariton itu membuat langkahnya terhenti. “Saya mau minta nomor telepon Anda. Mungkin nanti akan ada instruksi tambahan, saya bisa menyampaikannya.”

**

Sore harinya.

Dinda melangkah pulang dengan tubuh lelah dan pikiran penuh dengan percakapannya tadi dengan Dr. Andra.

Apa yang akan dilakukan laki-laki itu setelah ia menerima tawarannya?

Esok Pak Dahlan, laki-laki tua yang dijodohkan dengannya itu akan datang. Apa yang bisa ia harapkan dalam sisa waktu sesingkat ini?

Begitu tiba dan masuk ke dalam tokonya, Dinda seketika terperangah. Toko buku yang cukup luas itu telah di sulap dengan dekorasi pesta.

“Ke mana saja kamu? Sudah sore begini baru pulang. Bukannya hari ini biasanya kamu pulang siang?” Amir—pamannya menghampiri dengan wajah gusar.

"Ini ada apa, Paman? Kenapa tiba-tiba ...."

"Sudahlah, jangan bertanya lagi. Ayuk, cepat dandan! Pak Dahlan sudah menunggu dari siang tadi,” potong Amir gusar.

“Nggak. Ini nggak bener, Paman. Dinda akan menolak Pak Dahlan sekarang juga.”

Amir tampak terkejut. Lalu cepat-cepat mengubah sikapnya. “Ngomong apa kamu, Nak? Kamu nggak boleh bertindak gegabah. Pak Dahlan bukan orang sembarangan, dia bisa mengambil alih ruko ini dan kita akan menjadi gelandangan!”

Dinda mengernyit. “Ngambil alih? Maksudnya?”

Amir menghela napas panjang. “Bibimu berhutang banyak sama Pak Dahlan dengan menjaminkan toko ini.”

“Apa?!” Mata cemerlang Dinda melotot tak percaya.

“Ya.” Amir mengangguk lemah.

“Tapi buat apa?! Toko kita selama ini tak pernah sepi penjualannya. Hidup kita juga selalu sederhana. Tak pernah makan yang mewah, tak pernah liburan, bahkan Dinda juga kuliah di universitas biasa dengan bantuan beasiswa.”

Amir menggaruk tengkuknya dengan sikap gugup. “Bibi kamu selalu mengeluh tak bisa memiliki berlian seperti teman-teman arisannya. Lola juga merengek pingin kuliah di universitas besar dan beli mobil untuk kuliahnya nanti. Jadi, Paman terpaksa mengizinkan Bibi berhutang banyak.”

Dinda benar-benar tercengang. Ia sampai tak bisa berkata-kata mendengar penjelasan pamannya.

“Dan sekarang kita tidak sanggup membayarnya. Jadi hanya dengan cara inilah kita bisa ....”

“Nggak!” Dinda langsung menggeleng kuat. Kemarahannya telah mencapai ubun-ubun. Mereka yang ingin bermewah-mewahan kenapa pula ia yang harus menanggung akibatnya?

“Dinda dengarkan ....”

“Nggak, Paman!” Dinda kembali memotong kata-kata pamannya dengan suara yang bergetar. “Dinda akan menolak Pak Dahlan sekarang juga.”

“Menolak?!” Yani tiba-tiba muncul di samping Dinda dan mencekal lengan keponakan suaminya itu. “Tidak ada penolakan hari ini. Kamu harus menikah dengan Pak Dahlan sekarang juga! Cepat ikut, tukang rias sudah menunggu sejak tadi!” wanita itu mendelik tajam pada suaminya yang tak becus membujuk Dinda. Tangannya kemudian dengan kasar menarik gadis itu naik ke atas.

Dinda berusaha melawan. Namun tenaga bibinya itu terlalu kuat. Gadis itu meringis, cengkeraman di lengannya terasa begitu sakit. Ia terus menyeret Dinda hingga sampai ke atas. Lalu mendorong gadis itu ke dalam kamarnya.

“Cepat dandani dia!” titahnya. Dengan tangan yang berkacak pinggang, ia memantau di ambang pintu.

Dinda membalas tajam tatapan bibinya. Namun percuma melawan sekarang. Ia akan menunggu kesempatan untuk menolak Pak Dahlan nanti sebelum ijab-kabul. Setelah itu ia akan langsung kabur keluar toko.

Yani tampak lega melihat Dinda akhirnya menurut dan duduk pasrah di depan tukang rias. Wajah Dinda yang tak pernah terkena polesan apapun itu pelan-pelan dibersihkan oleh tukang rias yang tersenyum ramah.

Setelah beberapa saat. Di hadapan cermin besar itu akhirnya terlihatlah seorang gadis cantik memakai kebaya.

Mata cemerlang Dinda mengerjap tak percaya saat melihat bayangannya sendiri.

“Kamu cantik sekali!” Tukang rias menatap puas.

Dinda terpaku. Benarkah bayangan di cermin itu adalah dirinya?

“Sudah, cepat turun sekarang!” Yani menghampiri dan menarik lengan Dinda lagi.

Tukang rias menatap iba. Gadis secantik dan semurni itu akan dipaksa menikah dengan lelaki yang sudah tua dan beristri pula?

Langkah Dinda yang dijaga Yani terayun pelan menuju rombongan yang telah duduk berbaris di atas permadani, menghadap meja ijab-kabul. Mata gadis itu langsung tertuju pada laki-laki tua yang akan segera mendengar penolakannya itu.

Pak Dahlan memakai jas hitam. Laki-laki tua itu bertubuh besar dan berwajah sangar. Dahulu ia seorang kepala preman yang semakin hari semakin kaya karena usahanya sebagai rentenir. Bibirnya langsung tersenyum bangga begitu melihat Dinda.

Berbanding terbalik dengan sang istri yang duduk di sampingnya dengan wajah lesu. Tak ada yang bisa dilakukan wanita itu selain mendampingi suaminya mendapatkan istri baru.

Dinda didudukkan di samping Amir yang akan menjadi wali nikahnya. Tak mau membuang waktu, gadis itu langsung bersuara. “Saya akan menolak pernikahan ini, Pak! Saya tidak bisa menikah dengan Bapak!” serunya sambil menatap tegas pada laki-laki di hadapannya.

Pak Dahlan tampak terkejut. Senyum yang menghiasi bibir hitamnya seketika menghilang. “Apa maksud kamu?”

“Seperti yang Bapak ketahui, saya dipaksa menikah. Jadi, sekarang saya ingin berterus terang, bahwa saya menolak untuk menikah!”

Semua orang yang ada di ruangan itu pun terdiam, kaget dengan penuturan calon mempelai wanita. Setelah beberapa saat, terdengar bisik-bisik yang semakin lama semakin riuh.

Brak!

Dahlan memukul meja yang menjadi pembatas ijab-kabulnya. “Jangan main-main kamu perempuan murahan!” teriaknya. Tangannya kemudian terulur untuk mencekik leher Dinda.

Tak sempat menghindar, Dinda tiba-tiba merasakan tangan besar Pak Dahlan telah mencengkeram lehernya.

“Akh!” Gadis itu terlonjak tak menduga.

“Apa yang Bapak lakukan?” teriak Amir. Pria itu menatap takut tanpa berani menolong keponakannya.

“Jangan seperti itu, Pak. Kasihan Dek Dinda. Lepasin dia, Pak,” bujuk istri Pak Dahlan panik.

Grasp!

Seseorang tiba-tiba menangkap lengan Dahlan dan mencengkeramnya dengan sangat kuat.

“A-argh!” Dahlan meringis kesakitan dan terpaksa melepaskan cekikannya.

“Saya akan melaporkan Anda atas penganiayaan ini!” Sebuah suara bariton terdengar bergetar penuh kemarahan.

Dahlan langsung menoleh, begitu juga dengan Dinda yang memegang lehernya dengan napas tersengal.

Andra Janson berdiri di sana dengan mata menatap Dahlan penuh ancaman.

“Siapa kau?! Berani mencampuri urusanku!” gertak Dahlan.

“Saya Andra, calon suami Dinda.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status