“Aku tidak bisa!”
Andra menjawab panggilan yang begitu mengganggu itu singkat, dan dengan nada dingin. Setelahnya, lelaki itu langsung menaruh ponsel itu kembali ke dalam saku, kemudian termenung dalam pikiran yang tak tentu arah.Di hadapannya, Dinda sedang diliputi kegundahan. Sebelum berangkat, tentu ia harus mengganti kebaya dan rok batik sempit yang menjepit kakinya itu. Tapi bagaimana menggantinya kalau sang Dokter masih berada di dalam kamarnya? “Saya mau ganti baju dulu,” ujar Dinda tanpa berani menatap. Namun Andra tidak menanggapi. Dinda mengangkat wajahnya, dan menyadari bahwa sang dokter sedang melamun. Ekspresi laki-laki itu juga tampak lain. Apa ada masalah yang tiba-tiba membuatnya kepikiran? “Ehm,” Dinda berdeham ragu. “Boleh ... tunggu di luar, Dok?” Andra tersentak dan menoleh. Ekspresinya seketika berubah hangat kembali saat menatap Dinda. “Ya? Kenapa?” “Saya mau ganti baju dulu.” “Oh, oke. Aku akan menunggu di depan pintu,” jawabnya sambil bangkit dari tempat tidur Dinda. "Kita akan turun bersama." Dinda mengangguk dengan perasaan tak enak. Ia tahu, tak seharusnya meminta laki-laki yang telah menjadi suaminya itu menunggu di luar.Hingga tubuh jangkung itu menghilang di balik pintu, barulah gadis itu membuka hijab putih yang melilit sampai berlapis-lapis beserta mahkotanya, juga kebaya yang membuatnya gerah. Matanya melirik ke arah kunci. Haruskah ia mengunci pintu? Ah, rasanya itu sudah kelewatan. Tak mungkin ia tak mempercayai orang sebaik Dokter Andra. Dengan blouse terbaik bekas mendiang ibunya, Dinda akhirnya bisa merasa nyaman dan bernapas lega. Membuka pintu, ia melihat laki-laki itu berdiri menunggu dengan bersandar di dinding. “Saya sudah siap, Dok,” senyumnya manis. Andra menatapnya sejenak, kemudian membalas senyuman itu. “Aku tau kamu tersiksa memakai rok sempit tadi,” godanya. Dinda menyengir. “Sudah terbiasa pakai yang mudah buat gerak." Begitu sampai di bawah, Yani masih meneruskan sandiwaranya. Tekadnya untuk bisa ikut menikmati kekayaan sang pemilik Semanggi Properti begitu besar. Dinda menyalami semuanya walau ia tahu mereka menyambut uluran tangannya tidak dengan ketulusan hati. “Makasih, Paman, Bibi, Lola. Kalian telah menjadi bagian dalam hidup Dinda selama ini. Dinda pergi dulu, assalamualaikum,” ucapnya tulus.Amir mengangguk, sementara Yani hanya melengos dan Lola mencibir.Dengan perasaan yang bercampur aduk, gadis itu meninggalkan ruko yang telah menjadi tempatnya bernaung setelah kedua orangtuanya tiada. Meninggalkan buku-buku dengan berbagai macam cover dan judul yang selalu menjadi teman serta saksi setiap fase dalam hidupnya. “Kamu sedih?” Andra yang menyetir di sampingnya menatap prihatin. “Tidkak tau ... rasanya bercampur aduk. Sedih, lega, tak percaya juga,” lirihnya.“Kamu bisa kapan aja datang ke sini lagi. Kamu juga bisa mendapatkan hak milik toko itu kembali.” “Ya, saya tidak bisa melupakan begitu saja buku-buku di sana. Tapi kalau mengambil hak toko itu mungkin tidak, kecuali Paman dan Bibi Yani mau menjualnya.” Andra tersenyum bangga. “Kamu memang gadis yang baik,” pujinya. “Oke, sekarang kita kemana?”“Kok tanya saya? Kan Dokter yang ngajak pergi?” Andra menelan salivanya mendengar panggilan gadis yang telah sah menjadi istrinya itu. Alih-alih memanggilnya dengan sebutan khusus yang menunjukkan kedekatan hubungan mereka sekarang, gadis itu malah memanggilnya dengan gelar.Tapi ia tak ingin memprotes. Apa sajalah panggilannya, yang penting Dinda nyaman.“Begini, kebetulan aku punya dua rumah di kota ini. Satu milikku sendiri, satu lagi rumah dinas. Kamu mau pilih tinggal dimana?”“Kalo yang deket sama fakultas saya dan rumah sakit Dokter, yang mana?”“Rumah dinas, sih. Kalo rumah yang satunya lagi sedikit jauh dari kota. Cuma tempatnya adem, deket danau dan masih banyak pohon hijau. “Dinda tampak berpikir sesaat. “Hm, terserah Dokter aja.” Dinda mengeluarkan kata keramat para wanita, ‘terserah’.Andra kembali tersenyum. “Kalo gitu, kita tinggal di dua-duanya aja. Hari kerja kita di rumah dinas, akhir pekan di rumah Pinus.”“Rumah Pinus?”“Ya. Aku menamai Rumah Pinus karena di sekelilingnya banyak sekali pohon Pinus.”Dinda manggut-manggut. Pasti sangat menyenangkan bisa berakhir pekan di tempat yang sejuk seperti itu.“Oh ya, ngomong-ngomong tadi Fathimah buat apa nungguin kamu pakai Taksi?”“Mau bantuin kabur, karena saya sudah berencana untuk menolak Pak Dahlan. Tapi ternyata Allah kasih jalan lain yang lebih mudah.”“Dengan kehadiranku?”“Ya, dan saya bahkan belum mengucapkan terima kasih,” Dinda kembali merasa canggung.Andra tertawa pelan, berusaha menetralkan rasa canggung gadis manis di sampingnya. “Kamu bisa menunjukkan rasa terima kasih itu dengan menjadi istri yang manis untukku,” godanya.Dinda menahan senyum dengan pipi yang merona. Memalingkan wajah arah jendela dengan dada berdebar.Kenyataan menjadi istri seorang laki-laki sehebat pria di sampingnya itu memang bagaikan sebuah impian. Kehendak Allah memang tak ada yang tak mungkin. Kun Fayakun. Jika Ia berkehendak terjadi, maka terjadilah.“Dokter sendiri, kok bisa tiba-tiba datang? Pakai setelan dokter lagi,” alih gadis itu kemudian.“Owner di Restoran sebelah toko kamu menghubungiku. Katanya, pacarku akan dinikahkan dengan seorang rentenir tua hari ini,” senyumnya.“Pacar?” refleks Dinda. Namun kemudian ia seketika grogi.“Ya, dia mengira kamu pacarku. Tapi sebutan itu ternyata membuatku makin tak rela membiarkan kamu dinikahi orang lain,” tutur laki-laki apa adanya.Dinda kembali memalingkan wajahnya ke jendela dengan perasaan yang bercampur aduk. “Berarti saya membuat Anda meninggalkan pekerjaan di rumah sakit?”“Ya. Seorang dokter juga punya hal penting yang tak bisa dikesampingkan.”Mobil terus melaju, melewati gedung-gedung yang membentengi pandangan. Keduanya terdiam sesaat. Dinda tak tahu harus membicarakan apa. Hatinya begitu sungkan terhadap laki-laki penuh kharisma di sampingnya itu. Walau ia merasa sangat nyaman, tapi jantung terus berdebar kala mata cemerlangnya tak sengaja melirik.“Dinda ...,” panggil Andra setelah beberapa saat. Suara baritonnya memanggil dengan nada lembut, benar-benar seksi dan mendebarkan.“Iya?” Dinda menoleh.“Ini jenjang ta’aruf kita. Boleh aku mengenalmu lebih dalam?”“Tentu saja. Saya juga pingin tau lebih banyak tentang Dokter.”“Kalau begitu, mulai sekarang kita saling menjelaskan setiap hal tentang masing-masing.""Oke. Gimana kalo kita buat semacam permainan? Batu gunting kertas, siapa yang kalah harus menjelaskan apa yang ingin diketahui si pemenang, bagaimana?” tantang Dinda. Mata cemerlangnya tampak begitu ceria. Menatapnya seperti melihat mentari pagi yang membangkitkan semangat.Andra tersenyum. Gadis ini benar-benar menarik. “Oke!” sambutnya semangat. "Langsung kita mulai, ya?”Dinda mengangguk. “Batu!” serunya dengan tangan terkepal.“Kertas!” seru Andra di waktu yang bersamaan dengan mengacungkan lima jemari tangan kirinya.“Aku menang,” bibir menawan Andra tersenyum lebar. “Aku mau tau tentang apa yang paling kamu senangi,” tagihnya kemudian.Dinda berpikir sejenak. “Saya paling senang dengan keindahan. Taman bunga, padang rumput, kicauan burung suara gemericik air di sungai, senja, pokoknya suasana yang damai lah,” tuturnya sambil membayangkan semua hal yang disukainya itu.Andra tersenyum simpul mendengarnya. “Berarti kamu orang yang romantis.”Dinda menggaruk kening dengan ujung telunjuknya. “Yang begitu romantis, ya?”“Sepertinya begitu.”“Oke, sekarang ronde ke-dua,” Dinda cepat-cepat mengalihkan.Andra mengangguk setuju, dan kemudian sang dokter yang harus menerima kekalahan.Dinda tampak ragu sejenak saat ingin mengajukan pertanyaannya.Andra menangkap ekspresi itu dengan lirikannya. “Tidak apa-apa, tanyakan saja,” senyumnya.“Ehm,” deham gadis itu. “Apa ... Dokter benar-benar tak punya pacar? Maksud saya, rasanya tidak mungkin seseorang seperti Dokter masih sendiri.”“Seseorang seperti apa maksudnya?” pancing Andra sambil menahan senyum. Netra coklat terangnya tampak berbinar.Namun binar itu seketika menghilang saat tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah menyalip di hadapannya.Ciit!Suara ban yang berhenti mendadak, menggesek keras permukaan jalan hingga menimbulkan bunyi decit yang begitu nyaring.“Astaghfirullah!” pekik Dinda.Mobil Andra berhenti tepat satu jengkal jaraknya dengan mobil merah yang menyalip.Laki-laki itu langsung menoleh risau pada gadis di sampingnya. “Kamu tidak apa-apa?”Dinda mengangguk sembari mengatur napas yang tersengal.Dari dalam mobil merah itu keluarlah seorang perempuan cantik bergaun hitam ketat dengan rambut panjang terurai. Bibirnya yang berwarna merah menyala menyunggingkan senyuman. Benar-benar seksi.Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikanku, Janson Sayang?'Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"Sayang? Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu. "Ada apa?" tanyanya datar. Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian. Andra membiarkannya tanpa ekspresi. "Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu. "Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu. "Tapi aku b
Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Dengan jantung yang berdebar, Dinda nekad membuka pintu kamar Andra. Sebuah ruangan yang tidak jauh berbeda dengan kamar Alex. Namun aroma di dalam ruangan itu tetaplah aroma Andra. Gadis itu menutup pintunya. Kemudian berdiri di balik pintu itu tanpa tahu harus apa setelahnya. Haruskah ia duduk di tempat tidur? Matanya mengedar ke sekeliling. Ada sofa berbingkai kayu ukir di sudut kamar. Dinda pun memilih duduk di sana untuk menunggu. Beberapa saat duduk menunggu Andra tak juga masuk. Gadis itu sudah beberapa kali menghela napas saking tegangnya. Jangan-jangan laki-laki itu enggan masuk karena ia terlalu lancang? Klek. Bunyi pintu yang dibuka terdengar jelas di telinganya. Dinda semakin tegang. Tampak bahu lebar Andra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu masuk dan menutup pintunya. Tidak. Bukan sekedar menutup, sang dokter juga menguncinya. Dinda meneguk salivanya melihat itu. Pikirannya benar-benar kacau. Apa keputusannya untuk masuk ke kamar ini adalah pilihan yang tepat
Seorang gadis duduk termangu di depan jendela. Menatap muda-mudi yang berlalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Riuh di kanan-kiri tak mengusik perhatiannya. Ia seperti jiwa yang terhampar jauh di tempat yang sunyi. Dialah Dinda Zahara Kirani. Gadis yang biasanya fokus dan bermotivasi kuat mengejar cita-citanya. Yang tak pernah berani berkhayal dan berangan. Yang tak pernah merasa sedih kecuali saat merasa lemah dalam mengejar cita-cita.Tapi kini jiwanya terusik oleh sebuah rasa. Rasa yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya selama ini. Rasa ingin dilihat seorang laki-laki. Akibatnya, hatinya merasakan pedih saat seorang pria mengabaikannya. "Hei!" Fathimah datang tiba-tiba dan sengaja mengejutkannya. Dinda tersentak. Kepedihan itu buyar dan menjadi sebuah rasa yang nelangsa. "Apa?" tanyanya tak bersemangat. "Gimana sama tugas yang baru dikasih Pak Dosen? Kamu pasti suka banget ngerjainnya, kan?"Dinda masih termangu. "Nah, berhubung kamu emang si pecinta tugas, tugas aku