Mata Debbie membelalak tidak percaya, mulutnya terbuka, tetapi dengan cepat ia tutup menggunakan tangannya. Setelah rasa terkejutnya hilang ia bertanya kepada Eric, “Pak, saya belum menyiapkan keperluan saya selama berada di pulau. Ke-kenapa begitu mendadak? Saya tidak melihat di jadwal Anda ada agenda pergi ke pulau.”
Eric bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekati Debbie dan berdiri tepat di samping sekretarisnya itu. Ditundukkannya kepala, hingga bibirnya berada tepat di dekat telinga Debbie dan embusan hangat nafasnya dengan aroma mint menerpa leher wanita itu.
Bulu roma Debbie berdiri, ia merasa tidak nyaman dengan kedekatan antara dirinya dan bosnya. Ia menggeser posisi berdirinya untuk menjauhi Eric. Namun, pinggangnya dipegang dengan kasar.
“Kenapa kau terlihat takut? Apa kau fikir aku akan menggodamu? Aku sama sekali tidak tertarik kepada wanita jadi jauhkan adegan romantis dari kepalamu. Kau tidak perlu membawa apa-apa di pulau kau bisa membeli semua keperluanmu.” Erick menempelkan bibirnya di leher Debbie selama bebera saat.
Secara tiba-tiba ia mendorong Debbie menjauh dengan dingin ia berkata, “Mobil dan pesawatku sudah menunggu kita pergi sekarang juga.”
Bergegas Debbie keluar dari ruang kerja Eric menyusul bosnya itu. Yang telah berjalan terlebih dahulu dengan langkah gagahnya.
Pada saat keduanya berada dalam lift hanya ada mereka berdua saja. Debbie mengambil jarak dari bosnya itu, karena merasa gugup bercampur takut. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tetapi ia merasa kesulitan untuk bertanya secara langsung kepada bosnya tersebut.
Bunyi lift yang berdenting nyaring membuat Debbie terlonjak terkejut. Menarik perhatian Eric yang langsung melayangkan tatapan tajam kepadanya. “Apakah kamu tidak pernah berada dekat dengan pria berduaan saja? Saya tidak suka melihat kamu ketakutan, seperti kelinci yang masuk perangkap.”
Debbie meremas jemarinya yang saling bertautan untuk menghilangkan rasa gugupnya. “Maaf, Pak! Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya terlalu terkejut saja mendapat ajakan secara mendadak dari Anda.”
Eric mengabaikan jawaban dari Debbie. Ia berjalan keluar lift dengan langkah gagah dan berwibawa. Debbie mengekor di belakangnya.
Pintu depan perusahaan dengan cepat dibukakan oleh petugas keamanan untuk Eric. Sopir pribadinya pun begitu melihat kehadirannya langsung membukakan kursi penumpang.
“Kita ke bandara!” perintah Eric kepada sopirnya.
“Siap, Tuan!” sahut sopir pribadi Eric.
Setibanya di bandara, Eric dan menggandeng tangan Debbie menuju pesawatnya berada. Tindakan Eric membuat Debbie menjadi terkejut. Dengan takut diliknya Eric yang melihat lurus ke depan denga tatapan dingin.
“Ba-bapak tidak perlu menggandeng tangan saya,” ucap Debbie pelan.
Eric tidak membuka suaranya, ia hanya memberikan tatapan tajam yang langsung dimengerti Debbie.
Debbie tidak berani lagi protes dengan apa yang dilakukan oleh Eric kepadanya. Sikap bosnya itu penuh teka-teki dan ia sama sekali tidak dapat memahaminya.
Berada dekat pesawat kedatangan mereka disambut oleh pilot. Yang menyambut kedatangan Eric dengan penuh hormat. Pilot tersebut tersenyum lebar, sambil menjabat tangan Eric.
“Istrimu memang cantik sekali pantas kau tidak mengenalkannya kepadaku sedari lama,” ucap pilot.
Pilot itu mengedipkan sebelah matanya menggoda Debbie secara main-main.
Debbie membuka mulut hendak menyangkal dugaan pilot, kalau ia adalah istri dari Eric. Namun, tekanan jemari bosnya memberikan kode kepadanya untuk menutup mulut.
Wajah Debbie menjadi bersemu merah, ketika pilot itu kembali menggodanya. Membuat ia merasa serba salah. Bibirnya ingin menyangkal apa yang dikatakan pilot itu, tetapi hatinya justru merasa senang.
Eric menarik lepas tangan Debbie dari genggaman pilot. Dengan suara datar ia mengingatkan kepada Debbie untuk segera masuk ke pesawat.
Debbie memberikan senyuman meminta maaf kepada pilot itu, karena sikap kasar Eric. Ia berjalan memasuki pesawat terebut, tetapi ia bingung harus duduk di mana. Ditunggunya sampai Eric masuk dan duduk barulah dirinya.
Eric memasuki pesawat tatapannya langsung tertuju kepada Debbie. “Kenapa kamu berdiri saja? Atau kamu memang ingin berdiri sepanjang penerbangan?”
Dengan cepat Debbie menggelengkan kepala. Ia memilih duduk pada sembarang kursi yang ada di pesawat tersebut.
Ia menjadi terkejut, karena Eric memilih duduk di kursi pesawat yang ada di sebelahnya. Padahal bisa saja pria itu duduk di bagian lain yang masih kosong.
“Kita tidak mau mengecewakan pillot, bukan? Dengan melihat kita pasangan suami istri yang sedang berbahagia duduk terpisah,” ejek Eric.
Debbie menjadi tidak nyaman, ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh bosnya itu. “Sebenarnya kenapa Bapak membawa saya ke pulau itu? Ada apa dengan istri Bapak sampai ia tidak ikut terbang dengan Bapak?”
Eric memalingkan wajah menatap tepat mata Debbie dengan mata yang menyala marah. Dengan suara mendesis menahan, agar tidak bersuara keras ia berkata, “Apa yang terjadi dengan istriku bukanlah urusanmu!”
Debbie menelan ludahnya dengan sukar tenggorokannya menjadi kering. Nadi di lehernya berdenyut dengan cepat. Dikerjapkannya mata untuk mengusir butir air mata yang hendak tumpah.
Ia tidak ingin duduk dekat Eric, tetapi ia juga tidak dapat pindah posisi duduk. Karena hanya akan membuat Eric menjadi marah.
Satu-satunya cara yang dirasanya aman hanyalah memejamkan mata saja. Ia tidak mau mendengar suara bernada kasar terlontar dari bibir bosnya. Dirinya merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.
Dirasakannya getaran pada pesawat membuat ia terbangun dari tidurnya. Dan ia menjadi terkejut ketika menyadari dirinya tertidur di pelukan Eric. Matanya bertatapan dengan mata bosnya yang dingin.
“Ma-maaf, Pak! Saya tidak sadar tertidur di dada Bapak,” gagap Debbie.
Cepat-cepat ia menjauh dari dada Eric dan ditundukkannya kepala. Tidak berani menatap mata Eric. Tangannya basah, karena keringat dingin. Ia menjadi takut akan dimaki oleh Erik dengan kata-kata kasar dan tuduhan yang tidak masuk akal.
Tangan Eric terulur diangkatnya dagu Debbie, sampai mata mereka bertemu. Satu jari Eric mengusap air mata yang jatuh di pelupuk mata Debbie. “Aku tidak akan meminta maaf kepadamu, untuk apa yang sudah kukatakan. Kau pantas mendapatkannya.”
Dengan tangan yang gemetar Debbie mencoba melepas tangan Eric dari dagunya. Mata yang tadinya terlihat sendu mengerjap emosi. “Seharusnya saya menolak ajakan Bapak. Karena ini bukanlah urusan pekerjaan dan tidak ada hubungannya dengan saya.”
Usaha Debbie melepaskan tangan Eric tidak berhasil. Pria itu malah mencekau dagunya dengan kasar. “Kalau kau menolak aku akan memecatmu dan membuat kau harus membayar pinalti, karena bekerja tidak sesuai dengan perjanjian yang telah kau tanda tangani!”
Tangan Debbie secara impuls melayangkan tamparan di wajah Eric. Yang langsung saja disesalinya, karena sudah melakukan kesalahan.
Debbie memejamkan matanya mengira, kalau Eric akan balas menamparnya. Namun, apa yang dilakukan oleh pria itu berlawanan dengan dugaannya.
“Hukuman apa yang pantas kuberikan kepadamu, karena sudah berani menamparku,” bisik Eric tepat di telinga Debbie.
Tangan Debbie terulur mencoba menjauhkan kepala Eric dengan bibir, serta lidahnya yang bermain di telinganya. “Eric, kau tidak bisa melakukan hal ini padaku.”Tangan Debbie yang terulur untuk mendorong Eric menjauh, justru membuat bagian dadanya menjadi terbuka. Dan hal itu tidak disia-siakan oleh Eric dengan memberikan ciuman dari leher, hingga bagian dada Debbie. Eric bahkan ikut masuk bathub tersebut dengan dirinya berada begitu rapat tubuh Debbie.Suara lenguhan lolos dari bibir Debbie yang langsung di tutup oleh Eric dengan mulutnya. Walaupun dirinya berada dalam bathub dengan air yang sudah menjadi dingin.“Shh! Apa yang kau mau?” bisik Eric dengan suara serak.Meski begitu Eric keluar dari bathub ia berjalan mengambil jubah mandi yang tergantung pada gantungan. Ia berjalan kembali mendekati bathub diserahkannya jubah mandi tersebut kepada Debbie.“Cepat turun saya sudah menyiapkan makan malam untuk kita!” tandas Eric.“Baiklah!” sahut Debbie.Ia tidak langsung keluar dari bathu
Debbie mencoba untuk mendorong Eric menjauh darinya. Namun, pria itu terlalu kokoh baginya. “A-apa yang Bapak katakan? Saya tidak pernah bermaksud untuk menggoda, tetapi Bapaklah yang menggoda saya!”Satu tangan Eric bergerak menyingkap rambut Debbie ke samping. Memperlihatkan tanda yang sudah dibuatnya. Diusapnya dengan lembut tanda itu. “Kapan aku membuat tanda ini? Mengapa aku tidak menyadarinya?”Debbie membelalakkan mata kepada Eric. Ia tidak mengerti bisa-bisanya pria itu berkata seperti tadi. Namun, ia tidak menjadi marah karena hal itu. Melainkan karena kedekatan Eric yang sangat mempengaruhi dirinya.“P-pak, tolong jangan begini!” lirih Debbie menahan gairah yang ditimbulkan oleh bosnya itu.“Melakukan apa? Ini?” Eric menundukkan kepala, lidahnya bermain di bekas merah yang telah ia buat. Lidahnya terus bergerak menelusuri menggoda bagian dada Debbie.Wanita itu bahkan tidak menyadari, jika tangan Eric dengan mahirnya melepas kancing kemeja yang dipakainya. Lalu menyingkirkan
Dengan kasar Eric mendorong Debbie, hingga terjatuh dari pangkuannya. Mata pria itu menatap dingin sekretarisnya. “Awasi langkahmu! Jangan coba untuk menggoda saya.”Dengan wajah bersemu merah, karena merasa malu Debbie bangkit dari terduduknya di lantai. Ia berjalan melewati pilot yang menatapnya dengan senyum di bibir.Sesampai di kamar mandi Debbie langsung saja buang air kecil. Setelah selesai dia mematut dirinya di depan cermin. Dilihatnya pantulan wajah yang bersemu merah, ia juga melihat ada tanda merah di lehernya.‘Sial! Kenapa bisa sampai pak Eric meninggalkan tanda di leherku? Bagaimana, kalau istrinya mengetahui dan marah? Ia akan menjadi sasaran amukan dari wanita itu,’ batin Trisha.Digerainya rambut pirangnya untuk menutupi tanda merah yang dibuat Eric. Setelah dirasa penampilannya menjadi rapi kembali, ia berjalan keluar dari toilet tersebut.Dilihatnya kursi yang tadinya diduduki oleh Eric sudah kosong. Dialihkannya tatapan ke arah pramugari yang berdiri tidak jauh di
Dada Debbie berdesir, perutnya bagaikan ada kupu-kupu yang terbang. Ia mencoba menggeser badannya, tetapi terhalang dinding pesawat. “A-apakah Bapak akan balas menampar saya?”Bukannya menjawab pertanyaan dari Debbie, Eric merendahkan kepalanya mencium bibir wanita itu dengan lembut. Membuat Debbie terbuai larut dalam cumbuan Eric pada bibirnya.Debbie memukul punggung Eric menggunakan kepalan tangannya. Ia dapat merasakan bibirnya dgigit oleh pria itu dan terdengar lenguhan dari tenggorokan pria itu. Usaha Debbie untuk melepaskan dirinya tidak berhasil, karena sepertinya Eric yang sedang memberikan hukuman kepadanya.Suara tenggorokan yang dibersihkanlah yang berhasil membuat Eric melepaskan ciumannya di bibir Debbie. Ia menjauhkan dirinya dengan enggan. Dilayangkannya tatapan membunuh kepada pramugari yang telah mengganggunya.“Kuharap kau menyampaikan sesuatu yang penting!” tegur Eric dingin.Pramugari itu terlihat gugup dan takut, ia menyesal sudah membuat bosnya menjadi marah. “M
Mata Debbie membelalak tidak percaya, mulutnya terbuka, tetapi dengan cepat ia tutup menggunakan tangannya. Setelah rasa terkejutnya hilang ia bertanya kepada Eric, “Pak, saya belum menyiapkan keperluan saya selama berada di pulau. Ke-kenapa begitu mendadak? Saya tidak melihat di jadwal Anda ada agenda pergi ke pulau.”Eric bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekati Debbie dan berdiri tepat di samping sekretarisnya itu. Ditundukkannya kepala, hingga bibirnya berada tepat di dekat telinga Debbie dan embusan hangat nafasnya dengan aroma mint menerpa leher wanita itu.Bulu roma Debbie berdiri, ia merasa tidak nyaman dengan kedekatan antara dirinya dan bosnya. Ia menggeser posisi berdirinya untuk menjauhi Eric. Namun, pinggangnya dipegang dengan kasar.“Kenapa kau terlihat takut? Apa kau fikir aku akan menggodamu? Aku sama sekali tidak tertarik kepada wanita jadi jauhkan adegan romantis dari kepalamu. Kau tidak perlu membawa apa-apa di pulau kau bisa membeli semua keperluanmu.” Erick me
“Sayang, bagaimana kalau suamimu datang dan memergoki kita?” bisik Lewis di telinga kekasihnya.“Ssh! Tenanglah, ia tidak akan peduli. Dirinya lebih mengutamakan pekerjaan daripada aku, istrinya.” Jenny menelusuri dada telanjang Lewis dengan jari-jari lentiknya yang kuku-kukunya dicat merah menyala.Tak ada percakapan lagi yang tercipta di tempat tidur itu. Hanya bunyi percintaan mereka berdua saja yang terdengar. Keduanya asyik memadu kasih dengan saling berbagi cumbuan.***Eric melihat jam di tangannya, sekarang jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Ia belum menikmati makan siangnya.Bangkit dari kursi kerjanya, Eric berjalan keluar dari rung kerjanya. Dilihatnya, Debbie, sekretarisnya sedang merapikan pekerjaannya.“Saya akan makan siang dengan istriku! Tolong atur ulang jadwalku untuk hari ini aku tidak akan kembali ke kantor,” ucap Eric mengejutkan Debbie.Kertas-kertas yang ada di tangan Debbie jatuh berhamburan di meja. Ia tidak meyadari kehadiran bosnya. “Ba-baik, Bos!”Er