Dengan kasar Eric mendorong Debbie, hingga terjatuh dari pangkuannya. Mata pria itu menatap dingin sekretarisnya. “Awasi langkahmu! Jangan coba untuk menggoda saya.”
Dengan wajah bersemu merah, karena merasa malu Debbie bangkit dari terduduknya di lantai. Ia berjalan melewati pilot yang menatapnya dengan senyum di bibir.
Sesampai di kamar mandi Debbie langsung saja buang air kecil. Setelah selesai dia mematut dirinya di depan cermin. Dilihatnya pantulan wajah yang bersemu merah, ia juga melihat ada tanda merah di lehernya.
‘Sial! Kenapa bisa sampai pak Eric meninggalkan tanda di leherku? Bagaimana, kalau istrinya mengetahui dan marah? Ia akan menjadi sasaran amukan dari wanita itu,’ batin Trisha.
Digerainya rambut pirangnya untuk menutupi tanda merah yang dibuat Eric. Setelah dirasa penampilannya menjadi rapi kembali, ia berjalan keluar dari toilet tersebut.
Dilihatnya kursi yang tadinya diduduki oleh Eric sudah kosong. Dialihkannya tatapan ke arah pramugari yang berdiri tidak jauh di tempatnya.
“Maaf, apakah kau mengetahui di mana keberadaan …” Debbie tidak meneruskan ucapannya.
“Tuan Eric sudah turun dan ia meminta kepada Anda untuk segera menyusulnya,” ucap pramugari itu.
Debbie mengangguk, ia mengambil tas tangan miliknya. Kemudian ia berjalan menuruni tangga pesawat. Dilihatnya di bawah berdiri Eric dengan tangan berada dalam saku celana.
Begitu menyadari kehadirannya, Eric mendongak menatap Debbie dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tenggorokan Debbie terasa tercekat ditatap dengan begitu lekat oleh Eric.
“Ma-maaf sudah membuat Bapak menunggu,” gagap Debbie.
Eric hanya mengangguk, ia membalikkan badan berjalan meninggalkan areal parkir pesawat tersebut. Diikuti Debbie yang berjalan di belakangnya.
Beberapa jam kemudian, keduanya sudah berada dalam mobil yang dikemudikan sendiri oleh Eric. Pria itu mengemudi dengan wajah dingin membuat Debbie merasa ragu untuk memulai percakapan.
Diliriknya dari samping pria yang sudah tiga tahun menjadi bosnya itu. ‘Pak Eric memang tampan sekali, beruntung wanita yang menjadi istrinya.’
Eric balas melirik Debbie yang membuat sekretarisnya itu langsung melengos. Wajahnya bersemu merah, karena malu kepergok memandangi dirinya.
“Apakah kau suka dengan apa yang kau lihat?” tanya Eric dengan suara baritonnya.
“Kemana Bapak akan membawa kita? Mengapa jalanan terlihat begitu sepi?” tanya Debbie, mengalihkan pertanyaan.
Eric mendengus, ia mengetahui Debbie menghindari menjawab pertanyaan darinya. “Kita akan ke rumah peristirahatan milikku. Di sana kita hanya akan ada berdua saja, kuharap kau bisa mengurus dirimu sendiri.”
Debbie mengubah posisi duduk, hingga ia bisa melihat Eric dengan lebih leluasa. “Berapa lama kita akan berada di sana? Bagaimana dengan pakaian dan keperluan saya sehari-hari?”
“Sebentar lagi kita akan sampai di sebuah toko yang menyediakan berbagai macam keperluan. Belilah apa yang kamu perlukan. Kita juga akan berbelanja makanan dan minuman,” terang Eric.
Debbie mengangguk, ia hendak membuka suara lagi. Ada banyak hal yang ingin ditanyakannya, tetapi begitu melihat eksprsi wajah bosnya yang kembali menjadi dingin. Membuat ia urung melakukannya.
Tak berselang lama mobil berhenti di parkiran sebuah toko yang besar sekali. Keduanya turun dari mobil tersebut berjalan beriringan.
“Belilah untuk keperluanmu selama kita berada di rumah pantaiku.” Eric berjalan menjauh dari Debbie.
Debbie memilih bagian yang menjual berbagai macam pakaian, ia tidak membawa pakaian ganti dan perlengkapan mandi.
Dipilihnya beberapa potong pakaian, karena dirinya tidak tau berapa lama mereka akan berada di rumah rahasia milik bosnya. Begitu dirasanya sudah cukup, ia berjalan menuju kasir untuk membayar apa yang dibelinya.
Sebuah tangan terulur dari belakang punggung Debbie untuk menyerahkan kartu berwarna hitam. “Masukan semua belanjaannya ke dalam tagihan milik saya.”
Kasir dari toko tersebut dengan sigap menerima kartu kredit yang diberikan Eric. Ia menghitung semua belanjaan yang ada.
Jantung Debbie berdebar kencang, Eric berdiri begitu rapat dengannya. Ia bahkan dapat merasakan embusan hangat nafas bosnya itu mengenai lehernya.
Merasa resah, Debbie bergeser menjauh. Namun, tangan Eric memegang erat pinggangnya mencegah ia bergerak menjauh.
“Diamlah, Debb!” bisik Eric.
Debbie menjadi diam kaku, ia tidak menyadari kalau dirinya tanpa sadar menggesek bagian pribadi Eric. Wajahnya menjadi bersemu merah, karena merasa malu.
“Ma-maaf, Pak!” gagap Debbie.
Suara kasir toko menyadarkan Debbie dan Eric. Tangan Eric terulur untuk mengambil kartu kredit miliknya. Ia lalu mengambil goodie bag barang belanjaan, begitu pula dengan Debbie.
Keduanya berjalan beriringan membawa belanjaan mereka memasukkannya ke bagasi. Setelahnya barulah mereka duduk di kursi mobil dan Eric melajukan mobil kembali melanjutkan perjalanan mereka.
“Tidurlah! Perjalanan kita masih lama dan panjang.
Debbie melirik Eric yang terlihat dingin, “Iya, saya memang sudah mengantuk, tetapi bagaimana dengan Bapak? Setelah beberapa saat tidur, Bapak bisa membangunkan saya untuk bergantian menyetir.”
Eric melirik Debbie sekilas dengan senyum sinis tersungging di bibirnya. “Tentu saja dan kau akan membuat kita berdua tersesat atau celaka.”
Debbie tidak menjawab ucapan bernada ketus dari bosnya itu. Ia lebih memilih untuk tidur, seperti apa yang disarankan oleh bosnya.
Dengan mata yang terpejam ia dapat mendengarkan suara musik mengalun dengan lembut. Dalam hati ia menggumam, ‘Kenapa pak Eric tidak membawa sopir pribadinya saja, kalau tau harus mengemudi untuk waktu lama.’
Suara embusan nafas hangat tepat di wajahnya membuat Debbie terbangun. Dibukanya mata dan ia menjadi sangat terkejut melihat Eric begitu dekat dengan dirinya.
“Pak! Kenapa …” ucapan Debbie tidak selesai.
Satu jari Eric menutup bibir Debbie mencegahnya berbicara. Wajah pria itu semakin dekat, hingga akhirnya bibir pria itu menggantikan jarinya.
“A-apa yang Bapak laku …” Mulut Debbie dibungkam dalam sebuah ciuman yang membuat ia hampir kehabisan nafas.
Bibir Eric berpindah menelusuri leher mulus Debbie, membuat wanita itu yang tadinya menolak menjadi terpengaruh.
Tangan Debbie bergerak menyentuh tengkuk Eric seakan mencegahnya untuk menjauh. Menahan bibir Eric untuk terus mencumbu dirinya.
“Kau sedang mencoba menggodaku, bukan? Berfikir bisa menggantikan kedudukan istriku?” bisik Eric dengan suara serak tepat di telinga Debbie.
Debbie membalikan badan dan sontak saja rasa takut, serta terkejutnya berubah menjadi emosi. “Lepaskan saya! Saya mau pergi dari tempat terasing ini. Kamu tidak berhak menahanku di sini dan aku akan melaporkanmu kepada polisi!”Bukannya menuruti pemintaan Debbie, Erick justru menurunkan wanita itu secara perlahan menemel badan Eric. Hingga Debbie dapat merasakan panasya badan Erick, walaupun tengah diguyur hujan deras.Erick menempelkan bibirnya tepat di telinga Debbie. “Kenapa kau terlihat terkejut? Pria mana yang tidak akan menjadi bergairah melihat penampilanmu saat ini. Rambut yang berantakan dan pakaian yang tipis menempel ketat memperlihatkan lekuk tubuh.”Dada Debbie naik turun deru nafasnya terdengar cepat. Ia menggigit pundak Erick, agar pria itu melepaskan pegangan di pinggangnya. Karena sentuhan pria itu mulai mempengaruhiya di mana ia seharusnya membenci pria itu.“Kau pria yang kejam! Apa maumu dengan meninggalkanku terkurung di tempat yang terpencil ini? Apakah kau ingin
Keterpukauan Debbie berubah menjadi emosi dengan galak ia berkata, “TIDAK!”Erick mengangkat pundaknya, kemudian berlalu pergi dari kamar mandi, sambil bersiul. Begitu sudah berada di luar Erick menarik nafas lega. Ia berhasil mencegah dirinya untuk tidak menarik Debbie mengajak sekrretarisnya itu. Bercinta untuk kesekian kalinya.‘Ada apa dengan diriku? Mengapa aku dengan mudah tergoda kepada wanita itu dan melupakan istriku?’ gumam Eric.Ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Sesampai di kamar Erick melempar handuk yang dipakainya ke atas tempat tidur. Berjalan menuju walking closet. Diambilnya kaos pas badan, serta celana kain. Selesai berpakaian Erick keluar dari kamarnya.Pada saat berada di tengah tangga Erick berpapasan dengan Debbie. Selama sesaat yang singkat keduanya terdiam. Hanya saling pandang dengan tatapan yang tidak dapat dibaca.Debbielah yang lebih dahulu tersadar. Dibasahinya bibir yang terasa kering dengan lidahnya. Ia tidak mau Erick salah menduga dirinya. De
Wajah Debbie bersemu merrah, dengan nada suara kesal ia berkata, “Dalam keadaan sedang mabuk saja kamu masih menyebalkan seperti ini.”Sambil mengentakan kaki Debbie berjalan keluar dari kamar mandi tersebut. Namun, baru beberapa langkah ia mendengar suara berdebum benda jatuh dengan keras disertai umpatan nyaring.Debbie bergegas kembali ke kamar mandi ia menjadi ragu hendak mendekat ke arah Eric, yang jatuh tersandar pada dinding kamar mandi dengan luka berdarah di pelipisnya.Suara erangan sakit yang keluar dari bibir Eric membuat Debbie maju mendekat untuk menolong Eric. Berlutut di hadapan Eric yang bertelanjang dada hanya memakai celana dalam. Yang membuat penampilan Eric begitu menggoda mendebarkan jantung Debbie.“Brengsek, kau Debbie! Apakah kau hanya akan diam saja memandangi tubuhku? Dengan matamu yang berseri, gaun tidurmu yang basah, hingga aku dapat melihat dengan jelas isi di balik gaun itu!” ejek Eric.Debbie mengepalkan kedua tangan untuk mengatasi rasa malu, karena
“Biarkan saja ia sendirian di sini!” tandas Eric.Eric berjalan keluar dari rumah itu tanpa menoleh ke belakang. Diikuti oleh pegawainya yang juga menjadi sopir pribadinya selama ia berada di pulau tersebut.Mobil yang dikemudikan sopir Eric berhenti di depan sebuah bar yang ada di kota. Jauh dari rumahnya di mana pada saat ini. Turun dari mobil Eric memasuki bar tersebut dan duduk di depan meja bartender.“Buatkan aku minuman paling keras!” perintah Eric kepada bartender.Bartender dengan kepala pelontos itu menatap Eric dengan senyum lebar di wajahnya. Memperlihatkan giginya yang rapi dan putih bersih.“Jadi sudah berapa lama kau berada di pulau ini, Bos? Aku tidak mendengar kedatanganmu kali ini. Apakah kau akan lama berada di pulau ini?” tanya bartender tersebut, sambil meracik minuman untuk Eric.Eric melayangkan tatapan tajam menusuk kepada bartender tersebut. “Kau menjadi cerewet sejak terakhir kita bertemu. Aku tidak perlu menjelaskan apa pun juga kepadamu!”Bukannya marah men
M 3Wajah Debbie menjadi merah seperti kepiting rebus. Ia mengacungkan kepalan tangannya ke arah Eric. “Silakan saja berpuas diri, tetapi saya tidak akan mau mengakui apa pun juga!”Dengan langkah cepat Debbie berjalan meninggalkan Eric. Sesampai di rumah ia langsung masuk kamar dan mengunci pintunya.Berada dalam kamar mandi Debbie menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel. Pantulan matanya terlihat berbinar dengan rona bahagia. Tangan Debbie terulur mengusap pipinya yang terlihat merona.‘Apa yang terjadi denganku? Aku tidak boleh merasa tertarik sedikit pun juga kepada Eric. Ia sudah menikah. Menyukainya hanya akan membuatku menderita saja,’ batin Debbie.Ia menggeleng berulang kali coba mengusir bayangan percintaannya dengan Eric. Suara desahan terlontar dari bibir Debbie. Dipejamkannya mata, sambil menggigit bibir. Ia merasa benci kepada dirinya yang begitu lemah hingga dengan mudahnya terkena pesona bosnya itu.Beranjak dari depan cermin wastafel Debbie menuju bathub dan
Menggunakan kakinya Debbie menendang lutut Eric. Hingga dirinya berhasil terbebas dari Eric. Dengan nafas yang memburu dan mata menyala karena emosi Debbie menatap tajam Eric. “Simpan jauh-jauh fikiran itu dari kepalamu! Aku tidak akan pernah secara suka rela bersedia kau sentuh.”Eric mengerucutkan bibirnya, ia memandang Debbie dengan santai ia berkata, “Mengapa tidak? Kau begitu menyedihkan hingga membuatku merasa kasian kepadamu. Sekarang berhentilah berpura-pura kau tidak menyukainya.”Wajah Debbie berubah menjadi merah rasa marah dan malu bercampur menjadi satu. Ia tidak mengerti mengapa begitu lihainya Eric bermain kata. Akan tetapi, mengapa juga ia harus merasa heran? Bukankah bosnya itu memiliki sifat yang tidak mudah ditebaknya. Hal itu baru diketahuinya hanya beberapa jam setelah mereka berada di pulau terpencil ini.Jentikan jari Eric tepat di depan wajah menyadarkan Debbie dari lamunannya. Ia menggembungkan pipi dan mengempiskannya kembali. “Saya tidak akan mendebatnya kar