“Raka, Retreat kebangsaan dijadwal minggu depan.”“Trus kenapa?” tanya Raka yang heran dengan ekspresi bingung Gita.“Aku pikir ... itu masih dua minggu lagi. Bukan ... barengan dengan rencana ke Bali!”Raka terkejut. Suasana pagi yang awalnya tenang dan santai berubah jadi arena debat kecil.“Git, kita gak bisa batalkan retreat itu. Itu salah satu persyaratan wajib. Kalau gak ikut, nanti proses pencatatan pernikahan kita bisa macet.”Gita mendesis frustrasi. “Dan kalau gak ke Bali, Mama Papamu bisa ngambek tujuh turunan! Mereka udah pesan hotel di Seminyak, tiket pesawat juga! Masa cuma dianggurin begitu aja?”“Pilihannya cuma dua,” Raka mendudukkan diri di sebelahnya. “Batalin Bali atau batalin ... legalitas pernikahan.”Gita mengerang. “Bisa gak sih negara ini bikin aturan yang lebih manusiawi? Orang baru nikah disuruh ikut Retreat Wawasan Kebangsaan! Itu acara pasangan apa pelatihan bela negara sih?”Keduanya terdiam bingung. Mereka memang tak punya pilihan lain. Bali, surga yang
“Jadi, kau yang melakukan hal kotor seperti ini?” Maya menatap Rangga tajam, menahan kemarahan yang siap meledak.Rangga menjatuhkan rokoknya ke paving block dan menginjaknya sekalian dengan ujung sepatu. “Kurasa ini cara yang paling cepat mendapatkan perhatianmu!”“Apa kau gila? Urusan kita berdua, tak ada hubungannya dengan Raka!” Suara Maya memekik karena emosi. Dia sudah tak tahan dengan sikap Rangga yang sama sekali tak peduli jika harus menyakiti orang lain, asal tujuannya tercapai.“Aku tak suka diabaikan!” Rangga menatap Maya tajam.“Baik!” Maya berusaha meredakan emosi dengan menghela napas panjang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua. Dia tak ingin muncul lagi berita skandal tentang dirinya, yang mungkin berimbas pada Tessa Nadira.“Kita sudah bertemu. Jadi, apa maumu sekarang?” Suaranya yang kembali tegas karena pengendalian diri, membuat Rangga menyipitkan mata tak suka. Tangannya mencengkeran siku Maya dan berbisik mengancam, “Kalau kau mau berita viral it
Maya menatap kosong ke cermin besar di ruang ganti. Bayangan dirinya dalam balutan blazer mahal dan wajah sempurna hasil sapuan kuas make-up tak bisa menutupi kehampaan yang menyelinap di balik matanya. Cermin itu memantulkan sosok yang tampak tenang, padahal dalam dirinya, sesuatu tengah berantakan.Pikiran Maya belum bisa lepas dari kejadian di mall semalam. Dari cara Gita meledak di depan mantan kekasihnya, hingga bagaimana Raka dengan sabar menenangkan gadis itu seperti suami yang benar-benar peduli. Bukan sandiwara. Bukan pura-pura. Bukan seperti masa lalu mereka.Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja rias. Nama “Rangga” muncul di layar. Napas Maya tertahan sejenak, tapi ia tetap mengangkatnya.“Aku sibuk,” katanya dingin.Suara dari seberang terdengar berat, penuh dominasi. “Kamu ke mana semalam? Kenapa nggak balas pesan?”“Karena aku memang nggak mau membalas,” sahut Maya tegas.“Jangan main-main, Maya. Aku bisa datang sekarang juga ke kantormu.”“Kau pikir itu akan menakutiku?”
“Aku beneran harus ikut?” tanya Gita dengan tatapan sayu dari balik bantal. Rambut acak-acakan dan piyama lusuh, membuatnya tampak seperti anak kost yang malas bangun di akhir pekan.“Ya,” jawab Raka mantap, sambil menggoyangkan remote tv di tangan sebagai ancaman. “Apartemen kita kekeringan logistik. Kulkas cuma isi es batu yang menggumpal dan saus sambal yang expired dua minggu lalu.”Gita mengerang. “Tapi hari ini tuh, hari rebahan nasional!”“Peringkat kedua setelah ‘Hari Pencucian Baju Global’. Tapi sayangnya, hari ini kita masuk agenda: belanja bulanan dan ngisi lemari es. Jadi tolong, bangun dan ganti baju. Jangan sampai ada yang ngira gue nyulik anak sekolahan.” Raka mematikan televisi untuk menunjukkan keseriusannya.Gita mendengus, tapi tetap bangun. Dua puluh menit kemudian, dia muncul dengan hoodie biru dan celana jeans, lengkap dengan tote bag besar yang tampak seperti siap menyelundupkan 20 liter minyak goreng ilegal.“Siap.” Gita menyeringai.Sesampainya di supermarket
“Kamu yakin semua dokumen sudah lengkap?” tanya Gita sambil melipat selembar kertas foto keluarga yang sudah dicetak tadi malam. Tiga lembar foto: satu Gita bersama ayah dan ibunya, satu Gita bersama Raka dan kedua orang tuanya, dan satu lagi yang sedikit diedit agar terlihat formal dan bahagia.Raka merapikan kemejanya di depan cermin. “Sudah. Aku cek dua kali semalam. Yang belum lengkap cuma kesabaran kita.”Mereka berdua tertawa pelan, seolah ingin menyemangati diri. Meski begitu, Gita belum bisa menyingkirkan perasaan tidak enak yang mengganjal sejak pagi. Kantor Pencatatan Pernikahan bukan tempat menyenangkan, apalagi jika kamu harus bolak-balik melengkapi berkas pasangan baru agar mereka bisa mendaftarkan perceraian secepat mungkin. Sesuatu yang terasa tragis, jika dipikirkan oleh kacamata awam.Di kantor itu, mereka kembali duduk di ruang tunggu dengan wajah pasrah. Petugas yang sempat mereka temui sbelumnya, menyapa, “Selamat pagi. Kalian pasangan yang … kemarin, ya?”“Ya,” s
“Lo enggak istirahat?” tanya Gita saat melihat Raka sudah rapi, keluar dari kamar.“Gue enggak bisa terlalu sering libur. Apa lo mau menghidupi suami yang pengangguran?” balas Raka sambil menyeruput kopi. Dia butuh tambahan energi untuk mengusir rasa lelah dan kantuk. Dua hari pulang-pergi Jakarta-Jogja tanpa istirahat memadai, itu sesuatu banget.“Siapkan kelengkapan dokumen untuk dibawa ke Kantor Pencatatan Pernikahan besok. Gue mungkin pulang lebih malam. Ada meeting petang nanti.”“Hem ….” Gita bergumam dengan mata setengah mengantuk. Tubuhnya nyaris tak bergerak di sofa, dengan tv menyala.Raka hanya menggeleng melihat gadis itu sudah terbang ke alam mimpi. Tak meributkan lagi meski pemandangan itu sangat mengganggu. Dia harus segera berangkat, atau akan terlambat kerja.***“Raka, jangan lupa siapkan mental untuk meeting petang nanti,” Kevin mengingatkan selepas keduanya makan siang.Raka mengerutkan dahi, mencoba mengira-ngira. Apa kesalahan terbesarnya dalam minggu-minggu ini,