Satu tanda tangan, satu berkas tertukar ... dan boom! Mereka sah sebagai suami istri. Gita hanya ingin visa kerja ke Seoul. Raka cuma mau naik jabatan. Tapi satu kesalahan administratif membuat mereka jadi pasangan sah menurut negara, meski tak saling kenal, apalagi cinta! Ketika dunia mulai mempertanyakan pernikahan ini, mereka justru mulai bertanya-tanya: Kenapa pernikahan palsu ini malah terasa terlalu nyata? Nikah bisa direncanakan. Tapi cinta? Kadang datang dari kesalahan sistem.
View MoreSenin pagi yang basah.
Hujan rintik-rintik turun membasahi trotoar Jalan Sudirman ketika Gita menarik koper kecilnya ke dalam lobi Kantor Catatan Sipil Jakarta Selatan. Payung lipat berwarna kuning yang ia bawa dari Jogja tidak banyak membantu. Ujung jaketnya basah dan anak rambut yang biasanya rapi kini menempel di pelipis. Tapi tidak ada waktu untuk merutuki cuaca. Hari ini, ia harus menyelesaikan urusan yang sudah tertunda terlalu lama: pembaruan dokumen status sipil untuk visa kerja luar negeri. Gita menatap layar ponselnya sambil menggigit bibir. “Nomor A-119,” gumamnya, lalu melirik papan digital yang baru menampilkan: A-98. Ia menyesap kopi dinginnya yang kini lebih cocok disebut es ampas kafein. Sudah satu jam menunggu. Tas selempangnya berisi dokumen penting: SKCK, surat keterangan belum menikah, akta kelahiran, paspor lama. Semua untuk satu tujuan: Visa kerja ke Seoul. Tawaran langka dari galeri seni kontemporer—hidup impiannya hampir di depan mata. Seorang pria muda berpakaian rapi dan formal masuk dengan map di tangan, menuju ke arahnya. “Masih banyak?” tanyanya setelah duduk di bangku tunggu sebelahnya. Gita menoleh cepat. Pria itu mengenakan kemeja biru muda, celana hitam rapi, wajah agak lelah tapi tetap duduk dengan tegap. “Sekitar dua puluhan nomor lagi,” jawabnya singkat. Ia kembali ke ponselnya dan tak ingin berbasa-basi. Pria itu memperhatikan nomor yang terpampang di layar besar tengah ruangan, lalu mencocokkan dengan kertas antriannya sendiri dan berguman dengan lega, “Syukurlah, belum terlewat.” Pria itu kembali menoleh pada gadis di sebelahnya. “Saya Raka. Urus domisili. Tapi kayaknya tadi petugas ngelihatin saya aneh.” Gita tersenyum kecil, “Selama mereka nggak nyanyi lagu dangdut, itu masih normal.” Keduanya tertawa tipis. Lalu kembali tenggelam dalam keasikan masing-masing. Atau begitulah yang mereka pikirkan. *** Sementara itu, di loket bagian belakang Seorang petugas muda memasukkan formulir dengan terburu-buru. “Yang ini? Berkas A-117?” tanya rekannya. “Eh... iya, kayaknya. Yang surat domisili ... eh, atau yang pengantar visa? Mirip semua, sumpah!” Klik. Kirim. *** Kembali ke ruang tunggu. Papan digital berganti angka dan suara mekanis terdengar. “A-119, silakan ke loket 3.” Gita melirik tiket kertas kecil di tangannya. A-119. Wajahnya menegang sebentar, sebelum bergumam lega, “Akhirnya.” Lalu ia melangkah cepat ke loket 3. Koper kecil bergemerisik di lantai keramik. Ia mengenakan jeans biru tua, sneakers putih, dan hoodie abu-abu bertuliskan I Make My Own Luck. “Selamat pagi,” sapanya sopan kepada petugas wanita di balik meja. “Pagi. Nama lengkap?” “Tara Gita Sanjana .” Petugas mengetik cepat, lalu mengangguk sambil menatap layar monitor. “Anda ke sini untuk pembaruan status sipil ya? Dokumen lengkap?” “Semua sudah saya siapkan,” jawab Gita, menyerahkan map merah yang di dalamnya tertata rapi fotokopi KTP, kartu keluarga, surat domisili, dan surat pernyataan belum menikah. Petugas mengambil berkas-berkas itu dengan cekatan. Sambil menunggu, Gita melirik jam di ponselnya. 09:42. Jika semuanya lancar, ia bisa naik kereta siang kembali ke apartemen temannya di Kuningan. “Kamu kerja di mana, Mbak Gita?” tanya petugas, sekadar basa-basi. “Saya dapat offer dari galeri seni di Seoul. Tapi mereka minta surat keterangan belum menikah. Katanya biar gampang proses visanya.” Petugas mengangguk. “Semua makin rumit kalau status pernikahan nggak jelas, ya…” Gita tersenyum tipis. “Makanya saya ke sini.” Tak lama berselang panggilan mekanis lain kembali terdengar. “A-120, silakan ke loket 3.” Raka mendongak menyadari nomornya dipanggil. “Hah? Gak salah? Dua nomor dipanggil barengan?” Tapi dia tetap berdiri dan menuju loket yang sama. Loket 3 “Saya juga dipanggil ke loket ini,” kata Raka. Petugas tampak bingung. “Aduh ... mungkin sistemnya ganda. Tapi karena data sudah masuk, kita proses bersama ya. Silakan duduk.” Raka duduk di kursi samping Gita dan melirik gadis itu dengan senyum canggung karena kedatangannya menjeda pelayanan Gita. Petugas itu mulai mengetik. “Nama lengkap?” Keduanya menoleh bersamaan. “Saya?” tanya Gita memastikan pertanyaan itu ditujukan pada dirinya atau pria di sebelahnya. “Bukan. Anda Bu Tara Gita Sanjana, kan?” petugas itu memastikan. “Ya, sahut Gita membenarkan. “Sekarang saya bicara pada Bapak di sebelah Anda,” ujarnya melirik pada pria muda di sebelah Gita. “Saya bacakan data Anda.” “Raka Dirgantara. Tanggal lahir 10 November. Alamat ....” “Benar,” jawab Raka mengangguk cepat. Petugas mengetik dengan cepat dan mengangguk puas lalu kembali memastikan. “Dan ... Tara Gita Sanjana . Tanggal lahir 27 Juni. Status: lajang. Jenis permohonan: pengajuan pengesahan administratif berdasarkan pernyataan bersama.” Mereka saling pandang bingung. “Pernyataan apa?” Petugas tersenyum manis. “Surat kesepakatan bersama untuk validasi status sipil. Anda sudah tandatangani di formulir online, kan?” Mereka pun serempak bertanya lagi, “Formulir apa?!” Petugas mengetuk meja tak sabar. “Sistem terbaru, Pak, Bu. Cepat dan praktis. Tapi tenang, Anda tinggal konfirmasi sidik jari dan tandatangan digital di sini.” Mesin sidik jari menyala. Kursor tanda tangan menunggu di layar tablet. Gita dan Raka, yang tak tahu jika mereka berada dalam antrian yang salah, berpikir ini adalah formalitas untuk dokumen masing-masing. Maka, mereka menempelkan jari, menandatangani berkas secara bergantian. Lima menit kemudian. Mereka keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Raka melangkah ringan menuju taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Sementara Gita menunduk memandang ponsel mencari taksi online. Dua orang asing yang seharusnya tetap asing. Keesokan hari Langit Jakarta masih mendung. Di apartemen studio yang tidak terlalu besar tapi cukup nyaman di bilangan Tebet, Raka baru saja membuka laptop sambil meneguk kopi instan dari cangkir yang bertuliskan "Work Hard, Nap Harder." Matanya menyipit. Ada satu email baru dari HRD Kantor Pusat Singapura. Subject: CONFIRMATION OF MARITAL STATUS – URGENT Please confirm your latest marital record as registered in the local authority. This will be relevant for your promotion package and overseas assignment. Attached: Crosscheck Form, Marriage Verification Sheet “Ha?” Raka mengerutkan alis. Dia klik lampiran P*F. Dan di situlah ... hidupnya berhenti selama lima detik. Nama Pasangan: Tara Gita Sanjana Tanggal Pernikahan: Kemarin. Ia terpaku. Tangannya gemetar seperti melihat tagihan listrik yang melonjak, padahal baru tanggal 2. “Siapa itu Gita?!”“Sebuah pesan masuk ke ponsel Gita petang itu saat dia asik mengelus daun monstera dengan selembar tissue basah.“Kita harus bicarakan urusan tinggal Bersama ini secara serius!” Begitu pesan pesan Raka, disertai tanda seru besar dan tebal.“Enak aja. Ogah!” Sebuah balasan terkirim, disusul emotikon bibir manyun yang menurut Gita sangat menggemaskan.“Kalau gitu, selamanya kau jadi istriku … dan tidak bisa menikahi orang yang kaucintai nanti!”Sebuah pesan susulan masuk juga dengan cepat. “Pikirkan baik-baik!”“Kau kira aku seharian ini ndlosor di lantai, uring-uringan gini karena hobby? Kepalaku mau pecah mikirin keruwetan ini!” Gita berteriak kasar sambil melempar lembaran tissue yang kini sudah penuh noda debu. Gadis itu jatuh lunglai karena Lelah berpikir sehariaan. Kanvas yang tadi dia pasang di tiang, tak tersentuh sama sekali. Tube-tube cat menunggu sentuhan halus jemari Gita. Diraihnya ponsel dan menulis pesan dengan ketukan jari yang lincah. “Bagiku, semua ini tak sederhana.
“Silakan baca sendiri aturan barunya di lampiran Undang-Undang Pernikahan Negara Pasal 45A. Atau, kalau mau repot, datang saja langsung ke pengadilan untuk tahu syarat-syarat perceraian bagi pasangan baru.”Petugas itu mengucapkannya sambil menghela napas panjang, lalu menutup berkas di depannya seperti baru saja menyampaikan ramalan buruk. Ia tak peduli pada dua orang yang tengah berdebat dengan volume yang bisa membangunkan nenek moyang kantor itu.“Ayo ke pengadilan sekarang!” seru Gita, berdiri dengan semangat seperti baru mendapat misi penyelamatan dunia.“Aku harus masuk kantor! Ini hari pertamaku balik kerja!” sanggah Raka, memegangi jidatnya yang mulai cenut-cenut.“Tidak!” Petugas itu menepuk meja. “Kalian berdua harus menghadiri Pertemuan Verifikasi Pasangan Baru di lantai 3. Dua menit lagi acara dimulai. Lewat dari itu, harus daftar ulang minggu depan!”“Kami nggak butuh omong kosong seperti itu!” jawab Raka dan Gita serempak. Keduanya tampak kaget karena terlalu sering sep
Pagi sekali, Raka sudah menjemput Gita di apartemennya. Mereka harus ke kantor Catatan Sipil untuk membatalkan pernikahan itu. Berharap segalanya masih bisa diperbaiki.Raka buka suara. “Kurasa lebih baik gak usah dibatalkan lagi. Bukankah tidak lucu jika status pernikahanku tiba-tiba harus diubah lagi? Apa yang akan dikatakan Bu Meilin?” “Apakah sekarang itu urusanku? Bukankah aku juga punya hak untuk mencapai impianku ke Seoul!” Gita berkata dengan nada ketus. “Aku harus segera mengkonfirmasi status lajangku jika ingin mendapatkan posisi yang kuincar di Seoul!”Raka menyadari emosi Gita yang sedang naik pagi ini, jadi dia berhenti mendesakkan keinginannya sendiri. Apa pun yang akan terjadi, maka biarkan saja. Mengingat totalitas Gita kemarin saat mendampinginya melewati wawancara dengan HRD Kantor Pusat, rasanya sekarang adalah gilirannya mendukung Gita.“Baiklah … mari kita coba.” Raka menganggguk lalu membuang muka ke luar jendela mobil, mengamati jalanan macet, menyembunyikan ke
Pagi sekali, Gita sudah berdiri di depan apartemen Raka sambil menghela napas panjang, menyembunyikan rasa nelangsa.“Sumpah ... hidup gue berubah drastis dalam 24 jam,” gumamnya. “Dari calon seniman ekspat Seoul ... jadi istri ‘resmi’ cowok yang bahkan gue belum tau golongan darahnya.”Raka membuka pintu dalam kaos oblong dan celana training, wajahnya penuh keraguan. “Kok kamu bawa koper?”Sambil cemberut, Gita menyeret koper kecilnya masuk. “Nggak usah tanya! Auraku harus tetap elegan walau dalam kehancuran!”Apartemen Raka yang biasanya sepi dan berbau kopi sachet, mendadak seperti lokasi syuting sitkom TV. Gita menata ulang apartemen minimalis itu dengan sentuhan tangannya, hingga terlihat seperti rumah sungguhan.Raka sibuk menyetrika kemeja, sementara Gita dengan rambut awut-awutan sehabis berbenah, duduk di meja makan sambil makan roti isi abon dari minimarket.“Lo serius mau pura-pura nikah di depan HRD Singapura?” Gita mengulangi pertanyaan yang sama dengan tadi malam. Itu p
Di sisi lain JakartaApartemen sewaan di Cipete.Gita sedang menyusun katalog karya seni untuk portofolionya. Dia membuka email dari Visa Center Korea dan langsung menyipitkan mata karena satu kalimat yang melompat seperti jin keluar dari botol:Permohonan visa Anda ditolak.Alasan: Status sipil Anda tidak sesuai dengan dokumen pernyataan lajang.Dia membaca ulang. Sekali. Dua kali. Lalu tiga kali.“Ha?!”Matanya melebar seperti orang baru sadar lensa kontak dipakai terbalik.Ia membuka dokumen terlampir.Status: Menikah.Nama Suami: Raka Dirgantara.“Apa ini ... prank?!”Ia menengok ke kiri dan kanan mencari kamera tersembunyi di balik tanaman monstera di sudut ruangan.“Gak lucu! Siapa itu Raka?! Kapan gue nikah?!”***Kembali ke Raka.Dia membuka berkas. Memeriksa Akta, KTP, dan ... SK terbaru dari kantor catatan sipil. Semua resmi. Ada stempel hologram dan tanda tangan petugas."Pernikahan Sah Dinyatakan di Jakarta Selatan, antara Raka Dirgantara dan Tara Gita Sanjana ...."Raka m
Senin pagi yang basah.Hujan rintik-rintik turun membasahi trotoar Jalan Sudirman ketika Gita menarik koper kecilnya ke dalam lobi Kantor Catatan Sipil Jakarta Selatan. Payung lipat berwarna kuning yang ia bawa dari Jogja tidak banyak membantu. Ujung jaketnya basah dan anak rambut yang biasanya rapi kini menempel di pelipis. Tapi tidak ada waktu untuk merutuki cuaca. Hari ini, ia harus menyelesaikan urusan yang sudah tertunda terlalu lama: pembaruan dokumen status sipil untuk visa kerja luar negeri.Gita menatap layar ponselnya sambil menggigit bibir.“Nomor A-119,” gumamnya, lalu melirik papan digital yang baru menampilkan: A-98.Ia menyesap kopi dinginnya yang kini lebih cocok disebut es ampas kafein. Sudah satu jam menunggu.Tas selempangnya berisi dokumen penting: SKCK, surat keterangan belum menikah, akta kelahiran, paspor lama. Semua untuk satu tujuan: Visa kerja ke Seoul. Tawaran langka dari galeri seni kontemporer—hidup impiannya hampir di depan mata.Seorang pria muda berpaka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments