Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di kepala Yola. Bahkan memenuhi seisi ruangan yang ada di dalam otak Yola dan membuat Yola tidak nyenyak tidur. Hal itu membuat Yola semakin malas untuk mencari korban sasaran hingga membuat Yola sering menjadi bulan-bulanan si bos.
Tegar, selaku sahabat Yola selalu menjadi pelindung untuk Yola. Saat Yola dianiaya bosnya, Tegar menjadi orang pertama yang melindungi Yola bahkan Tegar pun membantu Yola dalam mencari mangsanya.Yola sudah sering kali menolak kebaikan Tegar, tapi Tegar benar-benar keras kepala dan tetap membantu Yola karena Tegar suka dengan Yola. Tegar tidak tega jika Yola harus selalu dihajar oleh bosnya karena setoran selalu berkurang."Sudahlah, jangan terlalu banyak alasan ini dan itu. Kau cukup menurut padaku saja. Paham." Begitulah ucapan yang selalu dilontarkan dari bibir Tegar.Karena Yola sedang malas berdebat, dia memilih diam dan menuruti apa yang dikatakan oleh Tegar. Namun, dibalik itu semua, Yola juga memikirkan cara agar bisa lepas dari jeratan para preman. Yola ingin berhenti dari pekerjaan dia yang membuatnya merasa tidak tenang bahkan tidak tenang seumur hidup.Yola bermain dengan sangat apik dan aman agar dia selamat serta membuat para preman tidak menyadarinya. Hari itu Yola selalu dipantau oleh Tegar.Tegar memantaunya agar dia aman dari si bos dan bisa memberikan setoran yang membuat si bos puas."Ini ...." Tegar menyodorkan sebuah dompet pada Yola."Gar, kau tidak perlu berkorban seperti ini. Aku merasa tidak enak hati," kata Yola mulai tidak nyaman dengan perlakuan Tegar."Aku yang tidak enak hati jika melihatmu jadi bulan-bulanan yang lain. Kau ini perempuan, tidak sepatutnya diperlakukan seperti itu," kesal Tegar.Yola diam dan tidak mau menjawabnya, karena jika Yola jawab, Tegar juga pasti akan terus merespons dan buntutnya tidak akan ada ujung dari pemberhentian pembicaraan itu.Yola memilih duduk di sebuah bangku kayu yang saat diduduki berbunyi nyit ... nyit .... Tegar pun ikut duduk di samping Yola. Pemuda itu menyampingkan badannya agar bisa menghadap ke arah Yola. Tegar memperhatikan wajah Yola yang sedikit memar."Ini pasti sangat sakit," kata Tegar lirih. Tangan Tegar terulur dan menyentuh memar itu. Yola sedikit meringis menahan rasa ngilu. "Kalau kau menurut padaku, hal ini pasti tidak akan terjadi.""Sudahlah, aku tidak ingin berdebat denganmu," kata Yola mulai jengkel dengan arah pembicaraan Tegar yang tidak pernah lepas dari hal itu."Kau tunggu di sini saja, hari ini biar aku yang kerja. Kau tenang saja di sini, oke." Tegar memberi kode dengan jari tangannya. Yola menarik napas panjang dan menganggukkan kepalanya.Tegar berdiri dan meninggalkan Yola di tempat itu. Yola terus memandangi punggung Tegar hingga hilang di belokan gang depan sana.Kembali Yola menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. "Aku harus mencari cara agar bisa lepas dari jeratan preman brengsek."Namun, Yola harus bersabar terlebih dahulu, karena tidak mudah bagi Yola untuk lepas begitu saja. Yola pun tidak mungkin mengajak Tegar, karena Tegar tidak ada rencana atau tidak ingin meninggalkan tempat laknat itu. Tegar tumbuh dan besar di tempat tersebut.Tiga jam sudah berlalu dan Yola mulai bosan menunggu Tegar yang tak kunjung kembali. "Kemana dia? Kenapa belum kembali? Atau dia————""Yolaaa ...," teriak Tegar dari kejauhan. Pemuda itu berlari sambil membawa sesuatu. "Aku berhasil hari ini. Lihatlah apa yang aku bawa. Bos pasti akan senang dengan hasil kerja kita berdua hari ini."Yola memutarkan bola matanya. Antara senang dan tidak dengan hasil kerja Tegar hari itu. "Ya ya ya ... kerja bagus, Gar." Yola tersenyum.Senyum mengembang di bibir Tegar saat melihat Yola tersenyum manis.***"Kerja bagus!" kata sosok tinggi besar dengan wajah penuh dengan brewok. "Jika seperti ini terus menerus maka aku akan menjadi kesayanganku lagi."Perut Yola mendadak berubah seperti mesin cuci yang sedang berputar cepat. Yola serasa ingin muntah mendengarkan ocehan dari si brewok. 'Cih, tidak sudi aku menjadi kesayanganmu,' batin Yola."Hari ini kau terselamatkan. Kerja bagus juga untukmu, Gar. Teruslah bersama dengannya." Brewok menepuk pundak Tegar."Siap, bos. Jangan khawatir soal itu. Serahkan semuanya pada Tegar," ujar Tegar sambil menepuk dadanya sendiri.Melihat hal itu, Yola memutar bola matanya dan mengembuskan napas kasar. "Terlalu banyak drama dan aku ingin mengakhiri drama sialan ini," ucap Yola lirih.Yola meninggalkan mereka berdua juga yang lainnya di ruangan tersebut. Yola menaiki anak tangga menuju lantai atas. Dia lebih memilih menenangkan diri di balkon atas. Yola duduk di sebuah sofa yang sudah sobek dan terlihat busa di dalamnya. Dia duduk sambil membawa minuman kaleng. Yola membuka minuman kaleng itu dan menegakkan pelan.Yola mengangkat kepalanya dan memandang langit yang berwarna oranye. "Sungguh indahnya langit sore ini dan keindahannya akan berganti dengan gelapnya malam." Yola kembali menegak minuman yang dia genggam. "Aku ingin bebas, aku ingin hidup tanpa beban yang berat." Tersadar akan tindakannya selama ini adalah salah besar. "Mungkinkah aku bisa?" tanyanya pada langit kala itu.Yola meratapi kesendiriannya. Saat Yola menundukkan kepalanya ke bawah, dia melihat ada seorang anak kecil bergandengan tangan dengan kedua orang tuanya. Terlintas dalam pikiran Yola. "Aku ingin punya sebuah keluarga kecil yang bahagia." Yola tersenyum melihat anak kecil itu terlihat sangat manja pada ibu dan ayahnya. "Di mana mereka?"***"Yolaaa!" teriaknya berkali-kali. Dia terlihat begitu sibuk mencari gadis cantik tersebut. "Yolaaa!" Teriakannya membuat seseorang yang sedang tertidur di atas pohon terbangun dan membuka topi yang menutupi wajahnya. Sosok itu kemudian menengok ke bawah memperhatikan seorang pemuda yang terus menerus memanggil namanya.Yola tidak mempedulikan pemuda tersebut dan dia kembali menutup wajahnya dengan topi. "Hari ini aku ingin tidur.""Yolaaa, kau di mana? Apa kau tidak ingin kerja?" teriaknya lagi. Akhirnya Tegar duduk di bawah sebuah pohon karena kecapean dan kehausan. "Ke mana Yola pergi?" Tegar mengembuskan napas dan menyandarkan kepalanya pada tubuh pohon yang ada di belakangnya.Tegar merasakan ada sebuah suara yang tidak asing serta sebuah bau yang sedikit menyengat di hidungnya. "Bau apa ini? Seperti bau kentut?" Tegar menutupi hidungnya.Yola yang berada di atas sana berusaha menahan tawanya. Dia menutup mulut dengan tangannya sendiri. Namun, suara cekikikan itu tertangkap oleh telinga Tegar. Lantas pemuda itu mendongakkan kepalanya ke atas pohon dan Tegar mendapatkan sosok seorang yang dia cari berada di atas sana."Ah, di sini kau rupanya." Tegar berdiri dan mencari sebuah tongkat. Di arahkan tongkat itu pada Yola yang tengah terbaring disalah satu batang pohon yang cukup besar. "Hei, tukang kentut, bangun."Yola masih berpura-pura tidur dan tidak menghiraukannya, tapi lama-lama. "Aku bukan tukang kentut, ya.""Lalu siapa yang kentut? Bau telur pula," ledek Tegar.Yola melempar sepatunya ke arah Tegar, akan tetapi lemparan itu mengenai anjing yang sedang tidur. Anjing itu bangun dan langsung mengejar Tegar. Tegar pun mengambil langkah seribu.Yola mulai kalang kabut. Pikirannya mulai tertuju pada Juna. Yola berpikir jika dia akan berbuat jahat pada Juna putranya. Yola masih merahasiakan hal itu pada Jin, akan tetapi suaminya itu selangkah lebih maju dari Yola.Ternyata Jin sudah menyebarkan orang-orang yang dia percaya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia pun menugaskan dua pengawal handalnya untuk mengawasi sang putra.Lantas apakah usaha Jin akan berhasil? Apakah keputusan yang diambil Yola tepat ataukah akan memperkeruh keadaan?Yola menitipkan Jelly pada Bibi Im. Tadinya Bibi Im melarang Yola untuk pergi keluar sendirian. Wanita tua itu menyarankan pada Yola untuk menunggu si empunya rumah pulang, tapi Yola beralasan waktu sudah mepet. Tanpa basi-basi Yola langsung bergegas pergi dari rumah besar itu. Tidak seperti biasanya Jelly hari itu menangis dengan keras sampai Bibi Im kewalahan menenangkan bocah kecil itu. Yola yang mendengarkan putri kecilnya menangis keras dengan terpaksa mengacuhkannya. Perempu
Yola terpaksa harus keluar dari dalam mobil untuk menghindari hal yang mungkin akan terjadi. Namun, sebelum Yola turun dari mobil. Terlebih dulu Yola memberitahu pada Juna untuk menjaga Jelly. Yola pun melihat ekspresi putranya yang terlihat takut, begitu juga dengan Jelly. Yola memindahkan Jelly ke kursi belakang dekat dengan Juna. Yola turun dari mobil dan melangkah mendekati Jin. Yola menatap pria yang ada di depan Jin"Kau bisa menanyakan padanya," seru pria itu.Kedua tangan Yola memegang tangan kanan Jin sebagai kode. Beruntung Jin bisa menangkap kode itu."Tapi Yola----""Sudahlah. Tenang saja. Aku bisa mengatasinya," balas Yola menenangkan Jin yang sudah mulai khawatir.Yola melangkah maju mendekati pria itu dan tampak berbincang-bincang dengan serius. Sekilas Yola melihat Tegar di dalam mobil. Wanita itu sempat kaget, akan tetapi pada akhirnya Yola kembali di samping Jin."Kau bicara apa padanya?" Jin tampak penasaran. Yola menarik napas panjang dan mengembuskannya."Aku mem
Kelanggengan keluarga Adiwangsa semakin hari bertambah harmonis. Walaupun tidak lepas dari percekcokan di setiap harinya. Juna dan Jelly pun tumbuh menjadi pribadi yang aktif dan menyenangkan.Terlepas dari masa lalu Yola. Kini Yola begitu bahagia hidup dengan keluarga Adiwangsa. HerJinot pun sukses menjadi Ci Ai O muda berbakat. Begitu pula dengan Jimmy dan Juki. Mereka berdua lulus dengan predikat murid paling berprestasi."Ayah ...," teriak Juna. Namun, orang yang dipanggil tidak menyahut. Juna kembali berteriak memanggil pria itu."Ayahmu sudah berangkat kerja, sayang. Kenapa?" tanya Yola. Melangkah mendekati putranya dan berjongkok. Wanita itu mengusap lembut surai hitam Juna. Juna menggelengkan kepalanya, "Kalau begitu tidak jadi."Yola mengerutkan kedua alisnya saat mendengar respons putranya. Wanita itu tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Juna. Juna langsung berlalu dari hadapan Yola. Bocah itu duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Dia duduk sambil berpangku dagu. Y
Tiga tahun kemudian.Kini keluarga kecil Adiwangsa dan Yola Asmara sudah lengkap. Setelah mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang cerdas, saat ini mereka juga mempunyai seorang anak perempuan.Juna genap berusia delapan tahun dan dia memiliki adik perempuan bernama Jelly Adiwangsa yang baru berusia dua tahun.Hari itu, cuaca begitu sangat cerah. Cuaca yang cocok untuk jalan-jalan. Di sebuah istana pink, rumah yang dominasi dengan warna pink, tampak sangat ramai dengan tangisan Jelly.Balita kecil itu menangis karena tidak ingin dipisahkan dari Ayahnya. Setiap kali balita kecil itu lepas dari tubuh Jin, dia akan langsung menangis."Kenapa dia tidak ingin lepas dariku?" pekik Jin."Gendong saja terus," jawab Yola. Jin beralih menatap istrinya, lalu kembali lagi menatap putri kecilnya yang tak mau lepas dari tubuhnya."Tumben nih bocah manja sekali," celetuk Jin. "Di mana Juna?" tanyanya."Dia ada di kamarnya," jawab Yola singkat sambil jari-jemarinya melipat satu-persatu baju yang
Bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Singkat cerita, Juna Adiwangsa telah genap berusia lima tahun. Namun, pada kenyataan Juna masih suka tidur di tengah-tengah Ayah dan Ibunya, walaupun Jin sendiri sudah membuatkan kamar untuk Juna."Sayang, Juna sudah genap lima tahun. Bolehlah jika kita buat adik untuknya?" Jin mendekati Yola. Sang istri hanya memandang suaminya. "Kenapa diam?" tanyanya menatap sang istri. "Jika diam itu tandanya berarti jawabanmu adalah iya," lanjutnya menarik pinggang Yola hingga menabrak tubuhnya."Iya, nanti kita cari waktu yang tepat untuk berduaan," jawabnya menatap Jin."Tidak ada kata penolakan lagi loh," ancam Jin."Iya bawel." Jin makin mengeratkan pelukannya."Hei, ini masih siang," protes Yola."Memangnya kenapa jika masih siang?" tanyanya mendekatkan kepalanya dan menempelkan hidungnya pada hidung Yola."Rumah kosong, hanya ada kita berdua," ucap Jin lirih. "Sudah lama kita tidak berduaan seperti ini."Mendadak Jin menempelkan bibirnya dan b
Kang wor wet hensem memberi kode pada sang istri, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan."Mbeb, ini bagaimana?""Apanya yang bagaimana?" "Ini ...." Jin menunjuk pusaka keramatnya."Aku akan ke bawah. Sudah waktunya Juna kecil makan dan kau cepat pakai pakaianmu." Yola sambil menunjuk Jin.Muka Jin terlihat manyun, duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Yola mendekatinya dan mendudukkan Juna dipangkuannya. Balita tiga tahun itu langsung tersenyum menatap Ayahnya."Kenapa kau berikan dia padaku?" tanyanya."Dari pada kau hanya manyun seperti itu. Pergilah ajak main Juna.""Kau sendiri mau ngapain?" tanya Jin menatap sang istri."Aku mau olahraga," jawab sang istri singkat."Buat apa kau berolahraga?" tanyanya lagi."Aku ingin berat badanku kembali seperti semula." Yola melangkah keluar rumah, tiap hari memang dia menyempatkan diri untuk berolahraga selama lima belas menit. Berat badan Yola sekarang 50 kg."Kau ingin kurus berapa kilo lagi? Tubuhmu itu sudah langsing. Nanti pu
Tak terasa sudah genap sebulan sejak kelahiran Juna Adiwangsa, bayi laki-laki mungil itu membawa warna baru di istana pink. Tangisannya selalu mewarnai hari-hari keluarga Adiwangsa. Juna kecil selalu mengajak bergadang di malam hari dan akan tertidur pulas di siang hari. Setiap malam Juna kecil selalu membuat penghuni istana pink tidak nyenyak tidurnya."Kenapa makin malam, matanya makin melebar," gerutu Jin melihat mata Juna kecil, bayi mungil itu seperti mengajak sang Ayah untuk bermain."Tidurlah jika kau sudah mengantuk. Besok kau harus berangkat kerja." Yola menyuruh suaminya untuk tidur.Beranjak turun dari ranjangnya dan seketika dia berjengkit kaget karena kakinya seperti menginjak sesuatu. Dia melongokkan kepalanya melihat ke bawah ranjang."Kenapa bocah-bocah tengil ini masih tidur di bawah?" tanya Yola menatap Jin dan tangannya menunjuk Jimmy serta Juki yang tidur di lantai beralaskan karpet empuk."Mereka bilang ingin menjaga Juna kecil," sahut Jin membaringkan tubuhnya di
Mobil sampai di depan rumah sakit. Keributan masih terjadi antara ketiganya, tapi hal itu tidak berlangsung lama karena teriakan kesakitan dari Yola membuat Jin langung mengambil tindakan. Jin mengendong Yola dengan cepat saat sudah sampai. Dia menyuruh Jimmy memarkirkan mobil. Sementara Juki menemani mereka berdua ke resepsionis rumah sakit."Sudah bukaan berapa, Tuan?" tanya seoarang perawat yang menyuruh Jin membaringkan sang istri ke ranjang pasien darurat IGD."Aku tidak tahu," jawab Jin menggelengkan kepala meletakkan istrinya ke ranjang lalu mengelus kening istrinya. "Yang kuat sayang," ucapnya tak tega melihat istrinya yang biasanya bar-bar kini terus-terusan merapatkan gigi menahan sakit.Yola memejamkan mata terus menarik napas dan mengembuskan secara perlahan seperti sebelumnya. Menghitung menit demi menit dalam hati merasakan brankar dorong pasien semakin cepat didorong seiring dengan ringisannya yang berlanjut.Yola masih me
Senja pun tiba, bulatan matahari yang menguning telur dan semburat jingga saat senja seperti menghipnotis siapapun yang memandangnya. Hamparan langit yang menguning keemasan mempunyai daya tarik tersendiri.Tampak sangat riuh di ruang makan yang hanya diisi oleh empat orang saja. Yah, empat orang saja tapi suasana seperti berada di pasar bebek. "Kak, aku mau steaknya," teriak Jimmy."Kak, mana susu hangat punya Kookie?" teriak si bontot. Yola menggelengkan kepala dan tertawa kecil melihat suaminya pontang-panting. Kali ini Jin yang dibuat sibuk oleh mereka. Jin berhenti sejenak setelah menaruh sepiring steak untuk Jimmy dan segelas susu untuk Juki."Ternyata capek juga mengurus rumah. Apa begini rasanya jadi ibu rumah tangga?" tanyanya menoleh menatap Yola.Yola mengangkat bahu dan tersenyum."Kau ingin makan apa lagi atau tidak?" tanya Jin ketika melihat piring di depan istrinya sudah kosong.Yola menggeleng,