Share

Bab Lima

Ibu Pov

****************

Gerak tanganku terhenti untuk menanti jawaban Kalila. Akan tetapi, beberapa saat menunggu, Kalila tak kunjung bersuara. Dia malah sibuk mengecupi pipi merah bayinya.

Entah ia tak mendengar pertanyaanku, atau cuma berpura-pura tak tak mendengar. Yang terlihat hanya sikap Kalila yang seperti begitu menyayangi putrinya. Sehingga tak memedulikan yang lain. Jelas sekali dari senyuman yang tercetak di bibirnya saat memandangi wajah bayinya.

"Lila, ayo bersiap pulang," tegurku pada Kalila yang terlihat tidak memerhatikan apapun di sekitarnya. Fokusnya hanya tertuju pada bayi merah yang lahir menjelang malam kemarin.

Kalila tersentak mendengar suaraku, namun segera menjawab, "Iya, Bu." Kemudian beringsut dari tempat tidur khas rumah sakit tersebut.

"Sini bayinya biar Ibu yang gendong. Kamu duduk di kursi roda. Jangan jalan takut jahitannya lepas," ujarku, dengan kedua tangan meraih bayi dari gendongan Kalila.

"Arla, Bu. Namanya Arla." Kalila menyebutkan nama anaknya seiring dengan tarikan di sudut bibirnya.

"Kenapa namanya Arla?"

"Karena Lila suka nama itu."

"Ya sudah, cepat bersiap. Setelah Ayah kembali, kita pulang."

Aku duduk di tepi tempat tidur. Menggendong bayi Arla sambil memberinya susu dalam botol. Sesekali kulirik Kalila yang tengah mengutak-atik  ponselnya. Sepertinya sedang berbalas pesan. Tapi, tidak kuketahui dengan siapa. Yang pasti senyuman tak kunjung surut menghiasi wajah pasinya.

"Sudah beres semua, kan? Ayo pulang!" Suara suamiku menginterupsi keheningan kamar rawat ini. Sekaligus memudarkan seri yang baru saja terbit di raut wajah Kalila.

Gurat itu kini berubah ekspresi menjadi sebuah ketakutan dan kecemasan. Ditambah lagi intonasi bicara ayahnya yang tegas namun datar, membuat suasana serasa mencekam.

Di belakang suamiku, seorang lelaki setengah baya membuntuti langkahnya. Ia turut membantu membawa barang-barang Kalila dan bayinya. Kemudian seorang perawat yang kemarin menemani Kalila di ruang bersalin pun, muncul dan segera mengambil tugas mendorong kursi roda putriku.

Entah perasaanku saja, atau memang benar adanya. Perawat itu tampak begitu akrab dengan Kalila. Sepenjang menyusuri lorong menuju pintu keluar, suster muda itu begitu antusias memberi banyak petuah pada Kalila. Begitu pun sebaliknya, Kalila amat semangat menerima segala nasihat perawat tersebut.

"Apa kalian saling kenal?" tanyaku, ketika langkah kami hampir mendekati taksi yang sudah dipesan suamiku.

Semua terdiam. Baik sang perawat maupun Kalila tak ada yang berinisiatif menjawab. Sontak ayunan kakiku pun terhenti. Rasa penasaran semakin menggugah hatiku untuk terus mencecar mereka dengan banyak lagi pertanyaan lain. Andai apa yang kusangkakan itu benar adanya.

"Ibu lupa, ya? Ini suster yang kemarin nemenin Lila." Kalila segera menjawab, sesaat setelah kulayangkan tatapan menyelidik pada keduanya.

"Tentu saja Ibu ingat. Tapi, bukan itu yang Ibu maksud. Kenapa suster ini kerjaannya cuma ngurusin kamu dari kemarin. Bukannya tugasnya juga mengurus pasien lain?" cecarku, berharap mendapat jawaban yang masuk akal.

"Bu, dari awal datang ke rumah sakit, Suster Laras yang bantuin Lila. Sebenarnya kemarin sore jam kerja suster Laras udah selesai, tapi Lila yang minta suster Laras nemenin Lila. Dan suster Laras gak keberatan. Lagian Lila bayar, kok, jasanya. Iya, kan, Sus?" Suster bernama Laras itu mengangguk. 

Cukup masuk akal penjelasan Kalila. Akan tetapi, tetap saja aku tidak puas mendengar jawabannya. Namun begitu, kusudahi sesi tanya jawab dengan dua perempuan yang kuperkirakan usianya sepantaran itu.

Badanku juga sangat lelah ingin segera beristirahat. Semalaman aku tidak tidur, tepatnya tak bisa tidur. Selain karena terlalu banyak yang kupikirkan, aku juga sibuk merawat bayi Arla yang hampir setiap jam terbangun dan harus menyusu.

**********

Keheningan kembali menyergap di antara kami yang tengah dalam perjalanan menuju Apartemen Kalila. Ayah Kalila masih enggan mengajak putrinya untuk bicara. Juga Kalila yang jelas sekali sangat takut berhadapan dengan suamiku. Suasana canggung pun tak dapat kami hindari.

Sementara itu, otakku justru dipaksa untuk berpikir keras. Aku sedang mencoba mencari arti dari setiap sikap yang ditunjukkan Kalila. Karena, dari sudut pandangku, tak nampak kesedihan maupun penyesalan di matanya. 

Apakah semua yang menimpanya sama sekali tak membebaninya? Dia hanya akan terlihat murung ketika berhadapan dengan ayahnya. Selebihnya Kalila tampak tenang bahkan acap kali tersenyum ketika berbalas pesan dengan seseorang di ponselnya.

Juga saat memandangi putri kecilnya, Kalila justru terlihat bahagia seperti ibu-ibu yang lain. Namun, sekali lagi aku harus bisa menahan diri. Setidaknya sampai kami tiba di tempat tinggalnya. Agar pembicaraan kami mendapat ruang privasi.

"Bu, sini gantian Lila yang gendong Baby Arla." Lila meminta bayinya, setelah kami sampai di parkiran gedung tinggi di mana tempat tinggalnya berada.

Kuserahkan bayi itu pada Ibunya, kemudian kuminta sopir taksi tadi agar membantu membawa barang-barang. Dengan penawaran upah sesuai kesepakatan tentunya.

Ketika kami semua tiba di depan pintu unit Apartemen sewaan Kalila, kami dikejutkan oleh seorang perempuan yang kira-kira usianya lebih tua dariku. Ia menyambut kedatangan kami dengan ramah.

"Selamat datang, Bu. Selamat atas kelahirannya bayinya," ucap wanita itu, seraya mempersilahkan kami untuk masuk.

"Bi, ini Ibu dan Ayah aku." Kalila memperkenalkan kami pada perempuan itu. Kemudian balik memberitahu kami bahwa wanita itu asisten rumah tangganya, bernama Resti.

Aku dan suamiku hanya bisa saling pandang dalam kebingungan. Bagaimana bisa Kalila mempekerjakan seorang ART? Apakah gajinya memang mencukupi untuk membayar upah wanita itu?

Kutelusuri pula setiap sudut ruangan di mana kami berada saat ini. Mewah. Ya benar, semua yang ada di dalamnya adalah barang-barang mewah. Ya Allah, dari mana putriku mendapat uang untuk membeli semua itu. Sedangkan setiap bulan, ia juga tak pernah absen mengirim uang untuk biaya sekolah Kirana.

Meski kami pun berasal dari keluarga yang berkecukupan, tetapi untuk berang mewah seperti yang dimiliki Kalila, itu sesuatu yang masih jauh dari jangkauan kami. Sekalipun gaji Kalila terbilang besar, rasanya tetap mustahil bisa seperti ini.

Di tengah banyaknya pertanyaan yang belum terjawab ini, tiba-tiba Bi Resti menghampiri kami.

"Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak ...."

____________________________

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status