Suara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras.
"Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal. Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya. Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya. "Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tangan dan segera menutup pintu. Namun belum sempat tertutup sempurna, Adnan mencegahnya. Dia menahan pintu dengan kakinya. "Mas Adnan ngapain?!" ucap Fasya kesal dari balik pintu. "Cepet turun, ada kakek sama nenek kamu." "Hah?" Bukannya tenang, Fasya malah semakin panik. "Bentar, aku mandi dulu." "Nggak usah, rapiin aja penampilan kamu. Saya tunggu satu menit." Fasya kembali mengacak rambutnya frustrasi dan berlari ke arah kamar mandi. Dengan cepat dia mencuci muka dan menggosok giginya. Tak lupa dia mengganti daster pendek dan tipisnya dengan pakaian rumahan yang lebih santai. Setelah selesai, Fasya langsung keluar kamar. Di sana masih ada Adnan yang bersandar di tembok. Pria itu masih menunggunya. "Kenapa Mas Adnan masih di sini?" Adnan menatap penampilan Fasya dari atas ke bawah dan begitu seterusanya. Dengan tangan yang terlipat di dada, pandangan Adnan semakin membuat Fasya kesal. Gadis itu merasa diremehkan oleh pria itu. "Kamu telat 15 detik." "Ah elah, kayak guru BK aja si?" Mengabaikan pertanyaan Fasya, Adnan dengan cepat menarik tangan gadis itu. "Ngapain gandengan?" Fasya berusaha melepaskan diri. "Kamu lupa? Kita harus sandiwara di depan kakek dan nenek." Fasya berhenti memberontak. Bahunya merosot saat teringat hal yang menurutnya sangat menyedihkan itu. Dia seperti berada di mimpi buruk dan ingin segera dibangunkan. "Tapi kan bisa nggak perlu gandengan, emang mau nyebrang?" Tanpa menjawab, Adnan segera melepas tangan Fasya dan berjalan terlebih dahulu menuruni tangga. Di belakangnya, Fasya mencibir dan berjalan mengikuti. Perlahan senyum tipis menghiasi wajahnya. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan kakek dan neneknya. "Kakek!" Fasya berlari kecil mendahului Adnan saat masuk ke ruang makan. Tanpa menunggu, dia langsung memeluk kakeknya erat. "Cucu, Kakek. Apa kabar?" tanya Kakek Farhat dengan tersenyum. "Baik, Kek." Fasya melepas pelukannya dan beralih pada neneknya. "Nenek, aku kangen!" "Nenek juga kangen, Nduk. Sepi di rumah nggak ada kamu. Nenek kangen teriakan kamu kalau pagi-pagi rebutan kamar mandi sama Kakek." Fasya tertawa mendengar itu. Dia kembali memeluk Kakek dan Neneknya dengan erat. "Kek.. Nek.. apa kabar?" Adnan muncul dengan senyuman. Meskipun tipis, tetapi Fasya jarang melihat senyum pria itu. "Baik, Nak Adnan." Kakek tersenyum sambil menepuk bahu Adnan, "Kakek seneng liat kalian. Sepertinya baik-baik aja." "Kita baik-baik aja." Adan melirik Fasya sebentar dan tersenyum tipis. Dalam hati Fasya kembali mengutuk. Dasar pria bermuka dua. "Kenapa nggak kasih kabar kalau mau dateng, Kek? Kan bisa dijemput." "Spontan aja, Nan. Kakek kangen beliin Fasya bubur ayam," ucap pria tua itu dengan terkekeh. Nenek mengangguk dan mulai membuka makanan yang ia bawa, "Ini, tadi beli bubur langganan Fasya. Yang ini buat Fasya, tanpa kacang." "Makasih, Nek." Fasya mengusap tangannya senang. "Ayo, dimakan. Kayanya Adnan udah mau berangkat kerja. Pagi banget, Nak?" "Saya mau ke bandara, Kek. Ada pekerjaan di Kalimantan," jawab Adnan. Fasya menghentikan kunyahannya mendengar itu. Pantas saja pria itu sudah terlihat siap di pagi buta seperti ini. "Owalah, ya udah cepet di makan nanti telat ke bandara." Nenek dengan segera membantu Adnan membuka makanannya. "Kamu ikut ke bandara, Nduk?" tanya Kakek Farhat pada cucunya. Fasya mengedipkan matanya berulang kali sebelum akhirnya melirik Adnan untuk meminta pertolongan. Namun sepertinya pria itu tampak tak acuh dan fokus pada sarapannya. "Aku nggak ikut, Kek. Kan harus berangkat magang." "Oh iya ya. Kakek lupa kalau kamu udah mulai magang," ucap Kakek mulai mengeluarkan dompetnya. Pria tua itu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk Fasya, "Uang mingguan kamu." Lanjutnya. Mata Fasya berbinar melihat itu. Saat akan mengambil uang itu, dengan cepat Adnan mencegahnya. Fasya menatap Adnan kesal. "Kakek simpan aja uangnya," ucap Adnan tegas. Semua orang menatap Adnan bingung. Begitu juga Fasya yang masih menatap Adnan sengit. "Kakek nggak perlu khawatir. Fasya sudah jadi tanggung jawab saya, masalah uang sakunya itu jadi urusan saya." Fasya semakin mengerutkan dahinya mendengar itu. Mereka tidak pernah membicarakan masalah uang sebelumnya. Fasya pikir semuanya masih sama seperti dulu. Lalu apa tadi? Masalah uang menjadi tanggung jawab Adnan? Sekarang Fasya mulai takut jika Adnan mengingkari ucapannya sendiri. Bahkan pria itu belum pernah memberikan selembar uang pun padanya semenjak menikah. Kakek tersenyum melihat apa yang Adnan lakukan, "Kakek seneng dengernya. Meskipun pernikahan kalian berawal dari perjodohan, tapi Kakek harap kalian menjalankan pernikahan ini dengan semestinya. Kakek mau kalian bahagia." "Kami juga masih belajar, Kek." Adnan tersenyum tipis. Fasya memutar matanya jengah. Adnan sangat pintar berbicara. Tak heran kakeknya begitu menyukai Adnan yang pintar menarik hati banyak orang. Pada kenyataannya semua itu hanyalah topeng. Sarapan berlangsung cukup hangat, meskipun hanya Kakek dan Fasya yang banyak berbicara untuk melepas rindu. Selebihnya semua berlangsung lancar. Tidak ada pertanyaan aneh mengenai hubungan Adnan dan Fasya. Sedikit lega karena mereka tidak perlu banyak berbohong. "Kalau gitu Kakek sama Nenek pulang dulu. Kalian sehat-sehat dan yang rukun ya," ucap Kakek saat akan pulang. "Kamu hati-hati ya kerjanya, Nak. Jangan lupa makan." Ingat Nenek pada Adnan sebelum masuk ke dalam mobil. Fasya melambaikan tangannya saat mobil mulai menjauh. Senyum lebarnya perlahan turun saat mobil sudah hilang dari pandangannya. Suasana kembali seperti semula, mencekam dan tidak menyenangkan. "Mas Adnan kenapa larang aku ambil uang saku dari Kakek?" tanya Fasya kesal. "Kamu nggak malu masih terima uang dari Kakek?" "Ya terus gimana? Aku kan belum kerja." Fasya semakin kesal dengan jawaban Adnan. Tanpa menjawab, Adnan mulai mengeluarkan ponselnya. "Berapa no. rekening kamu?" Mata Fasya berbinar mendengar itu. Dengan cepat dia menyebutkan nomor rekeningnya. "Sudah saya transfer uang jajan kamu. Jangan minta Kakek lagi, jangan buat saya malu." Setelah mengatakan itu, Adnan langsung berlalu masuk ke dalam mobil yang sudsh siap sejak tadi. Dia akan berangkat ke bandara sekarang sebelum jalanan padat dan membuatnya terlambat. "Makasih ya, Mas!" teriak Fasya senang setelah melihat saldo rekening dari layar ponselnya. Di dalam mobil, Adnan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Semua wanita sama saja, sangat menyukai uang. Dia masih tidak habis pikir bagaimana bisa kakeknya menjodohkannya dengan seorang bocah ingusan seperti Fasya? *** TBCDi tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink
Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama
Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann
Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse
Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu