Share

7. Uang Saku

Suara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras.

"Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal.

Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya.

Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya.

"Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tangan dan segera menutup pintu. Namun belum sempat tertutup sempurna, Adnan mencegahnya. Dia menahan pintu dengan kakinya.

"Mas Adnan ngapain?!" ucap Fasya kesal dari balik pintu.

"Cepet turun, ada kakek sama nenek kamu."

"Hah?" Bukannya tenang, Fasya malah semakin panik. "Bentar, aku mandi dulu."

"Nggak usah, rapiin aja penampilan kamu. Saya tunggu satu menit."

Fasya kembali mengacak rambutnya frustrasi dan berlari ke arah kamar mandi. Dengan cepat dia mencuci muka dan menggosok giginya. Tak lupa dia mengganti daster pendek dan tipisnya dengan pakaian rumahan yang lebih santai. Setelah selesai, Fasya langsung keluar kamar. Di sana masih ada Adnan yang bersandar di tembok. Pria itu masih menunggunya.

"Kenapa Mas Adnan masih di sini?"

Adnan menatap penampilan Fasya dari atas ke bawah dan begitu seterusanya. Dengan tangan yang terlipat di dada, pandangan Adnan semakin membuat Fasya kesal. Gadis itu merasa diremehkan oleh pria itu.

"Kamu telat 15 detik."

"Ah elah, kayak guru BK aja si?"

Mengabaikan pertanyaan Fasya, Adnan dengan cepat menarik tangan gadis itu.

"Ngapain gandengan?" Fasya berusaha melepaskan diri.

"Kamu lupa? Kita harus sandiwara di depan kakek dan nenek."

Fasya berhenti memberontak. Bahunya merosot saat teringat hal yang menurutnya sangat menyedihkan itu. Dia seperti berada di mimpi buruk dan ingin segera dibangunkan.

"Tapi kan bisa nggak perlu gandengan, emang mau nyebrang?"

Tanpa menjawab, Adnan segera melepas tangan Fasya dan berjalan terlebih dahulu menuruni tangga. Di belakangnya, Fasya mencibir dan berjalan mengikuti. Perlahan senyum tipis menghiasi wajahnya. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan kakek dan neneknya.

"Kakek!" Fasya berlari kecil mendahului Adnan saat masuk ke ruang makan. Tanpa menunggu, dia langsung memeluk kakeknya erat.

"Cucu, Kakek. Apa kabar?" tanya Kakek Farhat dengan tersenyum.

"Baik, Kek." Fasya melepas pelukannya dan beralih pada neneknya. "Nenek, aku kangen!"

"Nenek juga kangen, Nduk. Sepi di rumah nggak ada kamu. Nenek kangen teriakan kamu kalau pagi-pagi rebutan kamar mandi sama Kakek."

Fasya tertawa mendengar itu. Dia kembali memeluk Kakek dan Neneknya dengan erat.

"Kek.. Nek.. apa kabar?" Adnan muncul dengan senyuman. Meskipun tipis, tetapi Fasya jarang melihat senyum pria itu.

"Baik, Nak Adnan." Kakek tersenyum sambil menepuk bahu Adnan, "Kakek seneng liat kalian. Sepertinya baik-baik aja."

"Kita baik-baik aja." Adan melirik Fasya sebentar dan tersenyum tipis.

Dalam hati Fasya kembali mengutuk. Dasar pria bermuka dua.

"Kenapa nggak kasih kabar kalau mau dateng, Kek? Kan bisa dijemput."

"Spontan aja, Nan. Kakek kangen beliin Fasya bubur ayam," ucap pria tua itu dengan terkekeh.

Nenek mengangguk dan mulai membuka makanan yang ia bawa, "Ini, tadi beli bubur langganan Fasya. Yang ini buat Fasya, tanpa kacang."

"Makasih, Nek." Fasya mengusap tangannya senang.

"Ayo, dimakan. Kayanya Adnan udah mau berangkat kerja. Pagi banget, Nak?"

"Saya mau ke bandara, Kek. Ada pekerjaan di Kalimantan," jawab Adnan.

Fasya menghentikan kunyahannya mendengar itu. Pantas saja pria itu sudah terlihat siap di pagi buta seperti ini.

"Owalah, ya udah cepet di makan nanti telat ke bandara." Nenek dengan segera membantu Adnan membuka makanannya.

"Kamu ikut ke bandara, Nduk?" tanya Kakek Farhat pada cucunya.

Fasya mengedipkan matanya berulang kali sebelum akhirnya melirik Adnan untuk meminta pertolongan. Namun sepertinya pria itu tampak tak acuh dan fokus pada sarapannya.

"Aku nggak ikut, Kek. Kan harus berangkat magang."

"Oh iya ya. Kakek lupa kalau kamu udah mulai magang," ucap Kakek mulai mengeluarkan dompetnya. Pria tua itu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk Fasya, "Uang mingguan kamu." Lanjutnya.

Mata Fasya berbinar melihat itu. Saat akan mengambil uang itu, dengan cepat Adnan mencegahnya. Fasya menatap Adnan kesal.

"Kakek simpan aja uangnya," ucap Adnan tegas.

Semua orang menatap Adnan bingung. Begitu juga Fasya yang masih menatap Adnan sengit.

"Kakek nggak perlu khawatir. Fasya sudah jadi tanggung jawab saya, masalah uang sakunya itu jadi urusan saya."

Fasya semakin mengerutkan dahinya mendengar itu. Mereka tidak pernah membicarakan masalah uang sebelumnya. Fasya pikir semuanya masih sama seperti dulu. Lalu apa tadi? Masalah uang menjadi tanggung jawab Adnan? Sekarang Fasya mulai takut jika Adnan mengingkari ucapannya sendiri. Bahkan pria itu belum pernah memberikan selembar uang pun padanya semenjak menikah.

Kakek tersenyum melihat apa yang Adnan lakukan, "Kakek seneng dengernya. Meskipun pernikahan kalian berawal dari perjodohan, tapi Kakek harap kalian menjalankan pernikahan ini dengan semestinya. Kakek mau kalian bahagia."

"Kami juga masih belajar, Kek." Adnan tersenyum tipis.

Fasya memutar matanya jengah. Adnan sangat pintar berbicara. Tak heran kakeknya begitu menyukai Adnan yang pintar menarik hati banyak orang. Pada kenyataannya semua itu hanyalah topeng.

Sarapan berlangsung cukup hangat, meskipun hanya Kakek dan Fasya yang banyak berbicara untuk melepas rindu. Selebihnya semua berlangsung lancar. Tidak ada pertanyaan aneh mengenai hubungan Adnan dan Fasya. Sedikit lega karena mereka tidak perlu banyak berbohong.

"Kalau gitu Kakek sama Nenek pulang dulu. Kalian sehat-sehat dan yang rukun ya," ucap Kakek saat akan pulang.

"Kamu hati-hati ya kerjanya, Nak. Jangan lupa makan." Ingat Nenek pada Adnan sebelum masuk ke dalam mobil.

Fasya melambaikan tangannya saat mobil mulai menjauh. Senyum lebarnya perlahan turun saat mobil sudah hilang dari pandangannya. Suasana kembali seperti semula, mencekam dan tidak menyenangkan.

"Mas Adnan kenapa larang aku ambil uang saku dari Kakek?" tanya Fasya kesal.

"Kamu nggak malu masih terima uang dari Kakek?"

"Ya terus gimana? Aku kan belum kerja." Fasya semakin kesal dengan jawaban Adnan.

Tanpa menjawab, Adnan mulai mengeluarkan ponselnya.

"Berapa no. rekening kamu?"

Mata Fasya berbinar mendengar itu. Dengan cepat dia menyebutkan nomor rekeningnya.

"Sudah saya transfer uang jajan kamu. Jangan minta Kakek lagi, jangan buat saya malu."

Setelah mengatakan itu, Adnan langsung berlalu masuk ke dalam mobil yang sudsh siap sejak tadi. Dia akan berangkat ke bandara sekarang sebelum jalanan padat dan membuatnya terlambat.

"Makasih ya, Mas!" teriak Fasya senang setelah melihat saldo rekening dari layar ponselnya.

Di dalam mobil, Adnan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Semua wanita sama saja, sangat menyukai uang. Dia masih tidak habis pikir bagaimana bisa kakeknya menjodohkannya dengan seorang bocah ingusan seperti Fasya?

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status