Beranda / Romansa / Mendadak Sah / 6. Minuman Hangat

Share

6. Minuman Hangat

Penulis: Viallynn
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-02 21:19:48

Hari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus.

Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi.

"Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu.

"Nanti aja, Mbak."

"Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh.

"Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti."

Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini.

"Udah jam 7, biasanya Mas Adnan pulang jam berapa, Bik?"

"Biasanya pulang jam 5-an kok, Mbak. Mungkin lagi lembur."

Fasya mengangguk dan mencibir dalam hati. Ternyata pria itu benar-benar menghindarinya. Tidak masalah, Fasya lebih nyaman jika tidak melihat wajah pria itu. Jujur saja tidak ada yang berubah sejak pernikahan terjadi. Yang berbeda hanyalah baik Fasya dan Adnan harus hidup bersama. Untuk masalah rumah tangga, mereka sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain.

"Kenapa, Mbak? Mbak Fasya kangen Bapak ya?" Tiba-tiba Bibi Sari menyenggol bahu Fasya, bermaksud menggodanya.

"Kangen? Sama batu ginjal? Najis!" batin Fasya kembali merutuk.

"Mungkin karena kemarin sibuk sama Kakek Faris, Mbak. Makanya kerjaan numpuk terus lembur deh."

Fasya hanya bisa tersenyum paksa. Tidak mungkin dia menolak mentah-mentah godaan Bibi Sari. Yang wanita itu tahu, dia dan Adnan adalah sepasang suami-istri.

"Kenapa nggak ditelpon aja, Mbak?"

Fasya dengan cepat menggeleng. Tentu dia tidak akan mau menghubungi Adnan. Apalagi dengan alasan konyol seperti itu. Lagipula niat Fasya bertanya adalah agar dia bisa mengira-ngira kapan waktu yang tepat untuk tidak bertatapan langsung dengan Adnan.

Suara langkah sepatu yang mendekat membuat Fasya dan Bibi Sari menoleh. Tak lama Adnan muncul sambil melepas dasi yang melingkar di lehernya. Raut wajahnya terlihat begitu lelah, tetapi bagi Fasya wajah itu sama dinginnya seperti biasa.

"Panjang umur, Pak." Bibi Sari tiba-tiba berbicara, "Baru aja diomongin tadi."

Adnan berhenti melangkah dan mengangkat sebelah alisnya, bermaksud untuk bertanya.

"Tadi Mbak Fasya kangen katanya."

Mata Fasya membulat mendengar itu. Dia mengumpat dalam hati karena kesal. Sejak kapan dia berkata seperti itu? Sepertinya dia harus berhati-hati dengan Bibi Sari karena wanita itu sama seperti ibu-ibu pada umumnya.

Fasya hanya bisa tersenyum paksa saat Adnan menatapnya bingung. Dia menggeleng dengan pelan, berusaha membuat Adnan mengerti jika semua ucapan Bibi Sari adalah kebohongan. Dia tidak mau membuat seorang Adnan merasa besar kepala.

"Saya ke atas dulu," ucap Adnan pada akhirnya.

"Nggak mau makan dulu, Pak? Saya siapin ya?" Bibi Sari mulai berdiri.

"Nggak usah, saya sudah makan."

Setelah itu, Adnan benar-benar berlalu menaiki tangga. Fasya kembali berbalik dan lagi-lagi menggerutu. Entah kenapa melihat Adnan selalu membuatnya kesal. Bahkan makanan yang terasa lezat tadi mendadak tersasa hambar.

"Bibi ke dapur dulu ya, Mbak. Mau bikin susu jahe buat Bapak."

"Iya, Bik." Fasya yang masih kesal dengan celetukan Bibi Sari hanya bisa menjawab seadanya.

Setelah bersusah payah menelan makanannya, akhirnya Fasya berhasil membuat piringnya bersih. Dia berjalan ke dapur dengan membawa piring kotornya. Di sana, masih ada Bibi Sari yang berkutat dengan minuman buatannya.

"Mbak Fasya mau susu jahe juga?"

"Nggak usah, Bi. Saya udah kenyang, terima kasih," ucap Fasya sambil mencuci piring bekas makannya.

"Pak Adnan itu suka minum susu jahe, Mbak. Setiap mau tidur pasti minum."

Fasya tersenyum miring, lebih tepatnya mengejek. Membelakangi Bibi Sari membuatnya lebih bebas untuk berekspresi. Dia sedang menertawakan Adnan yang masih hobi mengkonsumsi susu sebelum tidur seperti bayi.

Sebenarnya tidak ada yang salah, Fasya hanya ingin mengejek Adnan.

"Nanti kapan-kapan Bibi ajarin bikin susu jahe kesukaan Pak Adnan."

Fasya memutar matanya jengah. Dalam hati dia berteriak tidak mau. Lagi pula untuk apa? Hubungannya dengan Adnan tidak sedekat itu.

"Iya, Bik. Makasih ya." Hanya itu yang bisa Fasya katakan.

"Nah, udah jadi. Mbak Fasya mau ke atas kan? Ini sekalian bawain ya buat Pak Adnan."

Fasya dengan cepat berbalik saat mendengar ucapan Bibi Sari. Dia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah yang bodoh.

"Apa?"

"Ini." Bibi Sari memberikan satu gelas susu jahe ke tangan Fasya. Mau tidak mau Fasya menerimanya dengan bingung.

"Nanti sekalian pijitin Pak Adnan gitu, pasti capek." Bibi Sari tertawa.

Wajah Fasya semakin terlihat bodoh mendengar itu. Dia mengedipkan matanya berulang kali berusaha untuk menyadarkan diri.

"Biar Adnan junior bisa cepet jadi," lanjut Bibi Sari dengan tawanya yang semakin kencang.

Fasya hanya bisa tertawa palsu dan mulai berjalan ke luar dapur. Dia akan semakin terlihat bodoh jika terus mendengar celetukan Bibi Sari yang mengejutkannya. Fasya akui jika Bibi Sari adalah wanita yang memiliki selera humor yang bagus.

Sekarang yang Fasya pikirkan hanya satu. Bagaimana caranya ia memberikan susu jahe itu pada Adnan?

***

Fasya berdiri di depan pintu kamar Adnan dengan kaku. Dia terlihat ragu untuk mengetuk pintu. Entah kenapa dia baru sadar dengan kebodohannya. Kenapa dia harus menuruti permintaan Bibi Sari untuk mengantar minuman ini?

Peduli setan.

Dengan segera Fasya mengetuk pintu kamar. Dia tidak mau terlalu lama berdiri di depan pintu seperti orang bodoh. Jika Adnan memang bertanya, dia akan menjawab apa-adanya. Ini bukan keinginannya untuk mengantar minuman ini.

Tak lama pintu terbuka dan memperlihatkan Adnan yang sudah terlihat segar dengan rambut basahnya. Sepertinya pria itu baru selesai membersihkan diri.

Saat melihat keberadaan Fasya, bukannya bertanya, Adnan malah menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Ini," ucap Fasya memberikan minumannya. Bahkan dia tidak menatap Adnan sama sekali. Langit-langit rumah terlihat lebih menarik.

"Apa?"

"Susu jahe."

Alis Adnan semakin terangkat mendengar itu. Dia masih diam tidak menerima minuman pemberian Fasya. Hal itu membuat Fasya meliriknya sebentar.

"Ambil cepet. Tangan aku capek."

Adnan masih menatap Fasya datar. Namun Fasya tahu jika banyak pertanyaan di kepala pria itu saat ini. Saat Adnan akan membuka mulut, dengan cepat Fasya berbicara.

"Jangan geer." Fasya memotong ucapan Adnan cepat. "Bukan aku yang bikin, tapi Bibi."

"Saya nggak tanya," jawab Adnan singkat. Tangannya bergerak menerima minuman hangat itu. "Kenapa kamu yang anter?"

"Kalau bukan Bibi yang minta aku juga nggak mau." Fasya mendengkus.

"Kamu bisa tolak."

"Nanti Bibi curiga kalau kita— kita cuma pura-pura." Fasya memelankan kalimatnya di bagian akhir.

Adnan tersenyum tipis mendengar itu. Begitu samar sampai tidak membuat Fasya sadar.

"Bibi udah tau."

Fasya terkejut dan berjalan mendekat, "Maksud Mas Adnan? Bibi tau kalau kita cuma pura-pura?"

Adnan mengedikkan bahunya tak acuh, "Mungkin."

"Aku nggak ngerti." Fasya bergumam seperti orang bodoh.

"Kamu nggak perlu khawatir. Bibi Sari dan Pak Yanto udah tau kalau kita nggak tidur satu kamar."

Wajah Fasya terlihat semakin panik, "Kalau nanti Kakek tau gimana?"

Adnan mengedikkan bahunya tak acuh, "Kalau tau ya berarti ada yang kasih tau."

"Kok Mas Adnan santai banget sih?"Fasya mendadak kesal.

Adnan mengedikkan bahunya pelan, "Saya mau tidur," ucapnya santai dan langsung menutup pintu tepat di depan wajah Fasya.

Fasya memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Setelah itu dia mengeluarkannya dengan perlahan. Matanya kembali terbuka dan perasaaannya sudah sedikit tenang. Memang tak salah instingnya sejak awal. Adnan memang menyebalkan. Pantas saja Fasya bisa begitu membencinya saat pertama bertemu.

***

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak Sah   84. Ekstra Chapter 6: Hadiah Wisuda

    Di tengah kerumunan banyak orang, Fasya berjinjit untuk membuat tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi. Bahkan heels setinggi tujuh sentimeter yang ia kenakan tidak banyak membantu. Pandangannya mengedar untuk mencari seseorang. Tas yang ia bawa semakin menyulitkan langkah kakinya. "Permisi," ucap Fasya yang harus menerjang ribuan orang itu. Mau tidak mau Fasya berhenti di tengah kerumunan dan mulai mengambil ponselnya. Saat akan menghungi Adnan, Fasya melihat ponselnya lebih dulu berdering. Nama Adnan muncul membuatnya tersenyum lega. "Mas, di mana?" tanya Fasya cepat. "Di sebelah kanan kamu. Jalan pelan-pelan ke sini." Fasya mengalihkan pandangannya dengan mata menyipit. Dia kembali berjinjit dan melihat seseorang yang melambaikan tangannya. Senyum Fasya pun merekah. Dengan cepat dia mengangkat sedikit rok kebayanya dan berlari kecil ke arah Adnan, kembali menerjang ribuan manusia yang tengah berbahagia saat ini, sama seperti dirinya. "Mas Adnan!" Fasya langsung masuk ke

  • Mendadak Sah   83. Ekstra Chapter 5: Lembaran Baru

    Tak terasa satu tahun telah berlalu. Seperti tahun sebelumnya, hari ini adalah hari yang istimewa. Tepat hari ini semua anggota keluarga Atmadja kembali berkumpul di puncak untuk merayakan hari spesial, yaitu hari ulang tahun Kakek Faris. Tak henti mereka mengucapkan rasa syukur akan kesehatan yang diberikan Tuhan untuk kakek. "Fasya, sini coba, Sayang." Tante Laras mendekat sambil menyuapi Fasya dengan potongan daging. "Udah enak belum?" Fasya mengangguk sambil mengunyah. "Enak, Tan." "Kamu juga, Mitha. Gimana rasanya?" Tante Laras juga menyuapi Mitha. Benar, hari ini Mitha dan Denis memang hadir di ulang tahun kakek. Awalnya mereka menolak karena rasa segan dan malu, tetapi karena paksaan akhirnya mereka mau datang ke Puncak Bogor. Setelah pernikahan Denis dan Mitha, entah kenapa semua seperti kembali ke awal. Di mana mereka menjadi keluarga yang semestinya. Masa lalu yang buruk seperti mulai terkubur. Sekarang Denis tahu kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya ia ingink

  • Mendadak Sah   82. Ekstra Chapter 4: Paksu Cemburu

    Dengan bersenandung pelan, Fasya mengendarai mobilnya memasuki gerbang kampus yang cukup ternama. Dia melambatkan laju mobilnya saat memasuki area kampus. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang membuat Fasya harus berhati-hati. Kesabaran dan ketekunannya selama ini membuahkan hasil. Akhirnya Fasya bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski belum terlalu lama. Namun dia sering menggunakan mobil akhir-akhir ini agar bisa membiasakan diri. Lagi pula Adnan lebih merasa aman saat ia menggunakan mobil. Fasya menekan klakson mobil saat sudah berada di depan sekumpulan anak muda seusianya. Dia membuka jendela dan melambaikan tangannya pada seseorang. Seseorang yang menatapnya dengan berbinar, seperti melihat bank berjalan. "Gue duluan, sepupu gue udah jemput." Niko meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam mobil. Sudah hampir seminggu ini Fasya rutin menjemput Niko di kampusnya. Dia tidak lupa akan janjinya jika sudah bisa mengendarai mobil, maka Niko adalah orang pertama

  • Mendadak Sah   81. Ekstra Chapter 3: Mentor Galak

    Suasana di dalam mobil itu begitu tegang. Jantung Fasya masih berdegup dengan kencang. Dia mencoba untuk mengatur napasnya agar lebih tenang. Berdua bersama Adnan di dalam mobil membuat akal sehatnya menghilang. Jika bukan suaminya, mungkin Fasya sudah menendang pantat Adnan menjauh sampai tak bisa dipandang. "Jangan tegang," gumam Adnan. Mendengar itu, Fasya mulai merilekskan tubuhnya. Meskipun sudah berusaha, tetapi tetap saja sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa ia tenang jika berada di dalam situasi yang menegangkan seperti ini? Jika bukan karena Adnan, mungkin ia tidak akan mau melakukannya. "Pelan-pelan," ucap Adnan lagi. Bukannya menenangkan, apa yang pria itu lakukan justru membuat Fasya semakin tidak nyaman. Jika ada lakban, dia akan membungkan mulut suaminya agar diam. "Di depan nanti ada pertigaan, jangan lupa kurangi kecepatan," peringat Adnan lagi. "Iya, diem dulu." Fasya semakin mengeratkan tangannya pada setir mobil. Matanya fokus pada jalanan di depann

  • Mendadak Sah   80. Ekstra Chapter 2: Bujukan Maut

    Suasana kafe malam ini terlihat sangat ramai. Selain karena banyaknya anak muda, para pekerja pun juga ikut menikmati malam minggu untuk melepas penat. Di salah satu meja yang cukup besar, terlihat Fasya tengah tertawa dengan lepas. Bisa dibilang malam ini adalah malam reuni, di mana ia kembali berkumpul dengan para seniornya saat magang dulu setelah beberapa bulan berlalu. "Masa, sih?" tanya Dinar geli. Shanon mengangguk yakin, "Iya, Pak Bonbon kalau marah hidungnya kembang-kempis." "Wah, parah. Masa ngomongin atasan sendiri." "Tapi Pak Bonbon asik. Istrinya nggak pelit, suka bawain makanan ke kantor, tapi ya gitu kalau marah bukannya serem malah lucu." Hanum kembali tertawa. "Apalagi kalau udah ngomel, itu perutnya juga goyang kayak ikutan ngomel," celetuk Damar. Tawa mereka kembali pecah. Kebiasaan buruk yang menyenangkan adalah membicarakan orang lain. Apalagi topik kali ini adalah atasan baru mereka yang menggantikan Kinan. Di tengah candaan, Fasya merasakan ponse

  • Mendadak Sah   79. Ekstra Chapter 1: Hari Sempurna

    Hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu oleh semua orang. Terutama untuk dua sejoli yang tengah bersenda gurau saat ini. Tidak peduli dengan matahari yang sudah muncul sedari tadi, pasangan kasmaran itu semakin menikmati momen bersama yang tidak bisa mereka nikmati setiap hari. Momen intim di balik selimut yang sering mereka sebut sebagai pertukaran energi. "Geli, Mas." Fasya terkekeh saat Adnan mencium lehernya gemas. "Kamu bau." Fasya menarik rambut Adnan menjauh dari lehernya dan mulai menyentuh wajah pria itu. Tatapan mata Fasya begitu sayu karena rasa lelah yang ia rasakan. Bukan karena Adnan menyiksanya, tetapi sebaliknya. Pria itu kembali membuat tubuhnya melayang pagi ini. Melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mata Adnan terpejam menikmati sentuhan jari Fasya di wajahnya. Untuk pertama kalinya dia merasa sangat nyaman berada di dekat seorang wanita. Selama ini Adnan selalu bersikap mandiri dan dewasa, padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia juga ingin dimanja. "Puk-pu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status